tag:blogger.com,1999:blog-90875014097539843062024-03-14T02:53:34.215+08:00Usman BlangjruenUsman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.comBlogger580125tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-5454495018553991672023-10-18T15:05:00.001+08:002023-10-18T15:05:29.768+08:00Kacau<p>Sepanjang saya mengenal dunia, tak pernah jam tangan saya itu rusak karena uzur dimakan usia. Semuanya mati muda atau minggat tak tahu ke rimba mana. Pokoknya jarang lama-lama.</p><p>Entah itu karena tertinggal di tempat wudu masjid, hilang sebab tinggal di toilet umum, dan berbagai masalah lain yang menyebabkan jam tangan yang kadang baru saya beli, tapi raib dari ayunan tangan kiri saya.</p><p>Yang terbaru, jam tangan saya rusak dilempar oleh anak laki-laki saya. Tak tahu apa yang ada di pikirannya. Saat dia mengambil barang-barang yang agak terlarang buat dia, kemudian dia melihat saya mendekat sambil teriak memintanya mengembalikan, dia sontak lari kemudian melemparnya.</p><p>Jam tangan saya kemarin dilemparnya ke dinding. Logonya yang berbentuk M itu, copot. Lepas. Menghambat jalur perjalanan jarum. Jam itu terpaksa saya matikan hatta maka saya bawa ia ke tukang servis yang ada di kawasan pasar Blangjruen.</p><p>Logo berhasil bertengger di tempatnya semula. Pikir saya masalahnya telah selesai. Namun, dua hari setelah saya pakai, saya harus menerima kenyataan bahwa jarum pendeknya tidak sepakat lagi dengan jarum menit.</p><p>Saya termasuk salah satu manusia yang tidak bisa lepas dengan jam tangan. Saya merasa lebih ganteng dan berwibawa jika berjam tangan. Sekalipun hanya jam tangan murah saja. Dan memang jam tangan saya tidak pernah mahal.</p><p>Kali ini, saya benar-benar dilema. Mau diservis, kayaknya sudah tak layak lagi. Sudah tiga kali ia dibedah. Jika jadi lagi yang sekarang ini, maka empat kali. Operasi sesar saja cuma bisa tiga kali. Masakan ini mau lebih? Tapi, mau beli baru, tau sendiri, kan? Lusa lebaran haji, tanggal 31. Tanggal tua renta!</p><p>Duh, ambil uang dari mana? Lebaran tanpa jam tangan. Atau punya, tapi pesong. Rasa-rasanya pikiran ini bagai keletusan balon hijau. Kacau!</p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh2c8PhixpXM_CFsaLw70Bv6ORIbwozHkPsmgAGhUl10AMwWjn_hyphenhyphenjF3OO__GvX3agvE_XJeA39AQbKi1MF5MB_T34gSE1C0VobIEgJnQZmJ4m5CmOjs3Gxyod9KG3SaIrWIE1Ox9YHKwlbw8il_NRvrLVctI-zCWAW5dasXOsvhtMuCbxhPyi2auOWfvof/s1440/Jam.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1080" data-original-width="1440" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh2c8PhixpXM_CFsaLw70Bv6ORIbwozHkPsmgAGhUl10AMwWjn_hyphenhyphenjF3OO__GvX3agvE_XJeA39AQbKi1MF5MB_T34gSE1C0VobIEgJnQZmJ4m5CmOjs3Gxyod9KG3SaIrWIE1Ox9YHKwlbw8il_NRvrLVctI-zCWAW5dasXOsvhtMuCbxhPyi2auOWfvof/s320/Jam.jpg" width="320" /></a></div><br /><p><br /></p>Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-12417405403920473562020-07-08T17:47:00.000+08:002020-07-19T17:48:47.717+08:00Tutup Rantai Sepeda MotorSaya agak heran, kenapa pemerintah Indonesia tidak membuat sebuah kebijakan, yang mewajibkan seluruh produsen sepeda motor bertransmisi rantai, jika mau produknya diekspor ke Indonesia, maka harus ada penutup rantainya.<br /><br />Hal ini, saya rasa, senada saja dengan kasus produsen mobil yang mau menjajakan produknya di Indonesia, maka mereka diwajibkan mendesain setir sebelah kanan. Karena Indonesia adalah salah satu negara yang berlalu lintas lajur kiri.<br /><br />Kalau setir mobil saja bisa dibolak-balik, maka kalau hanya menambah sedikit desain tutup rantai untuk sepeda motor, saya rasa itu hanya pekerjaan yang setara dengan menghabiskan sepotong kue di pagi hari. Mudah sekali. <br /><br />Banyak sudah korban berjatuhan dari golongan kaum hawa karena roknya tertarik gigi jentera rantai. Hari ini, orang kampung saya, yang juga masih kerabat, koma di rumah sakit karena kepalanya terantuk jalan setelah mengalami kasus tersebut.<br /><br />Padahal sebangsat-bangsatnya Covid 19, belum berani nyolek-nyolek orang Blangjruen. Kan belum ada kasus positif, kan? Positif hamil mungkin banyak. Tapi kalau ulah gigi jentera rantai, sudah sering kali terjadi. Apalagi di Aceh, dia adalah salah satu alat efektif pencabut nyawa para ibu-ibu. Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-40835018870946019892020-06-10T17:46:00.000+08:002020-07-19T17:51:44.574+08:00Hobi baruSaudara-saudara, baru kali ini, lo, saya punya hobi yang agak sejalan dengan pendidikan formal saya Teknik Mesin. Ngoleksi perkakas bengkel. Yang makin lama makin lengkap saja. Belinya satu per satu. Sesuai kebutuhan.<br />
<br />
Seharusnya memang orang mesin hobinya ya bongkar-bongkar mesin. Bukan malah khatam-khatam novel dan buku-buku sejarah. Sampai-sampai saya divonis ahli sastra, dan pernah sekali waktu diajak membedah sebuah novel dimana saya khusus membahas segi bahasanya. Ajaib, kan?<br />
<br />
Dan, lagi, karena sering khatam-khatam buku sejarah, pun saya sempat pula dianggap sebagai ahli sejarah. Lebih-lebih sejarah Aceh dan Islam. Resiko, yang namanya suka khatam buku, ya, mesti banyak tahu. Dan akibatnya banyak ditanyai ini itu sama orang.<br />
<br />
Itu masih belum seberapa, karena suka baca-baca buku Ilmu Astronomi Islam atau Falak, dan akhirnya mengerti betul ilmu tersebut, maka saya pun dianggap sebagai ahli Falak atau ahli hisab.<br />
<br />
Malah lebih parah lagi, ada beberapa orang berpikir bahwa saya mengambil master dan doktor di bidang Falak. Padahal saya mutlak berpendidikan perancangan mesin, dari diploma tiga sampai doktor. Tak pernah semiang kalam pun berbelok.<br />
<br />
Haduh. Saya ini memang ahlinya ahli. Intinya inti. Core of the core. Tapi, maaf, tidak melayani peminjaman alat. Karena biasanya, kalau minjam pasti enggak balik lagi.<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5cW_lwaRl5ONxRtf0VDLmnwjNor_oWActg2DoViZyeZCwRCz8yHKotuUgkYZwzsnx6ASdtlwPriuWU9yGPCkX5oqKB5hpzSlgB4ehBb2anUdEK6ETbojkj1Hoa7LStRr2cMmG_wlMD4Xy/s1600/alat+bengkel+di+rumah.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="450" data-original-width="600" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5cW_lwaRl5ONxRtf0VDLmnwjNor_oWActg2DoViZyeZCwRCz8yHKotuUgkYZwzsnx6ASdtlwPriuWU9yGPCkX5oqKB5hpzSlgB4ehBb2anUdEK6ETbojkj1Hoa7LStRr2cMmG_wlMD4Xy/s1600/alat+bengkel+di+rumah.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Koleksi perkakas bengkel yang sejauh ini saya punyai di rumah. Jumlahnya akan terus bertambah seiring berjalannya waktu dan pergantian zaman</td></tr>
</tbody></table>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-46253739869793601852020-05-26T17:45:00.000+08:002020-07-19T17:45:44.548+08:00New NormalAda yang bilang, kalau di rumah saja, kita asik sama medsos. Yang terjadi pada saya justeru beda, Bapak/Ibu. Selama lockdown, saya malah hampir enggak pernah aktif di FB dan medsos-medsos lain. <br /><br />Hape aktif saya malah sering saya tinggalkan begitu saja di rumah. Ini sangat jarang terjadi di kondisi normal saya. Dalam kondisi pandemi ini, sebaliknya, yang sering saya pegang adalah gadget Tab, yang isinya adalah buku-buku digital, dan membacanya.<br /><br />Sekarang, katanya, new normal. Menurut pahamku, ya, itu artinya kembali ke kondisi normal, tapi ada sedikit batasan dengan adanya aturan-aturan tertentu yang harus dipatuhi. Yang saat normal sebelum Corona peraturan itu tidak ada. Mungkin itu maksud dari New Normal. Benar, enggak, ya?<br /><br />Saya kadang sok pinter juga, sih. Padahal belum baca apa-apa tentang New normal itu. Namun, sangking senangnya saya sama kata normal, maka saya beri sedikit komentar, lah. Soalnya sudah capek di rumah terus. Sekali keluar, was-was, seolah Corona lagi menunggu di pintu gerbang dan siap mencekik siapa saja yang melintas.<br /><br />Dengan adanya New Normal. Mudah-mudahan itu menandakan kondisi sudah sedikit membaik. Tadi saya menghubungi teman di Malaysia. Katanya di Malaysia juga sekarang sudah sedikit longgar. Padahal dulu jika melanggar peraturan lockdown, di sana bisa dipenjara tiga bulan.<br /><br />Oke. New Normal. Mungkin, kegiatan saya di FB juga akan normal kembali. Untuk FB, tidak pakai New. Normal aja kita.Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-57592010914276000342020-03-26T17:43:00.000+08:002020-07-19T17:44:14.928+08:00Tak Ada Tulisan Tentang CoronaAda yang diam-diam menunggu tulisan saya tentang Corona? Saya tidak akan menulis tentang itu, karena saya memang tidak paham apapun tentang penyakit ini. Tinimbang menyesatkan, maka lebih baik saya diam.<br /><br />Yang saya lakukan sekarang ini adalah berbetah diri di rumah saja. Enggak kemana-mana. Saya benar-benar menanggapi masalah wabah ini dengan sangat serius. Apalagi tubuh saya ini agak lumayan melo. Artinya cepat sekali terserang sakit semacam flu atau demam.<br /><br />Anak-anak saya yang tiga ini juga masih kecil-kecil. Kasian. Masa depannya masih panjang. Sama halnya dengan ayah dan ibunya. Yang masihlah tergolong muda untuk tetap nikmat dibawa hidup. Apalagi, bagi anak kami, pastinya, kami adalah dua orang yang paling diharapkan untuk tetap hidup.<br /><br />Sama halnya kami juga mengharapkan mereka tetap hidup, membesar, menjadi cantik, menjadi ganteng, dalam awasan mata kami. Awasan mata yang walaupun nanti sudah beranjak merabun.Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-66103774854914569552020-03-09T17:42:00.000+08:002020-07-19T17:42:28.933+08:00Dosen dan Angin SurgaKayaknya yang enggak sabar itu bukan saya. Tapi orang-orang yang melihat saya. Bagaimana tidak, coba. Saya ini seorang dosen. Pendidikan begitu tinggi. Bahkan sudah setinggi janur. Doktor punya barang. Tapi kehidupan saya, sama saja seperti amtenar biasa yang mungkin hanya lulusan sekolah menengah. Begitu mungkin yang dipikirkan orang.<br /><br />Saya, enjoi saja, Kawan. Karena dari awal, cita-cita saya adalah jadi dosen, dan dengannya bisa kuliah tinggi-tinggi. Dan itu sudah tercapai semua. Satu lagi, mungkin, sebagai ambisi baru saya, ia itu menjadi Profesor. Tapi tentu itu harus menunggu sampai kepalaku dipenuhi uban semua. Atau jangan-jangan botak sekalian.<br /><br />Banyak yang menyangka bahwa dosen itu gajinya tinggi. Padahal kenyataannya sama saja dengan guru-guru PNS di SMA. Enggak ada bedanya! Terus apa lebihnya jadi dosen tinimbang jadi guru? Secara ekonomi yang saya rasakan sama saja. Tapi soal prestise, saya harus mengakui, saya bangga jadi dosen. <br /><br />Itu sudah cukup alasan bagi saya untuk selalu tersenyum, dengan sedikit bahu terangkat, ketika berangkat kerja tiap pagi dari Blangjruen ke Buketrata, Lhokseumawe. PP. Pulang pergi. Kadang-kadang pakai mobil pribadi. Sering juga naik Jupiter MX tua, jika melihat saldo di rekening sudah pada kondisi menyedihkan, dan posisi angka satu di kalender masih saujana mata memandang.<br /><br />Itu semua saya nikmati bersama istri saya yang cantik dan anak-anak saya yang lucu-lucu itu. Ini, serius, lo. Saya serius menikmatinya. Enggak main-main ini. Saya benar-benar takut jika saya dimasukkan Tuhan ke dalam golongan orang-orang yang tidak mau bersyukur. Semoga Tuhan melindungi saya dan keluarga dari sifat itu.<br /><br />Tapi, yang namanya manusia, saya pengin juga agar bisa berpendapatan lebih dari yang sekarang ini. Dan memang, dua tahun yang lalu, begitu selesai doktor, saya yang lugu-lugu kelabu begini, sempat berpikir bahwa ijazah doktor saya mampu mendongkrak pendapatan saya, melalui dana penelitian.<br /><br />Tapi, harapan saya pupus, setelah mengetahui ternyata dana penelitian itu seketip pun tidak bisa diambil untuk dosen yang meneliti. Karena gaji saya yang sekarang ini, ternyata sudah termasuk upah saya dalam meneliti. <br /><br />Terus bagaimana ini? Ya, enggak apa-apa. Dinikmati saja. Terus ijazah doktornya, masakan tidak ada korelasinya sedikitpun sama gaji? Pak, Bu, cukup panggil saya Doktor Usman. Sudah, itu saja sudah cukup bagi saya. Itu sebagai tanda bahwa saya betul-betul bangga dengan pendidikan saya.<br /><br />Eh, hampir lupa. Baru-baru ini saya dapat kabar yang meyakinkan bahwa dosen yang meneliti akan diberi honor tiga puluh persen dari biaya penelitian yang didapatkannya. Sekalipun masih wacana, bolehlah saya sedikit tersenyum sedari sekarang. Demi angin surga itu, Kawan.<br /><br />Ngomong-ngomong, Yamaha NMAX bekas berapa harganya ya?Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-76110901603141799942020-02-01T17:40:00.000+08:002020-07-19T17:40:47.855+08:00Nasi Briyani di LhokseumaweTidak seperti biasanya memang, pagi kemarin (31/1/2020) saya bilang ke istri bahwa saya enggak bawa bekal ke kampus.<br /><br />"Kenapa," tanyanya sembiri terus cuci piring, "ada acara?"<br /><br />"Enggak ada. Cuma nanti siang pengin makan nasi briyani," jawab saya sambil pakai sepatu, kemudian menatapnya, "Kamu mau?"<br /><br />"Enggak. Saya belikan yang lain saja."<br /><br />Saya pun pergi.<br /><br />Istri saya tak suka nasi khas India itu. Sementara saya, mendengar namanya saja sudah cukup membuat jakun saya naik-turun. Entah apa enaknya, bumbu khas India yang kuat itu begitu memukau lidah saya.<br /><br />Soal tak suka briyani, istri saya tak sendiri, ada satu kawan saya, ia malah benci sama masakan India. Bikin bau badan katanya. Tapi saya yakin istri saya bukan itu alasannya. Ia punya alasan lain yang aku juga tak mau tanya.<br /><br />Soal bau badan. Ah, kan ada deodoran? Bagi saya bukan masalah kalau hanya soal bau badan. Masakan India begitu nikmat untuk ditinggalkan begitu saja tanpa sedikit mau berjuang atas efek negatifnya. Apalagi hanya sekadar soal bau. Jering malah lebih parah dalam hal itu. Tapi aku juga menikmatinya.<br /><br />Di Lhokseumawe, setahu saya hanya satu tempat ada warung briyani, di warung Koki India. Sekitar seratusan meter ke selatan SPBU Kuta Blang. Itu pun gak buka tiap hari. Cuma hari Jumat doang. Buka dari pukul 10.30 sampai lepas siang.<br /><br />Sebenarnya sudah lama saya mendengar kabar tentang keberadaan briyani di Lhokseumawe. Tapi baru kemarin saya menyempatkan diri ke sana. Ini ada pengaruhnya dengan hari Jumat. Saya lebih sering salat Jumat di kampung tinimbang di luar. Karenanya makan briyani pun luput lama.<br /><br />Sebelum tiba di sana, saya membayangkan warung ini ramai betul pengunjungnya. Tapi ternyata sepi. Mungkin saja ini karena saya datang agak cepat. Pukul 10.30. Belum waktunya makan. Tapi di meja-meja sudah tertata botol-botol air mineral. Ini menjadi dalil bagi saya bahwa meja-meja itu nanti bakal dipenuhi oleh pelanggan saat jam makan siang.<br /><br />Sampai di situ saya dilayani oleh dua orang ibu-ibu. Satunya masih muda dan cantik. Saya tidak bisa menangkap wajah India dari kakak itu jika saya bandingkan dengan wajah wanita-wanita Aceh. Sulit memang, mengingat banyak gegadis cantik Aceh mirip-mirip seperti itu.<br /><br />Yang laki juga banyak yang mirip India. Kulit gelap, berbulu, dan hidung mancung, itu adalah pemandangan biasa jika kita sedang berada di Aceh. Jadi, agak sulit memisahkan wajah India dengan Aceh. Dan, menurut pengakuan salah seorang yang tidak mau disebutkan namanya, saya ini, malah, katanya mirip Sanjay Dutt. Bintang film India itu. Ea.. ea.. ea.<br /><br />Saya tidak makan di situ. Saya minta dibungkuskan saja. Makan di kantor. Saya pilih nasi briyani ayam kampung, setelah sebelumya saya terus berulang tanya, apakah nasi itu dimasak berbarengan dengan daging kambing, karena mereka juga menyediakan briyani daging kambing. Saya takutnya briyani ayam sama kambing dimasak bareng, walaupun dalam penyajiannya nanti dipisah.<br /><br />Saya fobia sama daging kambing. Bukan karena darah tinggi, bukan. Desakan darah saya normal. Tapi karena kedua orang tua saya menderita dan akhirnya kalah melawan hipertensi dan diabetes, saya sekarang jadi takut sama kambing. Jangankan makan, mencium aroma kari kambing saja sudah cukup membuat aku pusing. Padahal itu baru sugesti, Saudara-saudara.<br /><br />Tapi keresahan saya itu pupus tak bersisa ketika kakak itu bilang bahwa mereka tidak memasak briyani bareng daging. Daging dan nasi dimasak terpisah. Berbeda dengan briyani yang saya ketahui selama ini, dimasak dengan cara nasi, bumbu, dan daging dicampur menjadi satu. Jadi, briyani yang ini, aman. Soal rasa, nanti dulu.<br /><br />Saya ikut memperhatikan saat nasi saya dibungkus. Melihat cara mereka menyaji juga sebuah kesenangan tersendiri. Nasi dibungkus bareng daging ayam kampung yang terbalur bumbu pekat. Kuah dibungkus secara terpisah. Kuah dalica namanya, katanya.<br /><br />Kuah itu bersayur terong, pisang muda, dan, ini yang unik, ada kedondong! Itu. Kedondong yang biasa kita bikin rujak. Yang kata sebagian orang, bijinya bisa dipakai untuk pelega tenggorokan. Caranya, bijinya diikat dengan benang, terus ditelan, kemudian tarik lagi ke luar. Mau coba? Silakan. Saya gak ikutan.<br /><br />Di samping dalica, sedikit acar nanas juga ikut meramaikan. Cuma satu yang kurang dari briyani ini dengan yang pernah saya makan saat berada di luar negeri: tak ada yoghurt, susu asam hasil fermentasi itu. Sekalipun saya tidak menyukainya, yoghurt ini paling tidak menjadi ornamen yang membuat piring briyani menjadi semarak berisi.<br /><br />Sampai di kampus briyani itu saya makan. Saat itulah baru saya sadar, ternyata beras yang dipakai bukan beras basmati: beras kecil tapi panjang, khas briyani India. Tapi itu tentu tak mengapa. Yang penting, rasanya enak, bumbunya berasa. Dan semua itu kudapatkan ketika menyantap briyani kemaren.<br /><br />Dan dalica itu, belum pernah saya makan sebelumnya. Mengingat kuah tersebut tidak pernah disajikan selama saya makan briyani di tempat lain. Rasanya saya pikir sama persis dengan kari kambing Aceh. Memang kalau soal masakan dan wajah, Aceh - India sungguh bersaudara dekat.<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVH0Aj5gz1L67MG_dBaA2FcOgG-fcB0ukHF1KZLHAF6rpR2MWfTHUobHsefnI6Hf_FkEB2D-rnGAnO91DJdM32JNnUGzGC0eZ8UUtb451uOmde5iIL8loGES97pjctKA-7WzgQVgwYdvlQ/s1600/nasi+briyani+di+lhokseumawe.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="450" data-original-width="600" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVH0Aj5gz1L67MG_dBaA2FcOgG-fcB0ukHF1KZLHAF6rpR2MWfTHUobHsefnI6Hf_FkEB2D-rnGAnO91DJdM32JNnUGzGC0eZ8UUtb451uOmde5iIL8loGES97pjctKA-7WzgQVgwYdvlQ/s1600/nasi+briyani+di+lhokseumawe.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Nasi briyani dari Koki India Lhokseumawe</td></tr>
</tbody></table>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-41175506161993950112020-01-18T17:32:00.000+08:002020-07-19T17:32:44.132+08:00Berawal dari SuratiGegara si Sayba, anak pertama saya, yang masih balita itu. Empat bulan lalu, pulang-pulang, ia membawa bayi itik surati (cairina moschata) di tangannya. Surati yang masih dua warna. Kuning dan hitam. Masih manis dan lucu. Matanya masih indah dengan coretan hitam mendatar di ujung ke dua matanya.<div>
<br />Membawa pulang bebek, bukan main bangganya ia saat melapor bahwa ia sekarang sudah punya itik. Tapi, alih-alih memberi ucapan selamat padanya, saya malah menginterogasi. Tentu ini di luar harapannya. Saya tanya, bebek siapa yang dia ambil. Ia menggeleng, bilang bahwa bebek itu ia temukan di jalan. Bukan punya orang yang diambilnya.<br /><br />Saya tanya berkali-kali, dasar anak kecil, jawabannya ya itu-itu saja. Sorenya saya tanya ke sepupunya, juga tidak ada jawaban yang memuaskan. Giliran ibu mertua ikut saya kabari perihal itu. Ia bilang di rumah juga tidak ada induk surati yang sedang beranak. Di sekitar rumah saya dan ibu, juga tidak terlihat ada bebek yang lagi jalan sama anak-anaknya. Terus, itik siapa yang diambilnya. Gelap.<br /><br />Ah, masalah kok ya jadi ruwet begini. Bingung. Walhasil, saya akhirnya memang harus merawat bayi bebek itu. Memberinya makan. Saya taruh ia di ember. Malamnya saya tutup kain. Biar tidak kedinginan. Hari terus berlalu. Saya tetap tidak tahu itu bebek siapa.<br /><br />Saya juga tidak mau mengakuinya sebagai punya saya. Saya membayangkan, kalau bebek ini nanti besar, dan kebetulan betina, kemudian beranak-pinak, seperti kambingnya si Saklabah dalam cerita itu, habislah saya. Sementara bebek itu menjadi banyak dari benih yang tidak sah.<br /><br />Sama istri, saya sempat bilang, kalau bebek itu nanti sudah besar, kita jual saja, kemudian uangnya kita sedekahkan saja ke masjid. Logikanya masuk. Maka bebek itu pun saya rawat, seperti bebek sendiri.<br /><br />Tapi hari demi hari, saya kasian juga melihat si lucu ini sendirian saja. Makan sendiri. Tidur sendiri. Serba sendiri. Saat itulah saya berpikir untuk mencarinya teman. Saya membeli sepuluh anak bebek lain. Itik Peking. Itik asal Tiongkok yang miskin warna itu. Putih semua. Cuma paruhnya saja yang agak kuning.<br /><br />Masalah baru, muncul. Surati sama peking jika dikumpulkan ternyata tidak akur. Peking suka nyubit-nyubit sembarangan. Surati menangis sejadi-jadinya. Duh, akhirnya, mereka harus saya pisahkan. Peking saya pindahkan ke sangkar baru. Surati tetap menikmati kesendiriannya.<br /><br />Seleksi alam berjalan atas mereka. Ketika peking di sangkar sebelah makin hari makin bongsor saja badannya, surati mendekap badannya sendiri yang kian hari kian ringkih. Decit suara khasnya dari hari ke hari terus melemah. Surati sakit. Tubuhnya terkulai. Makan dan minum seolah dia tidak memerlukannya lagi. Pakan terus utuh.<br /><br />Sampai akhirnya janji Tuhan berlaku atasnya. Surati menyerah. Meninggal dunia. Ia saya kebumikan tidak jauh dari rumah. Saya tak tahu, apakah harus bersedih atau gembira atas kematiannya. Mengingat kehadirannya merupakan beban karena ia bukan kepunyaan saya, tetapi terpaksa aku rawat karena ulah anakku.<br /><br />Riwayat surati selesai, tapi riwayat peking berjalan terus. Menemani kami. Sepuluh peking yang saya beli awalnya. Dan saya besarkan. Aku masih merasa kurang kalau hanya sepuluh, maka aku beli lagi bebek air untuk meramaikan. Saya tambah lagi itik surati lain. Sampai bebek saya mendekati tiga puluh jumlahnya.<br /><br />Ternyata, itik sejumlah itu berat. Makannya banyak. Dikasih sedikit, nangisnya ribut kayak di parkiran truk tronton. Cara mendiamkannya hanya satu: beri dia makan. Dan kemudian beolnya banyak dan berserak!<br /><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjiSs7Tz8qXvqDpqwNpGFk5N3-jfK-6Syxa5ZPRLLbH9BJG08ZcZp3SS9YJYC8i0LniaAaz1tpo5TkzZe5O1FMmvfAlQZih9aonIaBYkCeKMr4FEm6UMyuqWaAWAQgyKvjqS112vxtWpE_c/s1600/itik.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="450" data-original-width="600" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjiSs7Tz8qXvqDpqwNpGFk5N3-jfK-6Syxa5ZPRLLbH9BJG08ZcZp3SS9YJYC8i0LniaAaz1tpo5TkzZe5O1FMmvfAlQZih9aonIaBYkCeKMr4FEm6UMyuqWaAWAQgyKvjqS112vxtWpE_c/s1600/itik.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Bebek-bebek saya. Difoto, malah dikiranya mau kasih makan.</td></tr>
</tbody></table>
</div>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-79073801492146826042020-01-16T17:27:00.000+08:002020-07-19T17:27:51.381+08:00Keureuto dan Aura PositifCuma ingin meresapi aura positif alam. Hanya itu tujuanku hari ini (15/1/2020) ikut abang ipar memancing di hilir sungai Keureutoe, Desa Ujong Tanoh, Aceh Utara. Cuma ikut saja, karena ternyata umpan pun saya tak berani lagi memasangnya di mata kail. Aku sudah sebegitu gelinya sama cacing tanah, umpan kail legendaris yang dulu sering aku pakai untuk memancing ikan paya.<br /><br />Abang ipar, yang juga mantan mahasiswaku, tadi pagi sebenarnya yang disasar adalah udang. Tapi sampai di sana, setelah sekian lama tiga mata kail mondar-mandir di perut sungai, tak satu pun udang yang menghampiri. Hanya dua anak baung (mystus nemurus) dan suik (mystus bimaculatus) yang tersangkut di mata kail. Yang lain tidak.<br /><br />Aku hanya menatap sungai. Melihat air mengalir ke hulu saat pasang naik. Itu artinya bulan sedang terbit di ufuk timur sana. Beberapa jam kemudian, air sungai berhenti bergerak. Itu artinya bulan sedang berada di titik tertinggi di langit sana. Aku tak sempat melihat air sungai balik menghilir, karena pukul tiga sore kami sudah pulang.<br /><br />Ke arah hilir sana, aku tadi melihat ibu-ibu membuang dua bangkai ayam ke sungai, kemudian dibawa ke hulu oleh aliran pasang, menjadi asupan gizi untuk penghuni sungai bakalnya. Tak lupa, popok bayi juga ikut meramaikan, menjadi penyakit untuk seisi sungai pastinya.<br /><br />Tadi aku juga melihat seorang lelaki muda di sana sedang menyauk air sungai dengan timba yang talinya diikat di ujung galah. Dipakainya air itu untuk mencuci muka. Lebih jauh lagi ke hilir sana, seorang bapak berkulit gelap sedang mandi dengan menceburkan badannya ke sungai.<br /><br />Sampai saat itu, aku belum begitu tahu seberapa pentingnya air sungai ini buat mereka. Tapi, setelah seorang penduduk asli desa itu mendekati kami untuk hanya sekadar mengobrol, maka darinyalah aku tahu bahwa sungai ini adalah satu-satunya sumber air bersih bagi mereka. Air buat mereka mandi, cuci baju, dan bahkan memasak.<br /><br />Mereka menarik air sungai ke rumahnya dengan bantuan pompa listrik. Maka sekarang terlihatlah olehku ada pipa-pipa yang menjulur-julur menjangkau perut sungai, menghisap air dari bawah permukaan. Sumur di kawasan pinggir sungai ini tidak bisa diharapkan, karena hanya mampu memberi air kotor dan hitam kepada warga.<br /><br />Melihat belum ada udang yang kami dapatkan, bapak itu bilang bahwa agak kurang sekarang udang di sungai, semenjak sering diracun. Duh, meracuni ikan di sungai yang airnya juga diambil oleh warga? Biadab! Meracuni dua jenis makhluk Tuhan sekaligus: ikan dan manusia. Aku geram mendengar itu!<br /><br />Sulit ternyata menemukan aura positif di muka bumi ini, Tuhan. Padahal, aku sudah ke tepi sungai. Yang di dalam Kitab Suci-Mu, sungai itu adalah salah satu simbol kenikmatan surga-Mu.<div>
<br /></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhewRJKXG08tCi51bvb-Ev8I5oL0qTDEAOaIsh2iXANw3XKwj1xi8TfLw9xDMEFq0EWw1OaZ5z75zOCMhN5c_kQzH5RvkTos85hceXijpdqxgWUBLWq0P2gjkLLNLkF6SrfzehL3qkgMdkA/s1600/sungai+keureutoe+aceh+utara.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="450" data-original-width="600" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhewRJKXG08tCi51bvb-Ev8I5oL0qTDEAOaIsh2iXANw3XKwj1xi8TfLw9xDMEFq0EWw1OaZ5z75zOCMhN5c_kQzH5RvkTos85hceXijpdqxgWUBLWq0P2gjkLLNLkF6SrfzehL3qkgMdkA/s1600/sungai+keureutoe+aceh+utara.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: small; text-align: start;">Sungai Keureuto, Aceh Utara</span></td></tr>
</tbody></table>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-18765563539643915512020-01-11T17:11:00.000+08:002020-07-19T17:13:27.066+08:00KucingKucing memang makhluk unik, yang mungkin terlalu kasar jika aku bilang aneh. Entah apa sebabnya, saat kucing betina melahirkan, setengah mati ia menjaga anak-anaknya agar tidak dibunuh oleh kucing jantan (tomcat), si jantan yang mungkin juga punya saham terhadap kehamilan si betina itu.<br /><br />Saya punya kucing, kebetulan betina. Aku tidak pernah mengundangnya tinggal di rumah kami. Pertama dia datang saja mengeong-ngeong berlagak sok kenal ke rumah. Saya agak sayang sama binatang, walaupun tidak begitu suka merawatnya. Mendengar ia mengiba, aku berilah ia nasi yang telah saya campur dengan remah-remah ikan.<br /><br />Memberi makan, mungkin itu dalam dunia pengkucingan dianggap sebagai pengakuan bahwa aku menerima dia untuk tinggal bersama kami. Karena, setelah kejadian itu, dia tidak beranjak sedikit pun dari rumah. Menjadi kucing rumahan di rumah kecil kami.<br /><br />Sejauh ini, sudah tiga kali ia hamil dan sukses melahirkan tanpa pertolongan bidan, apalagi doktor kandungan. Semuanya selamat, baik ibu maupun bayinya. Hamil pertama saya lupa berapa anaknya, tapi yang sampai besar adalah satu, jantan. Saat ia besar ia pergi tak tahu kemana.<br /><br />Hamil kedua, melahirkan tiga bayi. Semua tidak selamat. Tak sampai seminggu, dibunuh oleh seekor kucing jantan. Dibawa kabur. Dan menurut keterangan saksi mata, dimakan berdarah-darah di belakang rumah.<br /><br />Hamil ketiga, yang sekarang ini, berhasil melahirkan empat bayi kecil mungil dan lucu. Sampai sekarang kucing ini masih selamat. Ada sekali waktu seekor jantan mendekat, tapi sempat dilibas oleh ibunya yang selalu menjaga. <br /><br />Bayi kucing itu sekarang sudah akil balig. Sudah ikut ibunya makan nasi. Maka masalah mulai muncul: beol sembarangan. Tak perlu aku ceritakan. Hanya orang yang sedang dimabuk cinta saja yang sanggup bilang bahwa tai kucing itu rasa cokelat.<br /><br />Akhirnya, mereka kami singkirkan ke luar rumah, dengan tetap memberinya makan. Awalnya ibunya panik melihat anaknya diinternir keluar. Mungkin takut dimangsa. Tapi setelah tiga hari di luar dan semua baik-baik saja, maka ia berangsur tenang.<div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; white-space: pre-wrap;">
<div dir="auto" style="font-family: inherit;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghXExuRTKOTMfoSJLyfF-OhnR4-IrlBPqJOwnmJgickssX_M5z5HAYK95UXhrzVFRVJwFYqYFFWLzn-dgvvPeinegiFui67t3bOFLSfhxUSVM2ZcLptwOkdH4RjEUp_Ma1mQgYtk0don9T/s1600/kucing+makan.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="450" data-original-width="600" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghXExuRTKOTMfoSJLyfF-OhnR4-IrlBPqJOwnmJgickssX_M5z5HAYK95UXhrzVFRVJwFYqYFFWLzn-dgvvPeinegiFui67t3bOFLSfhxUSVM2ZcLptwOkdH4RjEUp_Ma1mQgYtk0don9T/s1600/kucing+makan.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Kucing kami. Sedang makan. Di luar rumah.</td></tr>
</tbody></table>
</div>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-75257219240676940432019-12-27T17:03:00.000+08:002020-07-19T17:08:41.780+08:00Abuya Muda WalyBanyak juga orang sekitar saya bertanya perihal sejarah Abuya Muda Waly pada saya. Padahal seharusnya yang lebih layak ditanyai tentang orang besar ini adalah kepada para santri. Karena beliau adalah Bapaknya ulama-ulama Aceh sampai sekarang.<br />
<div>
<br />
Sementara saya, walaupun pernah menjadi santri, hanya sebentar saja. Selebihnya saya habiskan untuk bersekolah, yang baru selesai 2017 lalu, memperoleh gelar Doktor. Mungkin, ini menjadi bukti apa yang dikatakan salah satu profesor saya dulu: kamu doktor, siap-siap saja orang akan menganggap kamu mengerti semua hal. Padahal tidak.</div>
<div>
<br />
Tapi tidak apa-apa juga. Minat baca saya benar-benar membantu saya selama ini. Dan mungkin itulah sebabnya saya ditanyai segala hal. Jika kebetulan tahu, maka saya jawab. Kalau tidak tahu, maka minta maaf saja. Terkait Abuya Muda Waly ini, kebetulan saya telah lama membaca biografi beliau, yang ditulis oleh putra pertamanya, Prof. Muhibuddin Waly.</div>
<div>
<br />
Jika kita membaca sejarah Aceh masa revolusi fisik, nama Abuya pasti disebut-sebut. Karena beliau adalah salah satu tokoh Aceh yang berperan pada masa itu. Dalam dunia politik, beliau juga salah satu tokoh PERTI (Persatuan Tarbiah Islamiah) Aceh.</div>
<div>
<br />
Untuk pembaca setia saya, setelah saya kombinasi buku biografi beliau dengan beberapa buku sejarah Aceh masa revolusi fisik yang pernah saya baca, maka berikut cerita singkat tentang orang yang sampai sekarang masih menjadi buah mulut masyarakat Aceh itu:</div>
<div>
<br />
Agak panjang. Tarik nafas dulu...</div>
<div>
<br />
***</div>
<div>
<br />
Seorang perantau dari Batu Sangkar Sumatera Barat. Ia seorang pendakwah Islam. Namanya Syekh Muhammad Salim bin Malin Palito. Sebelumnya, pamannya yang dikenal dengan Tuanku Peulumat telah lebih dulu menjejakkan kaki di Aceh Selatan, Labuhan Haji.</div>
<div>
<br />
Tak lama setelah menetap di Labuhan Haji di bawah bimbingan pamannya, Muhammad Salim menemui jodohnya. Siti Janadat. Puteri seorang kepala desa di Labuhan Haji. Dari hubungan suci inilah maka lahir seorang putera dengan nama kecil Muhammad Waly, yang kelak menjadi ulama besar di Aceh dengan panggilan Abuya Muda Waly.</div>
<div>
<br />
Muhammad Waly kecil memperoleh ilmu agama langsung dari ayahnya yang juga seorang ulama. Di samping itu, ia juga disekolahkan di Volks School (sekolah rakyat) yang dewasa itu banyak didirikan oleh pemerintahan Belanda di desa-desa.</div>
<div>
<br />
Setamat dari Volks School, barulah Muhammad Waly memperdalam ilmu agama di ibukota Labuhan Haji, di sebuah pesantren bernama Jam'iyah Alkhairiyah, pimpinan Teungku Muhammad Ali Lampisang (sepupu Syekh Hasan Krueng Kalee).</div>
<div>
<br />
Di pesantren itulah Muhammad Waly ditempa ilmu agamanya. Sembari belajar di pesantren tersebut, tak lupa Muhammad Waly juga melanjutkan sekolahnya di sekolah umum Vorvolks School.<br />
<br />
Kelar dari pesantren Tuengku M. Ali Lampisang, Muhammad Waly (selanjutnya saya sebut Abuya) hijrah ke Blang Pidie untuk melanjutkan studi agamanya ke tingkat yang lebih tinggi. Yaitu ke pesantren Bustanul Huda asuhan ulama besar Syekh Mahmud dari Aceh Besar.</div>
<div>
<br />
Perlu diketahui, bahwa pada masa itu pengaruh pemikiran Kaum Muda, yang oleh penentangnya dari Kaum Tua disebut sebagai Wahabi, sudah tersebar di Aceh Selatan. Madrasah-madrasah yang berhaluan Kaum Muda sudah didirikan di sana. </div>
<div>
<br />
Seperti Sumatra Thawalib misalnya, yang guru-gurunya dikirim silih berganti dari Padang, Sumatera Barat. Termasuk di dalamnya adalah Haji Rasul, ayahanda dari Prof. Hamka, yang merupakan salah satu pelopor gerakan Kaum Muda di Sumatera Barat. </div>
<div>
<br />
Kaum Muda ini selalu berselisih dengan Kaum Tua, yang menurut mereka, Kaum Tua ini banyak mempraktikkan ibadah yang tidak sesuai dengan Sunnah. Banyak melakukan Bidah, khurafat, dan takhayul.</div>
<div>
<br />
Tidak ada keterangan pada saya apakah Abuya saat itu ikut terpengaruh dengan pemikiran Kaum Muda atau tidak. Tetapi saat beliau belajar di Bustanul Huda, ia sempat berselisih dengan gurunya Syekh Mahmud perkara zikir dan salawat dengan suara keras setelah salat di mesjid-mesjid. Perselisihan semacam ini sangat khas Kaum Muda. </div>
<div>
<br />
Abuya dengan dalilnya menyatakan, zikir dan salawat dengan suara keras setelah salat di masjid itu "haram", dan Syekh Mahmud dengan alasannya sendiri mempertahankan hukum sebaliknya. Terjadilah ketegangan antara guru dan muridnya itu. Di kalangan Kaum Tua, sebagaimana kita tahu, silang pendapat yang frontal antara guru dan murid semacam ini agak tabu.</div>
<div>
<br />
Ketegangan ini masih berlangsung sampai Abuya memilih berhijrah ke Kutaraja untuk melanjutkan studi agamanya. Saat beliau minta izin ke gurunya Syekh Mahmud, beliau tidak mendapat jawaban apa-apa. Sepertinya Syekh Mahmud masih belum bisa memaafkan muridnya itu. </div>
<div>
<br />
Tapi, di saat kelak Abuya kembali lagi ke Labuhan Haji dan berhasil mengalahkan seorang ustaz dari kalangan Kaum Muda PUSA dalam sebuah perdebatan, Syekh Mahmud baru memaafkan muridnya itu.</div>
<div>
<br />
Sekalipun saat itu belum mendapatkan maaf dan doa dari gurunya, Abuya tetap berangkat ke Kutaraja, ke pesantren Syekh Hasan Krueng Kalee. Beliau ingin menimba ilmu di sana. Tetapi sayang, saat tiba di sana, setelah mengikuti Syekh Hasan Krueng Kalee yang saat itu sedang mengkaji kitab Jauhar Maknun, Abuya merasa tidak ada yang lebih dari yang telah beliau punyai.<br />
<br />
Sekalipun demikian, Abuya tetap menganggap Syekh Hasan Krueng Kalee sebagai gurunya. Lebih-lebih lagi, Syekh Mahmud, gurunya di Blang Pidie dulu itu, adalah murid dari dari ulama besar Aceh itu. Guru dari gurunya, berarti guru Abuya juga.</div>
<div>
<br />
Tak jauh ke sebelah barat Kutaraja, di Inderapuri, telah terhembus kabar bahwa ada seorang ulama yang alim. Syekh Ahmad Hasballah Inderapuri namanya. Beliau alim dalam ilmu kiraat Al-Qur'an. Abuya yang merasa kurang dalam ilmu itu, pilihannya tentu jatuh ke pesantren tersebut.</div>
<div>
<br />
Ini menarik, karena Syekh Ahmad Hasballah Inderapuri beraliran Kaum Muda. Sistem belajar juga beda dengan pesantren biasa. Sudah menerapkan sistem Eropa. Misalnya, belajar dengan pakai meja dan bangku. Tidak lesehan layaknya pesantren tradisional yang dikelola Kaum Tua.</div>
<div>
<br />
Setelah sehari di Krueng Kalee, Abuya berangkat ke Inderapuri. Ingin mengaji di situ. Abuya adalah anak yang cerdas. Sekali waktu saat seorang ustaz sedang mendaraskan sebuah kitab Arab, Abuya sontak tunjuk tangan karena ada bacaan ustaz itu yang salah. Ia kemudian membetulkannya.</div>
<div>
<br />
Mulai saat itu, perhatian guru tertuju kepada anak cerdas ini. Bahkan Syekh Ahmad Hasballah sendiri setuju atas usulan mengangkatnya sebagai salah satu dewan guru di pesantren tersebut. </div>
<div>
<br />
Abuya tentu berbahagia mendengar kabar ini, karena sampai saat itu uang belanjanya sudah mulai menipis. Dengan menjadi guru di situ, ia tidak perlu resah lagi perkara uang belanjaan.</div>
<div>
<br />
Jadinya bukan malah belajar, Abuya di Indrapuri malah menjadi pengajar di pesantren tersebut. Kecerdasannya sekarang bukan hanya masyhur di kalangan santri saja, tetapi masyarakat sekitar pun mengetahui kealimannya.</div>
<div>
<br />
Itulah kemudian, kecerdasan anak Blang Poroh ini juga tercium oleh Teuku Hasan Gelumpang Payong, seorang uleebalang di Pidie yang juga konsul Muhammadiyah Aceh kala itu. Teuku Hasan berniat akan mengirimnya ke Kairo Mesir untuk lebih mengembangkan kemampuan ilmu agamanya. <br />
<br />
Teuku Hasan Geulumpang Payong ini dikenal pula dengan Teuku Hasan Dik. Beliau meninggal dibunuh tentara Jepang di Medan karena dituduh menjelek-jelekkan dan membocorkan kelemahan negara Jepang kepada masyarakat Aceh menjelang kekalahannya terhadap pasukan sekutu.</div>
<div>
<br />
Sebelum ke Mesir, oleh Teuku Hasan Abuya lebih dulu dikirim ke Padang untuk belajar di Normal Islam School yang didirikan oleh Ustaz Mahmud Yunus, seorang sarjana lulusan Al Azhar Kairo. Abuya dikirim ke situ sebagai batu loncatan untuk nantinya bisa melanjutkan ke Kairo.</div>
<div>
<br />
Mulai saat itulah, Abuya meninggalkan Aceh menuju Padang Sumatera Barat. Negeri kelahiran Ayahnya. Dan juga mulai saat itu pula, sejarah ilmu pengetahuan agamanya yang gilang gemilang, melejit tajam. Diawali dari Aceh, diasah di Padang, dan nantinya terakhir dikembangkan di Aceh lagi, negeri kelahirannya.</div>
<div>
<br />
Sesampai di Normal Islam Padang, Abuya langsung mendaftar menjadi siswa. Namun, setelah tiga bulan belajar di situ, ia mengundurkan diri secara hormat. Ia tidak tertarik belajar di sekolah tersebut. Ia bercita-cita ingin menjadi ulama besar. Sementara di Normal Islam ini yang diajarkan banyak ilmu umum. Ilmu agama hanya sedikit dalam kurikulum. </div>
<div>
<br />
Yang lebih mengusiknya lagi adalah, siswa di situ diwajibkan memakai setelan celana panjang, baju lengkap dengan dasi. Dan juga wajib ikut olahraga. Daripada menghabiskan waktu dan usia, pikirnya lebih baik beliau pulang saja ke Aceh. Normal Islam School bukan jalan menuju dunianya yang beliau cita-citakan.</div>
<div>
<br />
Namun, ketika mau pulang ke Aceh, Abuya ditahan oleh Ismail Yakub, seorang cendekiawan Aron Aceh Utara, yang telah terlebih dulu sekolah di Padang. Ismail Yakub meminta Abuya untuk jangan pulang dulu ke Aceh. Lebih baik jalan-jalan dulu di Padang. Siapa tahu ada manfaatnya dari apa yang dilihat.</div>
<div>
<br />
Untuk informasi tambahan. Bagi warga Blangjruen dan sekitarnya, seharusnya mengenal tokoh Ismail Yakub ini. Beliau adalah anak cerdas asal Aron yang disekolahkan ke Padang oleh Uleebalang Keureutoe Teuku Chik Muhammad Basyah yang kala itu berdalam di Blangjruen.</div>
<div>
<br />
Setelah selesai studinya di Padang, Ismail Yakub kembali ke Blangjruen untuk mengelola madrasah Bustanul Maarif yang didirikan oleh Teuku Chik Muhammad Basyah pada tahun 1938. Ismail Yakup menjadi direktur sekolah tersebut. Dan Teuku Raja Sabi, putera tunggal Cut Nyak Meutia, sebagai salah satu pengelolanya. Madrasah Bustanul Ma'arif ini, kami orang Blangjruen menyebutnya dengan nama 'Sikula Abeuek Langgeh".</div>
<div>
<br />
Baik, kita kembali lagi ke Padang.</div>
<div>
<br />
Memang arahan Ismail Yakub itu cukup bermanfaat bagi Abuya. Sekali waktu, beliau ikut salat magrib berjamaah di sebuah surau. Telah menjadi adat di surau itu, bahwa ada pengajian setelah salat magrib. Abuya ikut mendengarkannya. Hal yang dulu terjadi di Inderapuri, berlaku juga di sini. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Abuya memperbaiki bacaan ustaz dan koreksinya itu diterima dengan senang hati oleh ustaz tersebut.<br />
Maka mulai saat itu juga, ustaz tersebut meminta Abuya agar datang ke sarau untuk mengimami salat dan juga mengisi pengajian. Abuya yang berasal dari Aceh tentu semakin cepat diterima oleh warga sekitar sebagai orang alim. </div>
<div>
<br />
Dari mengisi pengajian di surau itulah, nama Muhammad Waly menyebar di masyarakat dan dipanggil dengan Angku Mudo. Tak terkecuali, ulama besar Padang, Syekh Haji Khatib Ali dari golongan Kaum Tua, ikut mengagumi kepiawaiannya. Yang pada akhirnya menikahkan Angku Mudo ini dengan seorang cucunya.</div>
<div>
<br />
Abuya, walaupun masih muda saat itu, tapi beliau mengikuti aliran Kaum Tua. Dan barang tentu, bersama ulama Kaum Tua mempertahankan akidah Ahli Sunnah Waljamaah dan mazhab Syafii di Padang. Saat itu Abuya juga berkenalan dengan Syekh Jamil Jaho, yang karena kekagumannya, juga mengambilnya sebagai menantu.</div>
<div>
<br />
Rumah Abuya di Padang sekaligus menjadi tempat pengajian. Banyak sudah muridnya. Bila ada acara hari-hari besar Islam, rumahnya penuh disesaki jamaah Ahlussunah Waljamaah. Rumahnya itu juga menjadi tempat diskusi antara beliau dengan ulama-ulama di Padang.</div>
<div>
<br />
Waktu berjalan terus, sampai Abuya pada suatu tahun berangkat naik haji ke Baitullah. Ia berangkat ditemani istri keduanya, puteri Syekh Jamil Jaho. Selama tiga bulan di Masjidil Haram, waktu benar-benar dimanfaatkannya.</div>
<div>
<br />
Selain berhaji, beliau juga mengaji pada ulama-ulama di Masjidil Haram. Salah satunya yang terkenal adalah Syekh Ali Maliki. Dari Syekh inilah beliau mendapat ijazah Islamiah dan bahkan ijazah ilmu hadits. Di Arab, beliau tidak mengambil tarekat tasawuf. Baru kemudian setelah pulang ke tanah air, beliau mengambilnya di Kampar pada Syekh Haji Abdul Gani Alkamfari.</div>
<div>
<br />
Setelah beliau memperoleh ijazah tarekat naqsabandiyah dari Syekh Abdul Gani, beliau pulang lagi ke Padang dan mendirikan pesantren yang bernama Bustanul Muhaqqiqien di Lubuk Bagalung. Banyak murid berdatangan, termasuk dari Aceh, tanah kelahirannya.</div>
<div>
<br />
Namun, pesantren itu tidak berlangsung lama. Tahun 1942 Belanda kalah dan Jepang masuk ke Hindia. Suasana menjadi tidak kondusif lagi di Padang. Akhirnya, beliau kembali ke Labuhan Haji Aceh Selatan. Di Labuhan Haji, kemudian beliau mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama Darussalam. </div>
<div>
<br />
Dari Pesantren inilah, ulama Aceh dicetak. Untuk kawasan Blangjruen dan sekitarnya, setahu saya ada dua ulama yang merupakan murid langsung dari Abuya Muda Waly: yaitu Abu Hanafi Matangkeh Matangkuli dan Almarhum Abu Muhammad Isa Mulieng Aron, ayahanda dari Waled Mustafa M. Isa Pulo.</div>
<div>
<br />
Menarik bagi saya, nama Abu Muhammad Isa Mulieng setidaknya dua kali disebutkan oleh Prof. Muhibuddin Waly dalam menulis biografi ayahnya itu. Mungkin saja, beliau sangat terkenang dengan ulama Aron ini. Beliau adalah ulama ahli Hisab Aceh Utara yang belajar ilmu Falak langsung pada Abuya Muda Waly.</div>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-40850999683721252062019-12-24T16:59:00.000+08:002020-07-19T17:00:17.415+08:00ABS, Anti-lock Brake SystemABS sebagai salah satu sistem pengaman rem pada mobil ternyata fungsinya masih banyak disalahpahami orang. Ada yang bilang bahwa ABS itu fungsinya untuk menambah kekuatan cengkeram kampas rem. Sehingga roda mobil akan berhenti berputar sekelebat setelah pedal rem ditekan. Dan roda akan terkunci mati sampai pedal rem dilepaskan lagi.<div>
<br />Pemahaman semacam itu justeru berbeda 180 derajat dengan dengan apa yang dikerjakan oleh ABS. Fungsi ABS justeru mengontrol agar roda tidak terkunci mati saat sopir tiba-tiba menekan rem dengan maksud ingin menghentikan mobil secara mendadak. </div>
<div>
<br />ABS secara otomatis melepas cengkeraman rem manakala ban sudah terdeteksi terkunci. Kemudian rem difungsikan lagi. Dilepaskan lagi. Difungsikan lagi. Begitu seterusnya sampai mobil berhenti dengan perlambatan yang normal.</div>
<div>
<br />Kenapa ABS mengatur pola buka-tutup semacam itu? Itu berangkat dari kenyataan bahwa mobil dengan kecepatan 100 km/jam, membutuhkan waktu minimal 5 detik untuk menghentikannya secara normal.</div>
<div>
<br />Jadi begitu sopir menekan rem secara mendadak sampai bannya terkunci, dan sensor kecepatan di setiap roda mendeteksi bahwa kecepatan roda sudah nol, maka ban dengan jalan dipastikan sudah terjadi selip. Karena antara penekanan pedal rem dan terkuncinya ban, biasanya tidak sampai sedetik.</div>
<div>
<br />Oleh karena itu, biarpun roda sudah berhenti, tapi mobil tetap melaju, meluncur malah dengan kecepatan lebih tinggi. Dan pada saat ban sudah selip seperti itu, mobil tidak akan bisa dikontrol lagi. Ia akan melaju ke mana saja sisi mobil yang lebih berat. Jika berat sebelah kiri, maka ia akan terlempar ke kiri. Begitu juga sebaliknya. Atau, akan berputar-putar dan terbalik.</div>
<div>
<br />Kejadian semacam inilah yang ingin dihilangkan dengan adanya ABS. ABS akan melepas rem jika ia mendeteksi ada perlambatan yang aneh pada roda. Misalnya, roda sedang berputar dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba sensor mengirim kabar bahwa kecepatan roda menurun cepat, maka ABS akan melepas rem segera sebelum kecepatan roda menjadi nol.</div>
<div>
<br />Jika ban sudah berputar lagi, ABS akan mengaktifkan rem kembali, kemudian melepaskan lagi, dan menekan lagi, begitu seterusnya sampai mobil berhenti dengan normal. Ini tentu berlangsung sangat cepat. ABS sanggup melakukan pekerjaan buka-tutup ini sebanyak 15 kali dalam sedetik.</div>
<div>
<br />Karena itulah, sistem pengaman ini diberi nama dengan ABS, Anti-lock Brakes System. Sistem Rem Anti-terkunci. Tidak akan ada istilah slip jika mobil kita dibekali dengan ABS. Pengereman dengan bantuan ABS mengakibatkan mobil cepat terhenti. Karena slip adalah biang keladi mobil tidak berhenti ketika direm mendadak.</div>
<div>
<br />Jika mobil dibekali dengan ABS, ketika mobil direm mendadak, mobil akan bergemuruh karena getaran yang diakibatkan oleh sistem buka-tutup atau putus-nyambung rem. Jangan takut. Tekan saja remnya. Jangan lepaskan. Karena itu justeru ABS sedang bekerja untuk menyelamatkan Anda. </div>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-23283489569621538412019-12-15T16:58:00.000+08:002020-07-19T16:58:50.715+08:00Musim dan Jenis PenanggalanAda perdebatan kecil di sebuah warung kopi di kampung saya perkara penanggalan jenis mana yang sesuai dengan musim. Apakah penanggalan Hijriah atau Masehi? Saya yang ikut mendengar perdebatan itu terasa sulit rasanya jika langsung ikut campur, kecuali hanya ingin aku tulis dalam tulisan singkat ini. Supaya bisa dibaca banyak orang.<div>
<br />Namun, setelah saya cek arsip tulisan saya di blog, ternyata saya sudah menulis perkara ini di saat dulu saya menceritakan tentang tanggal kelahiran Baginda Nabi Saw. Dan setelah saya kopi, penggal, dan tambah di sana-sini, maka begini jadi ceritanya:</div>
<div>
<br />"Pada era pra-islam, masyarakat Arab menggunakan kalender luni-solar yang tidak hanya berpatokan pada peredaran bulan, tapi juga pada matahari. Awal dan akhir bulan luni-solar berpatokan pada kemunculan hilal muda, tetapi bulan-bulannya berkaitan dengan musim-musim di jazirah Arab. Sehingga kalender itu juga harus mengikuti peredaran matahari di samping bulan.</div>
<div>
<br />Hal inilah yang mengakibatkan nama-nama bulan dalam penanggalan Arab diambil dari nama-nama musim dan kejadian-kejadian tertentu pada bulan tersebut. Bulan pertama, yang dimulai pada penguhujung musim panas (September) dinamakan dengan bulan Muharram karena pada bulan tersebut seluruh penduduk semenanjung Arabia sepakat mengharamkan perang.</div>
<div>
<br />Masuk bulan Oktober, dedaunan menguning, maka bulan tersebut diberi nama Safar, yang artinya menguning. Setelah selesai menguning, maka tibalah musim gugur yang terjadi pada bulan November dan Desember, maka kedua bulan itu dinamakan dengan nama Rabi', yang artinya musim gugur. Jadi, November sebagai Rabiul Awal dan Desember sebagai Rabiul Akhir.</div>
<div>
<br />Setelah musim gugur yang kedua pada bulan Desember selesai, maka masuklah musim dingin pada bulan Januari dan Pebruari. Maka kedua bulan ini dinamakan dengan Jumad, yang artinya dingin atau beku. Sehingga Januari dinamai sebagai Jumadil Awal dan Pebruari sebagai Jumadil Akhir.</div>
<div>
<br />Selanjutnya, di bulan Maret, matahari mulai bergerak dari belahan bumi bagian selatan menuju ke utara, sehingga jazirah Arab perlahan akan menghangat, yang mengakibatkan salju peninggalan musim dingin mulai mencair. Oleh karena itu, bulan Maret disebut sebagai bulan Rajab, yang artinya mencair.</div>
<div>
<br />Seiring menghangatnya jazirah Arab, pada bulan April masyarakat Arab turun ke lembah-lembah untuk bertani. Maka bulan April dinamakan dengan Bulan Sya'ban, yang artinya lembah. Lembah digunakan sebagai tempat bertani karena dekat dengan sumber air.</div>
<div>
<br />Sekarang masuklah bulan Mei, yaitu awalnya musim panas di jazirah Arab. Sehingga bulan Mei dinamakan dengan Ramadhan, yang artinya adalah panas atau terik. Panas masih tetap berlanjut dan pada bulan Juni terus meningkat panasnya. Sehingga bulan Juni disebut sebagai bulan Syawal, yang artinya peningkatan, karena panasnya terus meningkat daripada sebelumnya.</div>
<div>
<br />Musim panas di Jazirah Arab mencapai puncak pada bulan Juli. Sehingga orang-orang pada bulan ini enggan keluar kemana-mana. Mereka lebih suka duduk-duduk saja di rumah. Maka bulan Juli disebut dengan Zulka'idah, bulan yang di dalamnya orang-orang hanya menghabiskan waktu dengan duduk-duduk saja.</div>
<div>
<br />Sementara bulan Agustus, panas sudah mulai menurun, pada bulan ini orang-orang berbondong-bondong berhaji ke Baitullah di Mekkah. Sehingga bulan ini dinamakan dengan bulan Zulhijjah. <br />Zulhijjah adalah bulan ke-12 atau bulan terakhir dalam penanggalan Arab. Karena panjang bulan tersebut berpatokan pada peredaran bulan di langit, maka jumlah hari dalam sebulan kalau tidak 29, maka 30. Sehingga jumlah hari dalam setahun adalah tidak lebih dari 355 hari. </div>
<div>
<br />Mengingat tahun matahari yang sesuai musim mencapai 366 hari, maka setiap setahun ia akan berselisih 11 hari dengan tahun Arab. Oleh karena itu, agar bulan Arab tetap sesuai dengan musim, maka ditambahlah satu bulan setelah bulan Zulhijjah sebanyak 7 kali dalam 19 tahun. Sehingga bangsa Arab memiliki bulan ke-13 pada tahun-tahun tertentu, yang dinamakan oleh mereka dengan bulan Nasi'.</div>
<div>
<br />Terkait bulan Nasi' ini, ada yang lucu. Karena perbedaan sistem hisab yang dipakai oleh kabilah-kabilah Arab, terkadang penambahan bulan Nasi' tidak serentak. Satu kabilah beranggapan bahwa tahun ini, misalnya, ada bulan Nasi', sementara kabilah lain berpendapat langsung masuk bulan Muharram setelah Zulhijah. </div>
<div>
<br />Alhasil, ada kabilah yang diserang padahal mereka menganggap ini sudah masuk bulan Muharram, sehingga mereka tidak siap untuk berperang. Mereka yang menyerang pun tidak merasa bersalah karena sistem perhitungan mereka menyatakan bahwa sekarang adalah bulan Nasi'. Jadi bebas saja berperang sesuka hati.</div>
<div>
<br />Karena terjadi kesemrawutan ini, setelah datangnya Islam, maka turunlah surat Attaubah ayat 36 yang menegaskan bahwa jumlah bulan tidak lebih dari 12 bulan. Tentu saja, bulan Nasi' terhapus dengan turunnya ayat ini.</div>
<div>
<br />Dengan dihilangkannya bulan Nasi', maka sistem penanggalan Arab berubah dari luni-solar menjadi lunar totok, mutlak tergantung pada peredaran bulan saja. Sehingga bulan-bulan penanggalan Arab tidak lagi sesuai musim. Ramadan yang dulu jatuh pada musim panas, sekarang bisa jatuh pada musim dingin, gugur, dan lain sebagainya. Namun demikian, nama bulannya tetap saja masih dipakai sampai sekarang."</div>
<div>
<br />Jadi kesimpulannya adalah, penanggalan Hijriah yang sekarang kita pakai tidak ada hubungannya lagi dengan musim, karena hanya berpatokan pada peredaran bulan. Yang sesuai dengan musim adalah penanggalan Masehi yang berpatokan pada peredaran matahari. Musim itu hanya terikat dengan peredaran matahari. Bukan bulan.</div>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-26702492510922724922019-11-27T16:56:00.000+08:002020-07-19T16:56:44.850+08:00Dosen Pelupa dan Nasi BungkusSejak kecil saya memang terkenal pelupa. Agak parah. Misalnya begini, saya jalan dari parkiran kampus dengan menenteng sesuatu. Di tengah jalan dicegat mahasiswa untuk minta tanda tangan atau minta bimbingan.<div>
<br />Biasanya saya langsung cari tempat duduk terdekat untuk melayaninya. Yang saya tenteng tadi, saya taruh di samping. Selesai urusan, mahasiswa itu pergi, dan saya juga. Dan, barang yang saya taruh tadi, biasanya, dipastikan tinggal di situ.</div>
<div>
<br />Makanya, saya paling resah kalau pergi jauh yang mengharuskan saya membawa tas banyak. Biasanya saya tidak mau tas lebih dari dua. Atau, kalau terpaksa harus membawa lebih, saya selalu mengingat jumlahnya setiap saat mau beranjak. Setiap berhenti, kemudian mau berangkat lagi, jika tas saya ada tiga misalnya, angka itulah yang saya ingat. Kalau sudah ada tiga, baru berangkat.</div>
<div>
<br />Separah itu? Iya. Makanya, saya paling jengkel kalau ada yang menitip sesuatu saat saya melakukan perjalanan jauh. Bikin was-was saja. Perjalanan menjadi tidak bisa saya nikmati sama sekali. Di samping, saya juga tak begitu suka jalan-jalan.</div>
<div>
<br />Yang lebih parah lagi, soal bolpoin. Dosen itu kan identik dengan bolpoin yang bagus? Yang selalu tersungging di saku bajunya? Saya pernah mencoba begitu. Membeli pena bagus. Tapi, ternyata paling lama tahan tiga hari. Setelah itu raib entah kemana. Entah di rimba mana ia kutinggalkan. Makanya, saya hampir selalu tak punya bolpoin.</div>
<div>
<br />Hampir semua mahasiswa saya tahu itu. Kalau mau minta tanda tangan Pak Usman, berarti harus bawa bolpoin. Pak Usman pasti enggak punya. Dan biasanya, saya marahi mereka kalau berurusan dengan saya tanpa bawa bolpoin.</div>
<div>
<br />Lebih gila lagi, setelah saya tanda tangan, bolpoin mereka itu lupa saya kembalikan. Mahasiswa pun kayaknya lupa mengambilnya kembali. Atau, mungkin saja mereka enggak berani minta. Dan bolpoin itu pun, kalau tidak mereka ambil lagi, maka akan menjadi korban selanjutnya. Hilang entah kemana.</div>
<div>
<br />Nah. Kemarin. Kasus. Tapi ini baru pertama terjadi dalam dunia persilatan. Pas mau makan siang, nasi bungkus saya hilang tak tahu ke mana. Saya bingung. Masalahnya, itu nasi bungkus bukan sembarang bungkus. Dibungkus oleh istri saya di rumah. Buat makan siang saya.</div>
<div>
<br />Loh. Kenapa dibungkus? Itu hanya untuk mengelabui lawan, agar mereka mengira itu nasi warung. Pengalaman, kalau saya bawa nasi pakai Tuperware, ada saja ceritanya kalau ketemu teman. Tapi kalau nasi bungkus, saya merdeka dari itu semua. </div>
<div>
<br />Terus, mungkin, ada yang tanya lagi begini, kenapa saya bawa bekal dari rumah? Jawabannya mudah saja: biar irit. Enggak usah cari-cari alasan lain biar kelihatan elegan. Irit saja sudah capek, jangan ditambah lagi dengan jawaban karangan untuk berkilah. Bikin tambah capek lagi.</div>
<div>
<br />Okelah. Jadi, ketika nasi bungkus tidak kuketahui rimbanya, bingunglah anak muda tahun 80-an ini. Agak sulit, karena kali ini saya enggak berani tanya siapa pun apakah ada yang melihat nasi bungkus saya? Tidak berani. Takut dibilang pula aku Dosen Nasi Bungkus!</div>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-84921682069952486302019-11-25T16:53:00.000+08:002020-07-19T16:54:14.675+08:00Guru? Bukan. Aku DosenHari ini hari guru. Anak-anak sekolah menengah ke bawah, mereka menyiapkan kue tar dan kekado untuk dipersembahkan kepada gurunya. Sebagai penghormatan dan kasih sayang mereka kepada pahlawan tanpa tanda jasa itu.<div>
<br />Dulu semasa saya sekolah belum ada hari ini-hari itu. Memberi kado kepada guru hanya pada hari perpisahan saja. Itu pun kadonya dibeli dengan uang keroyokan anak-anak sekelas. Isi kadonya juga klise sekali: jilbab, kain untuk bahan baju, handuk, dan jenis lainnya yang tak jauh-jauh dari itu.</div>
<div>
<br />Sekarang. Sudah canggih. Saya dengar cara mereka merayakannya seperti acara ulang tahun itu. Ini agak aneh, menurut saya. Kue tar ala ulang tahun itu dipotong terus disuapkan kepada gurunya. Agak lucu ini. Tapi tidak apa-apalah. Tidak ada undang-undang yang dilanggar. Bebas saja kalau cuma hal itu.</div>
<div>
<br />Saya tentu, juga punya guru. Saya sangat mencintai mereka. Tapi tidak pernah merayakan hari guru. Bukan pelit. Bukan. Itu karena dulu, memang, kami, tidak kenal acara gitu-gituan. Apalagi saya, asal tahu saja, sama sekali tidak suka sama perayaan apapun. Termasuk perayaan ulang tahun.</div>
<div>
<br />Istri saya, tak pernah saya rayakan ulang tahunnya. Anak-anak saya juga tidak. Dan juga saya, tak pernah merayakannya. Apalagi, saya tidak tahu kapan saya dilahirkan. Soal perayaan ulang tahun ini, kelihatannya istri saya juga tidak suka.</div>
<div>
<br />Eh, saya hampir lupa. Ternyata, siapa saja yang dianggap sebagai guru, dan berhak dirayakan harinya pada hari ini, berbeda antara Indonesia dengan Taiwan, tempat saya mengambil doktor. <br />Di sana, dosen juga dipanggil dan dianggap sebagai guru. "Teacher". Atau, orang Taiwan menyebutnya "Laoshi". Sehingga di Taiwan hari guru dirayakan mulai dari mahasiswa sampai anak-anak di grup bermain (play group).</div>
<div>
<br />Saya agak lupa-lupa ingat, kayaknya dua bulan yang lalu saya ditanyakan sama teman saya alumni Taiwan, apakah saya sudah mengucapkan selamat hari guru kepada profesor kami? Tentu saja belum. Karena begitu kembali ke Indonesia, saya benar-benar menjadi warga +62 seutuhnya.</div>
<div>
<br />Di sini, di Indonesia ini, guru itu adalah untuk pengajar sekolah menengah ke bawah. Di atasnya adalah dosen. Dan tidak ada hari dosen. Dan karenanya, tidak pernah dirayakan. Soalnya sampai hari ini belum ada hari dosen.</div>
<div>
<br />Untuk saya yang suka menyendiri, ini cocok sekali. Kalau misalnya hari guru juga dirayakan buat dosen, tentu hari ini saya sibuk sekali melayani mahasiswa dengan suap menyuapkan kue tarnya. Sesuatu yang tidak saya sukai sama sekali!</div>
<div>
<br />Jangankan acara-acara begituan, saya malah pernah mewanti-wanti mahasiswa saya untuk tidak pernah mengundang saya di acara buka puasa bersama. Saya merasa butuh di rumah bersama istri saat waktu berbuka puasa!</div>
<div>
<br />Jadi, seharusnya saya berterimakasih kepada budaya Indonesia yang tidak menganggap saya sebagai guru. Saya adalah dosen. Dan jadi dosen itu adalah hobi saya. Dari dulu. Sampai sekarang. Dan tidak setuju jika kelak ada harinya, dan dirayakan.</div>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-13334152029714140532019-11-11T16:51:00.000+08:002020-07-19T16:51:55.310+08:00Malaka, Biang Tumbuh dan Meluruhnya AcehPintu gerbang itu berdiri suram. Porta de Santiago. Namanya. Seakan ia dulu tak pernah megah. Pintu gerbang itu, teronggok sendiri. Hanya pintu gerbang. Cuma itu yang tersisa sekarang untuk menyapa para pengunjung. Dindingnya, telah dihancurkan. Untuk memenuhi nafsu serakah para kolonial.<div>
<br />Porta de Santiago, menjadi pintasan di memori saya akan darah 20 ribu pasukan kerajaan Aceh. Mereka gugur menjadi syuhada sebelum sempat menyentuh dinding pintu gerbang ini. Dinding yang melindungi sebuah kota pertahanan kolonial Portugis di Malaka. Kota pertahanan A Famosa. Kota pertahanan racikan Portugis.<br /><br />Syahdan. Di akhir abad keempat belas. Kerajaan Jawa Hindu Majapahit, untuk mewujudkan Sumpah Palapa Patih Gajah Mada, menyerang Palembang, Pasai, dan juga tak tertinggal, mata kerisnya dihantamkan ke atas punggung Singapura pada sekira tahun 1377.<br /><br />Singapura saat itu juga berupa kerajaan Hindu. Dinakhodai oleh raja berlakab Parameswara, keturunan Sriwijaya Palembang. Atas serangan Majapahit, Singapura alah. Parameswara lari ke Malaka. Orang-orang Islam Pasai juga banyak yang lari ke situ. Di Malaka saat itu belum ada kerajaan. Ia berada dibawah kerajaan Siam (Thailand).<br /><br />Parameswara kemudian dirajakan di Malaka. Tapi tetap menjadi vasal Siam. Bingkisan kesetiaan tetap selalu dikirim ke Siam. Ini menjadi awal berdirinya kerajaan Malaka yang kelak menjadi kerajaan Melayu yang gilang gemilang di Semenanjung.<br /><br />Pengaruh imigran Pasai, dakwah seorang ulama Jeddah Sidi Abdul Aziz, dan juga karena sakit hatinya pada kerajaan Majapahit, Parameswara akhirnya memilih Islam menjadi agama barunya. Dan bersalin nama menjadi Sultan Muhammad Syah.<br /><br />Pengaruh Islam juga karena ia berbiras dengan Sultan Malikussaleh Pasai. Istri Sultan Muhammad Syah adalah saudara perempuan dari permaisuri Sultan Malikussaleh Putri Gangga. Anak raja Pereulak.<br /><br />Kerajaan Malaka kelak begitu berjaya. Banyak kapal pedagang dari berbagai belahan dunia bersilang siur di pelabuhannya. Sampai akhirnya, madu Malaka tercium oleh agresor Portugis. Ini adalah akhir dari segalanya bagi kerajaan Malaka.<br /><br />Awal abad keenam belas, Portugis datang ke Malaka dengan dalih berdagang. Tahun 1509, kaki "Benggali Putih" itu menjejak di tanah Malaka di bawah pimpinan Diego Lopez de Sequeira. Mereka diterima baik oleh Sultan. Pinta mereka hendak membeli setumpak tanah untuk gudang berniaga pun dikabulkan Sultan.<br /><br />Sementara sebagian awak kapal tinggal di Malaka untuk membangun gudang, Sequeira kembali ke Goa India untuk melapor kepada gubernur Portugis di Goa Alfonso de Albuqueque, bahwa Malaka baiknya dikuasai saja! Apalagi Sequeira mencium ada perpecahan antara Bendahara dan Sultan. Bendahara lebih tinggi bintangnya di masyarakat tinimbang Sultan.<br /><br />Maka, tak lama, de Albuquerque mengirim Gonzalo Pereira ke Malaka untuk menyerang. Malaka kaget dan murka. Mereka melawan, di bawah pimpinan Bendahara. Gudang Portugis dibakar. Penghuninya ditangkap. Ada sembilan orang berhasil kabur ke Pidie Aceh. Sementara Pereira tewas.<br /><br />Portugis kali ini kalah telak. Gegara ini Bendahara makin naik saja bintangnya. Menenggelamkan nama Sultan. de Albuquerque gusar bukan kepalang mendengar kekalahan ini. Ia akan menyusun kekuatan untuk agresinya yang kedua.<br /><br />Setelah Bendahara wafat, maka pada tahun 1511 de Albuquerque memimpin sendiri agresi keduanya ke Malaka. Dalam perjalanan dari Goa, ia singgah di Pidie Aceh. Di sana ia bertemu sembilan orang Portugis yang dulu lari dari amukan Malaka. Dan mereka sekarang bergabung lagi.<br /><br />Sampai di Malaka pasukan Portugis disambut baik oleh Sultan. Sultan mengirim utusan untuk bertemu de Albuquerque. Sultan bilang bahwa amukan yang dulu itu bukan atas persetujuannya. Itu hanya polah dari Bendahara. Oleh karena itu, aku Sultan, Bendahara telah dibunuh atas kelancangannya itu.<br /><br />Setelah menerima laporan itu, de Albuquerque meminta agar tawanan Portugis segera dibebaskan. Namun, Sultan telat menanggapi permintaan itu. Maka Portugis menggempur kota pantai Malaka sampai hangus terbakar. Setelah itu baru Sultan mengembalikan tawanan itu. Setelah kelar masalah pertama, kemudian de Albuquerque mengajukan permintaan kedua, agar Malaka mengganti seluruh kerugian Portugis selama peperangan di Malaka.<br /><br />Kali ini, Sultan tegas menolak. Maka perang pun pecah. Malaka alah setelah sepuluh hari berperang. Sultan Mahmud Syah terpaksa kabur ke pulau Bintan. Setelah kemudian Bintan jatuh juga, Baginda lari ke Kampar, Riau, Sumatera. Ia tetap dirajakan di sana sampai wafatnya pada tahun 1528. Makamnya masih bisa ditemukan sampai sekarang di Kampar.<br /><br />Itulah akhir dari kerajaan Islam Malaka. Malaka mulai tahun 1511 menjadi jajahan Portugis. Untuk memperkuat posisinya, Portugis membangun kota pertahanan yang diberi nama A Famosa dibekas reruntuhan istana Sultan, di atas sebuah bukit yang dulu disebut dengan bukit Malaka.<br /><br />Di tangan Portugis, bukit itu berubah nama menjadi Bukit ST. Paul, karena di atasnya telah dibangun sebuah gereja Katolik ST. Paul. Gereja tersebut, sisanya masih bisa dilihat sampai sekarang. Sementara dinding, sebagai benteng yang mengelilingi bukit ST. Paul, sudah tak bersisa lagi sekarang. Hanya pintu gerbangnya saja yang masih bisa dilihat. Yaitu apa yang dinamai dengan Porta de Santiago.<br /><br />Sekarang kita tinggalkan dulu tanah Malaka dengan Portugisnya, menuju Aceh. Pada tahun 1507 Sultan Ibrahim dari Pidie berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh dan membentuk kerajaan Aceh Darussalam dengan ia sendiri menjadi Sultan pertamanya, dengan gelar Sultan Ali Mughayat Syah.<br /><br />Sebagaimana telah kita uraikan di muka, di mana empat tahun kemudian, 1511, Malaka tewas diterjang Portugis, pedagang-pedagang Islam yang dulu aktif berdagang di Malaka, sekarang memutar haluan ke Aceh. Jalur Selat Malaka mulai mereka tinggalkan. Mulai saat itulah, Aceh mulai naik bintangnya. Pelabuhannya menjadi hidup dan pantai barat Aceh menggeliat menggantikan peran Selat Malaka.<br /><br />Dari informasi ini dapat dipahami bahwa, sebenarnya secara ekonomi, jatuhnya Malaka justeru menguntungkan Aceh. Kerajaan Aceh menjadi berkembang. Namun secara politik, Portugis di Malaka bagai duri dalam daging bagi Aceh. Maka secara turun temurun kerajaan Aceh selalu menyerang Portugis di Malaka.<br /><br />Sultan Alauddin Riayatsyah Alqahhar dua kali menyerang Portugis di Malaka, yaitu pada tahun 1547 dan 1568. Dan pada tahun 1579, Sultan Alauddin Mansyur Syah juga ikut menyerbu ke sana. Tetapi penyerangan-penyerangan itu gagal. Hanya beberapa kerajaan Melayu saja yang berhasil ditaklukkan. Sementara Portugis di Malaka tetap berdiri tegak.<br /><br />Aceh nemang belum bosan untuk terus menyerang Portugis di Malaka. Pada tahun 1629, Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam, Sultan Aceh yang gilang gemilang, ikut menyusun kekuatan untuk merontokkan Malaka. Tak kurang dari 236 kapal perang dan 20 ribu prajurit dikirim ke Malaka.<br /><br />Tapi, ada kabar buruk dalam penyerangan kali ini. Panglima Sultan, Orang Kaya Laksamana, yang telah berpengalaman dalam memimpin penaklukan demi penaklukan, tidak setuju atas penyerangan kali ini. Menurutnya ini waktunya tidak tepat untuk menyerang.<br /><br />Tapi Sultan ambisinya telah memuncak. Penyerangan menurutnya harus dilakukan. Akhirnya, Perdana Menterinya, Orang Kaya Raja Setia Lela, bersedia untuk memimpin ekspedisi ini. Tapi Laksamana juga ikut ditugaskan ke sana. Sekalipun hanya ditugaskan untuk memimpin pasukan kecil saja. Maka laskar pun berangkatlah.<br /><br />Sampai di sana, Malaka dikepung oleh pasukan Aceh selama lima bulan. Satu per satu pertahanan Portugis direbut pasukan darat Aceh, yang dipimpin oleh Orang Kaya Laksamana. Orang Kaya Raja Setia Lela memimpin penyerangan melalui sungai Malaka.<br /><br />Pasukan darat pertama merebut Bandar Hilir, kemudian benteng Bukit ST. John. Seterusnya, Gereja Madre de Dios juga berhasil diduduki setelah dua bulan dikepung. Portugis sekarang terdesak ke benteng pertahanan terakhirnya, yaitu bukit ST. Paul di A Famosa. Benteng A Famosa itulah yang tidak bisa ditaklukkan karena bentuknya yang sulit diterobos.<br /><br />Pasukan Aceh cukup lama mengepung A Famosa. Portugis memang telah sangat siap atas serangan ini. Logistik di dalam Benteng melimpah untuk dihabiskan dalam waktu lama. Sehingga mereka bisa bertahan dalam waktu yang lama saat dikepung pasukan Aceh.<br /><br />Pengepungan yang begitu lama itu ternyata merugikan Aceh. Di mana tiba-tiba bantuan sekutu Portugis datang, yaitu dari Pahang, Johor, dan Patani. Dan juga, pasukan Portugis sendiri dari Goa tiba-tiba muncul menambah kekuatan sekutu.<br /><br />Dengan kedatangan mereka, sekarang justru Aceh yang terkepung (meubaleek kompreeh). Pasukan laut Aceh yang sudah terlanjur masuk ke muara sungai Malaka, tidak bisa keluar lagi. Kemudian diserang habis-habisan sampai wafat semuanya. Termasuk Orang Kaya Raja Setia Lela menjadi korban.<br /><br />Orang Kaya Laksamana di darat hanya bisa melihat saja pasukan laut Aceh diserang. Tanpa bisa berbuat apa-apa. Ditambah lagi telah ada gesekan antara kedua pemimpin ini. Akhirnya, setelah menghabisi pasukan laut, sekarang pasukan darat Aceh mulai diserang. Laksamana terdesak, dan meminta damai, tapi ditolak oleh Portugis. Laksamana diminta menyerahkan diri saja.<br /><br />Laksamana tidak mau menyerah dan menyelamatkan diri ke hutan Malaka. Tapi akhirnya, karena sudah sangat terdesak, Laksamana mau menyerahkan diri kepada pasukan Pahang dengan syarat tidak diserahkan ke Portugis.<br /><br />Namun, setelah menyerah, Laksamana diserahkan juga ke Portugis. Bukan main riangnya pasukan Portugis. Laksamana direncanakan akan dibawa ke Lisabon untuk diarak di kota sebagai kebanggaan mereka karena sudah mampu memukul habis pasukan Aceh yang "super power" kala itu. Tapi sahib riwayat menyatakan bahwa Laksmana tidak sampai ke Lisabon. Di perjalanan Beliau dikabarkan terbunuh. Entah apa yang terjadi.<br /><br />Inilah akhir dari kemegahan armada laut Aceh. Bisa dikatakan, 20 ribu pasukan Aceh wafat saat mencoba menaklukkan Portugis di Malaka. Ada enam belas prajurit yang tersisa sempat pulang sampai ke Aceh. Tapi akhirnya dibunuh juga oleh Sultan karena murkanya atas berita itu.<br /><br />Mulai saat itu, kemegahan angkatan laut Aceh mengendur. Aceh mulai sulit mengontrol daerah taklukannya untuk melakukan monopoli perdagangan. Aceh di masa Iskandar Muda walaupun gilang gemilang dengan berbagai penaklukan, tapi tentara Aceh cukup banyak juga binasa, yang puncaknya terjadi di Malaka.<br /><br />Tak lama setelahnya, tujuh tahun berlalu, secara tiba-tiba Sultan Iskandar Muda wafat pada tanggal 27 Desember 1636. Dari bacaan saya, ada informasi Baginda diracun oleh para wanita Makasar atas suruhan Portugis.<br /><br />Memang, beberapa saat sebelum Baginda mangkat, beliau menginstruksikan agar orang-orang Portugis yang ada di Aceh dibunuh. Mungkin ini karena sakit hatinya pada kaum mereka yang telah menenggelamkan ambisinya!<br /><br />Ditulis di Malaka, 11 November 2019<br />__________<br />Untuk mengkaji lebih jauh tentang sejarah ini, setidaknya silakan baca empat buku berikut:<br />1. Sejarah Umat Islam, oleh Hamka<br />2. Aceh Sepanjang Abad Jilid 1, oleh Muhammad Said<br />3. Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda, oleh Rusdi Sufi.<br />4. Tarich Atjeh dan Nusantara, oleh Zainuddin<br /><br /><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBJV2Z_Mke9Ps4TWycZjhBEUVnoV5n746SRd-1aYwNiIUcQUsYQqAxz99DQeWpa30XEBT7oCpKbSaanBtmMTJftLc9P93UYJB8xCpX5-tk9wyQtrAh736A2bfIQArXGRGwQoWAMvubs5VK/s1600/Bekas+pintu+gerbang+benteng+A+Famosa+Porta+de+Santiago+Di+belakangnya+adalah+Bukit+ST+Paul.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="450" data-original-width="600" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBJV2Z_Mke9Ps4TWycZjhBEUVnoV5n746SRd-1aYwNiIUcQUsYQqAxz99DQeWpa30XEBT7oCpKbSaanBtmMTJftLc9P93UYJB8xCpX5-tk9wyQtrAh736A2bfIQArXGRGwQoWAMvubs5VK/s1600/Bekas+pintu+gerbang+benteng+A+Famosa+Porta+de+Santiago+Di+belakangnya+adalah+Bukit+ST+Paul.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Bekas pintu gerbang benteng A Famosa, Porta de Santiago. Di belakangnya adalah Bukit ST. Paul.</td></tr>
</tbody></table>
</div>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-50940301248204327812019-10-20T15:52:00.000+08:002020-07-19T15:53:46.696+08:00TipPaling tidak saya sukai ketika memakai jasa orang, saat ditanyai berapa ongkosnya, jawabnya, " Neujoek aju beurangkadit - Kasihkan berapa saja." Atau, kadang dengan ungkapan, "Nejoek aju beuloe - Kasihkan saja yang banyak."<div>
<br />Ini sering terjadi biasanya pada penyedia jasa kecil-kecil. Semisal jasa mengecilkan atau permak baju dan celana, membetulkan atap rumah yang bocor dan lain-lain sebangsanya yang kecil-kecil.<br />Jawaban sebagai itu benar-benar membuat saya galau mendadak. Saya merasa perlu menghitung-hitung berapa harus membayarnya. Yang saya takutkan tentu saya sampai menghargainya terlalu murah. Dia yang rugi. Atau, saya yang jadi rugi, karena membayarnya terlalu mahal. Dan biasanya, yang kalah adalah saya.</div>
<div>
<br />Saya mau yang normal-normal saja. Tidak ada yang dirugikan. Namun, jika kondisi seperti tadi berlaku, di mana saya betul-betul tidak mengerti berapa pasaran harga jasa yang saya pakai, saya biasanya mendesak dengan memohon agar dia menetapkan harganya. Sesuatu yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Cukup memuakkan!</div>
<div>
<br />Seharusnya, setiap penyedia jasa, mereka tetapkan saja harganya. Dengan itu tidak ada yang "benjol". Semuanya akan tersenyum bahagia. Kalau pelanggan merasa harganya mahal, dia akan menawarkan. Sesuatu yang lumrah terjadi dalam dunia bisnis.</div>
<div>
<br />Terus terang. Saya, sekali saja ada penyedia jasa memaksa saya memberi harga untuk jasanya, besok-besok biasanya saya akan cari tempat lain. Mencari yang bisa menghargai hasil kerjanya sendiri. Tidak memaksa pelanggannya untuk menghitung-hitung atas pekerjaannya. Bikin capek saja. Dan stres juga.</div>
<div>
<br />Mending ada yang begini, penyedia jasa, pertama ia menetapkan harga. Dan kemudian memberi kebebasan kepada pelanggan jika mau membayar lebih. Misalnya pakai ungkapan, "Harganya cuma 15 ribu, cuma kalau membayar lebih dipersilakan saja." Biasanya ini diucapkan sambil senyam-senyum.</div>
<div>
<br />Kalau begini pasti ada beberapa pelanggan yang dengan senang hati melebihkan paling tidak menjadi 20 ribu. Ini tentu membuat nyaman buat semua. Penjual dan pelanggan sama-sama bahagia. Nah, apakah ini akan membuat penyedia jasa seperti pengemis? Tentu tidak. </div>
<div>
<br />Ada jasa yang dibayar lebih dari yang ditetapkan dengan sukarela oleh pelanggan bukanlah mengemis. Ini, kalau di negera barat, dikenal dengan istilah "tip". Ada bayaran lebih dari yang diwajibkan. Amerika, adalah salah satu negara yang pernah saya kunjungi, yang mempraktikkan tip.<br />Misalnya, pelayan restoran. Yang setelah kita membayar sesuai tagihan, kita menyelipkan sedikit uang lebih untuknya. Juga, di kamar hotel, selalu disediakan sebuah amplop khusus buat pelanggan untuk memasukkan tip, yang nanti akan diambil oleh petugas kebersihan (cleaning person).</div>
<div>
<br />Kembali ke Indonesia. Di sini, saya malah pernah dibeginikan. Saya tanya harga. Ia jawab, "Kasihkan berapa saja". Saya mendesaknya untuk menyatakan harga. Terakhir ia bilang bahwa enggak usah bayar saja. "Hana payah bayeue saree - Tidak usah bayar saja". Duh, apa sulitnya untuk bilang harga!</div>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-77906729178783647682019-10-07T15:44:00.000+08:002020-07-19T15:49:10.581+08:00A Sa, yang Selalu Membawa BerkahArun, PT. Arun NGL, begitulah nama perusahaan pencairan gas yang berada di Blang Lancang itu, di sebuah desa di kota Lhokseumawe, Aceh. PT. Arun NGL, sebuah perusahaan megah yang pernah menggetarkan dunia.<br /><br />Konon, Arun ini terambil dari nama sebuah wilayah di mana eksplorasi minyak pertama dilakukan di Aceh Utara. Letaknya sekira dua kilometer ke barat Blangjruen, tempat saya dilahirkan. Atau, 25 kilometer timur Lhokseumawe.<br /><br />Kami penduduk sekitar tidak pernah menyebut nama wilayah ini dengan Arun. Melainkan Aron. Di mana vokal "o" diucapkan seperti dalam kata "koko". Itu, kata Aron yang berubah menjadi Arun, mungkin saja sebagai bentuk pengindonesiaan dari ucapan kami yang berlidah Aceh.<br /><br />Tanah Aron ini memang tanah buaian, yang terapung-apung di atas lautan gas. Dulu, tentu di tanah ini tidak perlu teknologi tinggi-tinggi untuk bisa menebak bahwa di bawah sana terkandung banyak minyak dan gas. Gas atau minyak merembes sendiri keluar, baik dari celah tanah maupun sumur warga.<br /><br />Adalah Asamera Oil Corporation Ltd, sebuah perusahaan minyak asal Canada, yang pertama kali ambil bagian untuk mengeksplorasi tanah Aron atas dugaan adanya kekayaan alam di bawahnya. Sampai saat itu, mereka sasarannya adalah minyak. Bukan gas.<br /><br />Namun, setelah melakukan pengeboran pertama di Aron pada tahun 1968, hasilnya kosong. Tidak ada minyak. Dan tidak juga gas. Asamera langsung patah arang. Tidak mau eksplorasi lagi. Surutnya Asamera ini kemudian dimanfaatkan oleh MobilOil Indonesia (MOI) untuk mengambil alih pekerjaan itu.<br /><br />Pada tahun itu juga, MOI menandatangani kontrak bagi hasil dengan Pertamina. Setahun setelahnya, 1969, mereka mulai mencari sumber minyak dengan melakukan pengeboran demi pengeboran di kawasan Aron.<br /><br />Sampai empat belas sumur dibor, tapi minyak tidak kunjung didapatkan. Hampir saja MOI mengikuti jejak pendahulunya Asamera, mengangkat sauh dari bumi Aron. Tapi Tuhan berkehendak lain. MOI mencoba eksplorasi terakhir dengan melakukan pengeboran kelima belas di sekitar desa Rangkaya dan Paya, tiga kilometer ke timur Aron.<br /><br />Kali ini, pada kedalaman pengeboran sekira tiga kilometer, anugrah itu muncul. Sumur bor bergemuruh. Ada yang mendesak dari dalam sana. Terjadi blowout. Lumpur terpental keluar. Gas! Ada gas! Ini terjadi pada tanggal 24 Oktober 1971.<br /><br />Tempat sumur inilah yang kelak dinamai dengan Arun-1, atau disingkat dengan A-1. Di mana kami warga sekitar sumur itu menyebutnya dengan A Sa, terjemahan A-1 ke dalam bahasa Aceh. Di tempat ini, sebuah prasasti dibuat, berupa tugu rangkaian wellhead dan Christmas Tree. Prasasti sebagai tanda di mana gas pertama ditemukan di wilayah kami.<br /><br />Berita penemuan gas itu mengguncang seantero jagad. Apalagi setelah konsultan perminyakan De Goyler & Mc. Naughton menyatakan bahwa di bawah tanah ini tersimpan 17,1 triliun kaki kubik gas, yang bisa disedot sampai tiga puluh tahun!<br /><br />Mendapatkan informasi ini, pemerintah tentu meremang bulu romanya. Maka, pada 2 Januari 1974, ditandatanganilah kontrak dengan Bechtel Inc, sebuah perusahaan konstruksi perminyakan yang berpusat di San Francisco, untuk membangun kilang gas beserta PT. Arun untuk proses pencairannya.<br /><br />Empat tahun kemudian, PT. Arun diresmikan pada tanggal 19 September 1978, oleh presiden Soeharto. Gas perdana yang telah dicairkan, kemudian diekspor ke Jepang pada tanggal 29 Agustus 1978, memenuhi pundi-pundi uang selama 30 tahun untuk Indonesia.<br /><br />Sekarang, 48 tahun berlalu setelah gas itu ditemukan, perut wilayah kami telah habis terkuras. Kosong. Area yang dulu sibuk dengan aktifitas pengeboran, sekarang sepi. Beberapa telah beralih fungsi menjadi kantor pemerintah. Sebagiannya lagi dibiarkan kosong menjadi tempat kucing kawin. Sebagiannya lagi masih dipakai oleh Pertamina.<br /><br />A-1, tempat pertama gas menyembur keluar sumur bor itu tadi, sekalipun gasnya sudah habis terkuras tak bersisa, tapi keberkahan wilayah itu tak pernah pudar. Keberkahan itu sekarang diraup oleh para penjual pinggir jalan sekitar A-1.<br /><br />Entah siapa yang pertama memulai berjualan di situ, yang ternyata laku keras. Yang membuat penjual lain ikut-ikutan membuka dagangannya di situ, dan juga laku keras. Mulai dari sayur, rempah-rempah, sampai ikan pun sudah dijajakan di situ. Rahmat itu selalu datang walau dalam bentuk lain di A Sa.<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQ4G_KgcsCchaT6gfVaQCVJcKnQQ_x9eCMK3BQA43hjsWcyD1PiTAbn9q83ARkq0Z1lWAJ4aXlX67OYesWONOFs06-4yoOTbeku696u2w93DEZpIcZkaIcHwlXOgen5krUIYxPiFUSAZbx/s1600/sejarah+gas+di+arun+aceh.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="450" data-original-width="600" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQ4G_KgcsCchaT6gfVaQCVJcKnQQ_x9eCMK3BQA43hjsWcyD1PiTAbn9q83ARkq0Z1lWAJ4aXlX67OYesWONOFs06-4yoOTbeku696u2w93DEZpIcZkaIcHwlXOgen5krUIYxPiFUSAZbx/s1600/sejarah+gas+di+arun+aceh.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Penjual malam di sekitar tugu wellhead dan Christmas Tree A-1. Tempat pertama gas ditemukan. Di wilayah desa Rangkaya dan Paya, Kec. Tanah Luas</td></tr>
</tbody></table>
<br /><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLHPOwa2NeF3r3gMHNU38WImFUvuJG4e2GfnyUBrCaHsLEzctLcqrjP1eUhrBzC2ZwMR2nVPoItbNdnYfLJLUkmd-2v2xiN2BtlpiYX8nM0_cQLjxZI0rIgN6fWdnjKKQKb1L9TClX5iU5/s1600/sejarah+gas+di+arun+aceh+1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="450" data-original-width="600" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLHPOwa2NeF3r3gMHNU38WImFUvuJG4e2GfnyUBrCaHsLEzctLcqrjP1eUhrBzC2ZwMR2nVPoItbNdnYfLJLUkmd-2v2xiN2BtlpiYX8nM0_cQLjxZI0rIgN6fWdnjKKQKb1L9TClX5iU5/s1600/sejarah+gas+di+arun+aceh+1.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Tugu di mana gas pertama ditemukan di Aceh Utara</td></tr>
</tbody></table>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-88334915127263875732019-09-07T15:42:00.000+08:002020-07-19T15:43:13.487+08:00BosanYang seangkatan denganku, baik saat sekolah rendah maupun sekolah tinggi, aku yakin mereka mengenalku sebagai pemuda banyak bicara. Mereka kerap menjadi pendengar ceramahku. Dan tak jarang tertawa ketika menurut mereka ada yang lucu dari kalimat-kalimatku.<br />
<div>
<br />
Tapi, dewasa ini, saya lebih banyak mendengar jika bertemu orang. Kurang suka berbicara. Kecuali mereka bertanya sesuatu, dan saya pun tahu tentang itu, maka akan aku jelaskan sesingkat mungkin. Habis itu mendengar lagi.</div>
<div>
<br />
Dulu orang-orang sekitarku suka tertawa mendengarkan kelakarku. Sekarang, akulah yang suka menunggu lelucon mereka. Dan tertawa. Menginsafi, ternyata tertawa itu lebih segar tinimbang membuat orang lain tertawa. </div>
<div>
<br />
Tawa. Mudah bagiku. Aku termasuk orang yang cepat menangkap rasa lucu dari sesuatu. Yang terkadang bagi orang lain belum cukup untuk memancing gelak mereka, tapi aku telah menggigil karenanya. Ada proses amplifikasi lucu dalam diriku.</div>
<div>
<br />
Rasa malas bicara itu. Kurasa telah membuat efek negatif pada diriku. Di samping tentunya dengan serumpun efek positifnya. Aku merasa orang-orang mulai memeta kekurangan pengetahuanku. Mereka telah mulai menceramahiku tentang apa yang menurut mereka aku tak paham. </div>
<div>
<br />
Aku kerap mendengar takzim. Ceramah mereka. Walaupun tak jarang apa yang mereka utarakan sebenarnya aku sudah tahu. Tapi, aku diam. Agar mereka bahagia: bahagia menjadi penasihatku; bahagia ketika merasa aku sanggup mereka tundukkan; bahagia ketika aku mereka rasakan mengisap habis petuahnya.</div>
<div>
<br />
Sekilas, aku jadi teringat tokoh Minke. Tokoh imajinasi Pramoedya Ananta Tour dalam hikayat "Bumi Manusia"nya. Walaupun aku tentunya jauh beda dengannya. Minke ganteng gilang-gemilang; aku, mungkin hanya istriku dan aku sendiri yang mampu bilang bahwa aku ganteng. Minke penulis; aku membaca saja malas. Bagai bumi dan langit.</div>
<div>
<br />
Namun, dalam satu hal, aku merasa senasip dengannya. Aku, seperti dirinya, merasa semua orang ingin mengguruiku. Merasa bahwa semua orang ingin ambil bagian dalam mewujudkan kesuksesanku kelak. Merasa, semua orang ingin berjasa padaku. </div>
<div>
<br />
Tapi, mungkin maksud semua itu baik, seperti yang dirasakan Annelies, kekasih Minke. Kan, bagus mempunyai banyak guru? Mempunyai banyak orang yang menasehati? Mempunyai banyak pembantu walaupun hanya sepatah kata?</div>
<div>
<br />
Iya, barangkali. Tapi, aku bosan...<br />
__________<br />
Alue Drien, Landing, Aceh Utara, Sabtu 7 September 2019</div>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-87025349644833515082019-08-24T15:40:00.000+08:002020-07-19T15:41:21.541+08:00Panglima Tibang Disangka PahlawanAda sebuah warung nasi yang menempelkan poster kumpulan pahlawan Aceh di dindingnya. Parahnya, ada foto Panglima Tibang di situ. Padahal Panglima Tibang sampai sekarang masih dicap pengkhianat oleh masyarakat Aceh.<div>
<br />Jadi terheran-heran saya melihatnya. Tapi, mungkin dia belum tahu siapa itu Panglima Tibang. Atau tak sadar bahwa itu adalah Panglima Tibang? Karena di poster itu Panglima Tibang ditulis dengan titel lengkap: Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad.</div>
<div>
<br />Oke, baiknya, saya ceritakan sedikit tentang orang yang kontroversial ini. Orang yang namanya sampai sekarang masih digunakan sebagai ikon pengkhianat oleh masyarakat Aceh. Anda perlu menarik nafas dalam-dalam dulu. Karena tulisan ini agak sedikit panjang. Mari...</div>
<div>
<br />***</div>
<div>
<br />Namanya Ramasami. Anak Madras. India. Konon, sejak umur enam tahun, ia telah ikut grup hiburan keliling, yang berkunjung ke negara mana saja untuk menawarkan jasa hiburannya. Tak terkecuali, Kerajaan Aceh Darussalam juga ikut menjadi tujuan lawatannya itu.</div>
<div>
<br />Ia tiba di Tanah Rencong semasa tampuk pimpinan Kerajaan Aceh Darussalam berada di genggaman Sultan Ibrahim Mansursyah, yang memimpin Aceh dari tahun 1857 sampai dengan tahun 1870.<br />Umurnya genap enam belas tahun ketika ia menjejakkan kakinya di Aceh. Ia melakonkan keahliannya dalam hal menari, melawak, dan bermain silap mata, yang membuat penonton bukan main terpukaunya. </div>
<div>
<br />Untuk diketahui, kala dunia radio, apalagi televisi, belum ada, mendapatkan seniman yang gayanya cukup menghibur seperti itu, tentu siapa saja ingin memilikinya. Wanita-wanita mengidamkan menjadi istrinya. Orang-orang kaya pun mau pula jika seniman itu tinggal di rumahnya.</div>
<div>
<br />Tak ketinggalan, Teuku Lamgugop, salah satu panglima sultan yang memimpin daerah Lamgugop, ikut tertarik akan keahlian Ramasami dalam menghibur. Sehingga pemuda Madras itu diminta tinggal di rumahnya. Soal biaya hidupnya, tentu tak sulit, ditanggung kerajaan, karena ia menjadi mualaf tak lama setelah itu. Dan bersalin nama menjadi Muhammad.</div>
<div>
<br />Sekali waktu, terjadilah pemberontakan hulubalang Kayee Adang, menentang kepemimpinan Sultan Ibrahim. Untuk meredamnya, Sultan meminta panglimanya, Teuku Langgugop, untuk meredam perbuatan makar itu. </div>
<div>
<br />Perlawanan hulubalang Kayee Adang berhasil dilumpuhkan. Hulubalang Kayee Adang sendiri tewas. Kepalanya berhasil dipenggal. Adalah Muhammad, yang menenteng kepala pemberontak itu, kemudian diarak keliling kota sambil ditari-tarikan.</div>
<div>
<br />Mulai saat itu, nama Muhammad anak Madras sayup-sayup mulai menembus dinding istana. Sultan merasa tertarik akan keteguhan hatinya dalam membasmi pemberontak yang merong-rong kewibawaan kerajaan. Di luar, ia pun mulai menjadi buah mulut masyarakat sekitar.</div>
<div>
<br />Pucuk dicinta ulam tiba, hendak ulam pucuk menjulai. Suatu hari permaisuri sultan bertamu ke rumah Teuku Lamgugop, tempat Muhammad tinggal. Tak mau membuang-buang waktu, ia memanfaatkan momen itu sebaik-baiknya. Ia menghibur permaisuri. </div>
<div>
<br />Sudah pasti, bukan main tertariknya permaisuri melihat pertunjukan Muhammad, yang berakhir pada permintaan beliau agar anak muda itu dibawa saja ke istana, untuk bekerja di sana. Tentu ia tak akan menolak. Teuku Lamgugop pun pasti rela melepaskannya, untuk memenuhi permintaan atasannya.</div>
<div>
<br />Mulai saat itu, bukan hanya namanya saja yang menembus dinding istana, tapi Muhammad seutuhnya menjadi salah satu penghuninya. Ia pandai bergaul. Karenanya, tak lama setelah itu ia ditugaskan sebagai ketua pengatur upacara istana untuk hiburan dalam penyambutan tamu-tamu istimewa sultan.<br /></div>
<div>
Karirnya belum berhenti di situ. Atas ketangkasannya, ia pun sekarang diserahi jabatan pimpinan sebuah daerah di sekitar istana. Yaitu wilayah Tibang. Sehingga sekarang namanya pun menjadi begitu lengkap dengan sederet titel kebangsawanan: Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad. <br />Mulai saat itulah, ia dikenal dengan lakab, Panglima Tibang. Atau, dalam beberapa buku namanya hanya disebut dengan Tibang saja. Mungkin ini biar singkat dalam menuliskannya. Dan cepat pengucapannya.</div>
<div>
<br />Anak muda ini sangat bisa merebut panggung di kerajaan Aceh. Bayangkan saja. Tak lama setelahnya, ia berhasil meyakinkan sultan bahwa ia cocok diserahi jabatan syahbandar Aceh. Jabatan Syahbandar ini tidak main-main. Di kerajaan Aceh, posisi ini setara dengan menteri keuangan kerajaan!</div>
<div>
<br />Pada tahun 1870, sultan Ibrahim Mansursyah mangkat. Yang mulia tidak meninggalkan putra mahkota. Adalah Tibang, yang merupakan salah seorang yang memiliki andil besar dalam menyeret anak dari mantan sultan Aceh Sulaimansyah menjadi Sultan yang baru dengan nama Sultan Alauddin Mahmudsyah.</div>
<div>
<br />Saat pengangkatan, Sultan Mahmudsyah masih di bawah umur. Sehingga jabatan beliau sebagai sultan dijalankan oleh Habib Abdurrahman Azzahir dan Panglima Tibang. Dua tokoh asing ini saling berebut pengaruh di lingkungan istana. Satu sama lain saling menjegal. Saling menfitnah.</div>
<div>
<br />Kondisi ini terus berlangsung sampai Belanda menginvasi Aceh pada tahun 1873. Pembesar kerajaan Aceh pun terpecah menjadi dua kubu. Kubu Habib Abdurrahman Azzahir disokong oleh Panglima Polem Cs. Pihak Panglima Tibang didukung oleh Teuku Kali Malikul Adil Cs, yang juga merupakan "walikota" ibukota kerajaan, Kutaraja.</div>
<div>
<br />Di antara kedua kubu itu, kubu Tibanglah yang lebih dekat dengan Sultan yang masih muda itu. Tibang berhasil menakut-nakuti Sultan dengan isu bahwa Habib Abdurrahman Azzahir berambisi menggantikannya sebagai sultan Aceh. </div>
<div>
<br />Saking percayanya kepada Tibang, Sultan Mahmudsyah pernah mengutusnya ke Riau sebagai ketua delegasi Aceh untuk berunding dengan residen Belanda Schiff. Perundingan ini untuk membujuk Belanda agar menunda niatnya ke Aceh sampai enam bulan ke depan, Desember 1872.</div>
<div>
<br />Ini dilakukan oleh Aceh untuk mengulur-ulur waktu agar Belanda menunda menyerang Aceh selama mungkin. Agar Aceh cukup waktu untuk mempersiapkan mesin perangnya untuk menghadapi mereka. Karena cepat atau lambat, Belanda pasti akan menyerang Aceh.</div>
<div>
<br />Kepada delegasi Aceh, Schiff bilang bahwa Belanda tidak akan memaksa Aceh untuk mengakui kedaulatan Belanda atas waliyahnya. Apalagi sampai mau menyerang Aceh. Itu tidak akan dilakukan. Aceh dengan Belanda masih terikat dengan perjanjian damai yang ditandatangani pada tahun 1857 dulu.</div>
<div>
<br />Ini perkataan lahirnya. Soal batin siapa tahu. Mengingat hubungan Aceh-Belanda ternyata makin hari makin memburuk saja. Tinggal sedikit saja lagi, jika mereka mampu menemui kesalahan Aceh yang bisa digunakan untuk menyakinkan Den Haag, maka moncong meriam akan diarahkan ke Serambi Mekah ini.</div>
<div>
<br />Setelah perundingan usai, delegasi Aceh diantar pulang dengan kapal perang Belanda "Marnix". Namun di tengah jalan Tibang meminta agar kapal dibelokkan ke Singapura. Ia bilang, ingin ke sana sebentar untuk membeli kapal uap pesanan Sultan, yang akan digunakan sebagai sarana transportasi di Aceh.</div>
<div>
<br />Namun, bukan kapal uap yang akan dibeli, tapi di sana Tibang menghubungi Konsul Amerika dan Perancis untuk menjalin kerjasama pertahanan dengan Aceh untuk menangkis agresi Belanda. <br />Celakanya, Tibang menggunakan jasa Teungku Muhammad Arifin untuk menjadi penghubung sekaligus penerjemah antara ia dengan Konsul Amerika, Mayor Studer. Arifin ini tak lain adalah kaki tangan Konsul Belanda, Read, di Singapura. Dia anak kelahiran Minangkabau dan pernah dulu selama enam bulan tinggal di Aceh.</div>
<div>
<br />Akhirnya, pertemuan Tibang dengan Studer dibocorkan oleh Arifin kepada Read. Read melapor kepada Schiff, bahwa Aceh telah berselingkuh. Aceh terus dituduh telah melanggar perjanjian damai yang ditandatangani pada tahun 1857. </div>
<div>
<br />Inilah casus belli-nya yang digunakan Belanda untuk menyerang Aceh. Di samping kesalahan-kesalahan lain yang dari dulu telah ditumpuk-tumpuk dan dibuat-buat. Karena, tanpa alasan yang kuat, Balanda tidak bisa menyerang Aceh, semenjak masyarakat mereka sendiri banyak yang menentang agresi itu.</div>
<div>
<br />Selanjutnya, kasus Tibang - Studer di Singapura, telah digoreng sedemikian rupa oleh Arifin, di saat dia bilang bahwa Amerika telah setuju membantu Aceh untuk melawan Belanda. Kapal perang Amerika yang saat itu sedang berada di Hongkong, dikabarkan akan berangkat ke Aceh, dan akan sampai dalam dua bulan ke depan. Ternyata isu itu tidak benar. Hanya karangan Arifin belaka.</div>
<div>
<br />Tapi, kasus ini mengakibatkan Belanda melakukan rapat kilat di Jakarta. Yang menghasilkan kesimpulan bahwa penaklukan atas Aceh harus segera dilakukan. Kemudian armada perang dikirim ke Aceh, yang dipimpin oleh Jenderal Kohler. Sekalipun dia gagal saat menyerang dan dia tewas, tapi tahun 1874 dalam serangan lanjutan, Van Swieten berhasil menguasai istana Aceh.</div>
<div>
<br />Terus, sampai di sini, di mana kesalahan Tibang yang membuat dia dicap sebagai pengkhianat oleh orang Aceh, bahkan sampai hari ini? Saya sendiri agak bingung sebenarnya. Karena bukan ahli politik. Tapi untung saja, sejarahwan H.M. Thamrin Z dalam bukunya telah merangkumnya buat kita.<br />Pertama, kesalahan Tibang adalah ketika ia tidak hati-hati saat berdiplomasi dengan Amerika di Singapura. Ia menggunakan Arifin yang tak lain adalah kaki tangan Belanda. Malah, disinyalir, pertemuan Tibang-Studer yang melibatkan Arifin, hanyalah skenario Balanda agar dia dapat menuduh Aceh berselingkuh. Dan bisa menyerangnya.</div>
<div>
<br />Kedua, Tibang memang diduga sejak awal ingin menjebak Aceh terlibat ke dalam skandal itu, setelah terlebih dahulu membocorkan kelemahan Aceh kepada Belanda. Karena dari sumber lain ada diceritakan bahwa Tibang berhutang budi pada residen Riau Schiff. Di saat dia, karena boros, menghabiskan uang Aceh yang sejatinya dititipkan kepadanya untuk membeli kapal uap. Saat itu, Schiff membantunya dengan uang tunai.</div>
<div>
<br />Lebih jelas lagi belangnya, ketika Aceh akhirnya diserang oleh Belanda, dan di saat pasukan kerajaan Aceh sedang gencar-gencarnya bertempur melawan Belanda, Tibang malah asyik masyuk tinggal di Idi yang hulubalangnya telah takluk kepada Belanda. Dan puncaknya, di tahun 1879 dia berbalik arah mendukung Belanda. Menjadi informan kunci untuk menaklukkan Aceh!</div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtR3M7KpJp9YbQe16Z2sDEZIF9omdVqKkUoop1irxDvvgaeNUsF_Ee3Z987uediaiWoX5yWfYIv0XKQB6iS0ehqx1W8WEUjhbdbfJnw0bAlxgYaOpP6oRTSPsQLPA8SVrc3YwREzS_eRYA/s1600/panglima+tibang.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="450" data-original-width="600" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtR3M7KpJp9YbQe16Z2sDEZIF9omdVqKkUoop1irxDvvgaeNUsF_Ee3Z987uediaiWoX5yWfYIv0XKQB6iS0ehqx1W8WEUjhbdbfJnw0bAlxgYaOpP6oRTSPsQLPA8SVrc3YwREzS_eRYA/s1600/panglima+tibang.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Sebuah poster daftar pahlawan Aceh yang mengikutkan Panglima Tibang di dalamnya.</td></tr>
</tbody></table>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-59049411888156799952019-08-13T15:35:00.000+08:002020-07-19T15:35:57.469+08:00Wajib Buka Sandal ketika Masuk RuanganYang paling tidak saya sukai ketika belanja di toko atau pergi ke rumah sakit, adalah saat saya masuk, yang merasa mempunyai tempat itu menyuruh saya membuka sandal atau sepatu. Pernah saya tidak jadi masuk toko karena saya malas membuka sepatu. Merepotkan.<br /><br />Tapi karena barang yang mau saya beli ada di situ dan saya pun malas ke tempat lain, akhirnya saya hanya berdiri di luar "batas suci" dan meminta barang yang mau saya beli diantar saja ke situ. Memang, pedagang itu sebenarnya sudah mempersilakan saya masuk saja. Tidak mengapa dengan bersepatu.<br /><br />Tapi saya malas. Soalnya yang lain pada membuka sandalnya semua. Taat perturan. Saya pun tak mau diistimewakan. Mereka dan saya sama-sama pelanggan. Soal saya malas buka sepatu, itu risiko saya. Saya harus berdiri di luar. Atau, kalau saya tidak mau, silakan saja pergi. Jangan merusak peraturan orang. Yang semua telah rela menaatinya.<br /><br />Soal rumah sakit, saya juga heran. Padahal rumah sakit itu adalah sarangnya kuman. Bibit penyakit bersimaharajalela di situ. Tentunya mereka tahu itu. Seharusnya, bagi para pengelola rumah sakit, jika ada orang datang tanpa sandal, marahi dia, dan jangan izinkan masuk kalau tak bersandal.<br /><br />Tapi ini, yang terjadi justeru sebaliknya, orang bagus-bagus datang beralas kaki, malah dipaksa mencopot sepatu dan sandalnya sebelum masuk ke sana. Oke, jika takut sandal pengunjung mengotori ruang inap, mengapa tidak dipersiapkan selipar murah yang bisa dipinjam oleh pengunjung?<br /><br />Pengunjung harus diberitahu. Mereka harus diedukasi, bahwa bertelanjang kaki di rumah sakit tidaklah baik. Tak ada lekuk yang aman dari bibit penyakit di situ. Bukankah pasien dengan berbagai macam penyakit akhirnya dibawa ke situ? Beserta penyakit yang dideritanya?<br /><br />Tapi lagi-lagi, saya bukan posturnya pemrotes, tak ada jiwa pemberontak. Sekalipun saya tahu itu salah, saya seringnya malah jadi Pak Turut. Apa-apa dituruti. Jika saya tak suka dengan peraturan itu, saya memilih menjauh tinimbang beradu teori dengan mereka. Inilah mungkin sisi negatif saya.<br /><br />Syahdan. Malam lebaran kemarin, saya membeli peci buat salat Idul Adha esok paginya. Saya membelinya di sebuah toko peci di bilangan Simpang Rangkaya, sekilometer ke selatan Pasar Blangjruen. Lantai kedainya berkarpet bersih.<br /><br />Semua pelanggan membuka sandalnya. Saya lihat penjualnya juga tak berselipar. Saya juga ikut membuka sandal. Setelah membeli sebuah peci dan dua kitab kecil tulisan Melayu-Arab, saya pun keluar. Mau pulang. Saat itu memang hanya saya yang tinggal. Pelanggan lain sudah keluar setelah hajatnya selesai.<br /><br />Saya yang keluar belakangan, betapa kaget dan jengkelnya, setelah menyadari bahwa salah satu dari mereka telah salah memakai sandal. Yang tinggal di situ hanya sandal saya yang sebelah kanan. Satunya lagi yang sebelah kiri entah sandal siapa. Kakinya mungkin sudah mati rasa, sampai tak sadar memakai sandal "selein" sebeda itu.<br /><br />Bukan main berangnya saya. Akhirnya saya pulang dengan kaki kosong dan dengan pikiran yang gusar. Nomor hape saya titipkan ke yang punya toko. Tak berapa lama saya pun dihubungi. Bilang bahwa sandalnya telah balik. Saya meluncur ke sana lagi. Sandalnya kudapat kembali. Tapi sakit hati saya masih terasa sampai sekarang!<br />__________<br />Catatan:<br />Selein: kata sifat untuk sandal yang dipakai bukan dengan pasangannya. Kata ini berasal dari bahasa Jawa. Saya belum mendapatkan padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Dan juga dalam bahasa Aceh.<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmQ2DNlpx_8AHvQ8x2omBvMixQaadfQ_u04vHRH7wBbUjv3nUKai37Lzpd3-daghhNI-f9GWnXfkO0r-vpniTFx1kHpQRARPpTVJmzJiUNnWBiubwd4c2d_LekANTuDNV3cI6o4_JI7Fep/s1600/sandal+tertukar.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="450" data-original-width="600" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmQ2DNlpx_8AHvQ8x2omBvMixQaadfQ_u04vHRH7wBbUjv3nUKai37Lzpd3-daghhNI-f9GWnXfkO0r-vpniTFx1kHpQRARPpTVJmzJiUNnWBiubwd4c2d_LekANTuDNV3cI6o4_JI7Fep/s1600/sandal+tertukar.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Sandal yang tertinggal buat saya malam itu.</td></tr>
</tbody></table>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-60878252797725480732019-08-10T15:31:00.000+08:002020-07-19T15:32:06.382+08:00Ibu-ibu dan Bumbu MasakDulu, di daerah kelahiran saya, Blangjruen, yang namanya membeli bumbu masak jadi, itu agak tabu. Bumbu itu harus digiling sendiri di rumah. Dari pasar hanya membeli rempah mentahnya saja. Kemudian diracik sendiri, terus digiling. Itu peraturan tak tertulis buat kaum ibu-ibu rumah tangga di lingkungan saya.<div>
<br />Karenanya, jika sekali-sekali mereka bertamu ke rumah saudara di kota, jika masakan yang disuguhkan ternyata tidak enak di lidah, maka tuduhan pertama kepada yang empunya rumah adalah, ini bumbunya pasti dibeli di pasar. Bukan digiling sendiri. Entah bagaimana caranya mereka tahu. Padahal bumbu racikan sendiri pun ada juga "rendang berasa rujak".</div>
<div>
<br />Oleh karena itu, di pasar Blangjruen, pasar kecamatan yang masih kental nuansa desanya, seingat saya, usaha penggilingan bumbu dapur baru-baru ini saja naik bintangnya. Dulu-dulu, usaha penggilingan bumbu belum mendapat panggung di sini.</div>
<div>
<br />Saya kelahiran tahun 80. Ini menurut pengakuan saudara saya. Saya sendiri tak tahu kapan saya dilahirkan. Saat saya duduk di bangku SD, belum ada usaha penggilingan bumbu di pasar. Kemudian samar-samar saya ingat, di saat saya duduk di bangku SMP-lah, mulai ada usaha penggilingan itu. Tapi ia masih terseok-seok di jasa bumbu Mie Aceh saja. Tidak lebih jauh merambah ke bumbu dapur lainnya.</div>
<div>
<br />Akan tetapi, tiga dekade setelahnya, sekarang, jangan tanya lagi. Di Blangjruen ibu-ibu berkerumun membeli bumbu untuk hampir semua jenis masakannya. Mau masak daging sapi kuah kuning, tinggal bilang saja. Untuk kadar berapa kilo daging bumbunya. Tinggal ngomong saja. Maka bumbu siap diracik oleh penjual.</div>
<div>
<br />Tak ada lagi stigma "kuah bumbu belian". Tak ada lagi celaan bagi sesiapa yang tidak menggiling bumbu masaknya sendiri. Tidak ada lagi. Yang ada, jika masakannya tak sedap, cercaan teralamatkan kepada si tulang bumbu. Tak enak bumbu rendang sama si Pulan. Besok beli saja di kedai si Polin. Di sana kata orang-orang, sedap.</div>
<div>
<br />Dan, ada satu lagi yang unik. Ternyata rata-rata peracik bumbu itu adalah laki-laki. Jadi, jangan bilang emansipasi wanita di Aceh ini. Karena masalah itu telah tuntas dari dulu-dulu ketika empat periode kepemimpinan kerajaan Aceh diletakkan di atas tangan sultanah (sultan perempuan). </div>
<div>
<br />Dan bahkan, seandainya ke depan ada istilah emansipasi laki-laki, maka sekarang pun kita sudah usai dalam bab itu. Dari bumbu masak ini kita ambil teladannya. Ketangkasan laki-laki dalam memasak, dewasa ini sudah jelas, bukan lagi bersuluh batang pisang, tapi bersuluh matahari. Laki-laki Aceh tak tabu lagi menaklukkan perkara-perkara dapur.</div>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-88335011943355888822019-08-07T15:27:00.000+08:002020-07-19T15:30:13.902+08:00Kucing dan Cakarannya di Jok Sepeda MotorSuka cakar-cakaran enggak jelas. Itulah sifat kucing yang paling tidak aku sukai. Dulu, almarhum ibuku juga paling berang jika tikar kumbuh dan ibus kesayangannya robak-rabik dicakar sama si singa kecil itu.<div>
<br />Wajar saja ia marah. Bayangkan saja. Untuk menghasilkan sehelai tikar kumbuh itu, bukan sehari dua dia butuh waktu. Bisa mingguan. Atau malah sampai bulanan. Mulai dari mencari rumput kumbuh di paya atau sawah, mengeringkannya dengan panas matahari yang terukur, membelahnya dengan ukuran yang terukur pula, melembutkannya, sampai terakhir menganyamnya.</div>
<div>
<br />Itu belum lagi jika tikarnya dianyam dengan formasi warna tertentu. Yang mengharuskan beberapa helai kumbuh kering dikesumba lebih dahulu sebelum ikut dianyam. Kalau sudah begini, lebih panjanglah waktu yang dibutuhkan ibu saya. Karena bertambah ruwet.</div>
<div>
<br />Dengan segenap perjuangan untuk mendapatkan sehelai tikar kumbuh sebagai itu. Dan sekarang tikar pun sudah jadi dengan indahnya. Kemudian ujug-ujug datanglah si meong, dengan kuku tajamnya itu, mencobak-cabik hasil kerjaannya. Maka wajarlah ibu saya murka.</div>
<div>
<br />Kalau sudah begitu kejadiannya, sungguh genderang perang tak perlu ditabuh lagi. Karena tingkah kucing itu sendiri sudah lebih dari cukup alasan untuk langsung mengokang senjata. Meruahkan amunisi sehabis-habisnya.</div>
<div>
<br />Itu kasus dengan ibu saya. Dengan saya, lain lagi. Walaupun tak semenyakitkan seperti yang dirasakan ibu saya, tapi lumayan menjengkelkan juga. Lapik jok sepeda motor kesayangan saya, Jupiter MX, bopeng-bopeng dibuatnya. Sakit hati saya. Padahal lapik itu baru saja saya ganti. Tapi tiba-tiba, begitu bangun pagi, sudah coreng moreng. </div>
<div>
<br />Lebih parah lagi, awalnya saya tak menyadari itu adalah cakaran kucing. Karenanya saya sempat menyerapahi orang bengkel. Lapik yang katanya bagus, tapi baru saja dipakai sehari sudah terkelupas. Saya juga menduga, ini terkelupas karena motif lapik yang kasap berbintal-bintal. Motif yang kata orang bengkel itu lebih bagus.</div>
<div>
<br />Untung saja istri saya cepat memberitahunya, bahwa itu kerjaan kucing. Bukan lapiknya yang jelek. Bukan pula orang bengkel yang nakal. Ia tahu itu karena sering meng-OTT kucing saya mencakar lapik jok itu saat dia lagi leyeh-leyeh di atasnya.</div>
<div>
<br />Saya sekarang sedang berpikir. Apa yang harus saya lakukan. Apakah menyingkirkan kucing itu. Atau memasang lapik lain yang polos yang biasanya tak pernah disentuh kucing. Atau, jok ditegakkan saja saat memarkir? Ruwet juga ternyata.</div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZBWB8hja-n3gKFSnRkqKgfxvzCOFj6475WX_qs7M4etL3d9DIgsl-yP3gKb1itSK-zY588nmrzmRKGwzznCtNSZZbZnNOAZaCWGkDDcT9v1dHEO1zSl0_ipt023yOh0xY1iN8wQr4_AUI/s1600/wujud+jok+sepeda+motor+saya+dengan+bekas+cakaran+kucing.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="450" data-original-width="600" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZBWB8hja-n3gKFSnRkqKgfxvzCOFj6475WX_qs7M4etL3d9DIgsl-yP3gKb1itSK-zY588nmrzmRKGwzznCtNSZZbZnNOAZaCWGkDDcT9v1dHEO1zSl0_ipt023yOh0xY1iN8wQr4_AUI/s1600/wujud+jok+sepeda+motor+saya+dengan+bekas+cakaran+kucing.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Wujud jok sepeda motor saya dengan bekas cakaran kucing</td></tr>
</tbody></table>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-2908074924565409412019-08-04T15:19:00.000+08:002020-07-19T15:19:57.031+08:00Sawah yang Semakin MenyusutRata-rata, sawah di sekitaran tempat saya tinggal, Blangjruen, dilingkupi oleh jalan besar. Itu artinya, tanah sawah yang berada di pinggir jalan tersebut cukup strategis. Baik untuk mendirikan rumah, kantor, maupun kedai untuk berbisnis.<div>
<br />Tapi yang jamak terjadi di Blangjruen selama ini, tanah sawah itu disulap menjadi ruko, rumah toko. Karena ruko bisa difungsikan hampir untuk kegiatan apa saja. Untuk rumah, bisa. Untuk kantor, malah untuk bank, juga bisa. Dan bahkan, untuk balai pengajian, ternyata juga bisa.</div>
<div>
<br />Karena itu maka, orang yang beruntung mempunyai tanah sawah di pinggir jalan, maka pilihan utamanya adalah digunakan untuk membangun ruko. Hanya satu dua saja yang digunakan untuk membangun rumah. Karena rumah secara bisnis tentunya kalah pamor.</div>
<div>
<br />Jika sawah itu ingin dijual, cara jual biasanya juga beda. Per kaveling ruko. Harganya. Jangan tanya. Omaigot. Mahal, Saudara! Amtenar sekelas saya, terasa sulit membelinya. Hanya mereka yang tak punya uang receh yang bisa menguasai tanah-tanah itu.</div>
<div>
<br />Saya sekarang hanya bisa melihat dan menghitung berapa saja ruko yang sedang dibangun, dan sawah mana saja yang sudah dipasangi pengumuman "Dijual, hubungi hp: ...". Tak lebih dari itu. Tidak berani bertanya berapa harganya, sekalipun hanya buat iseng. Karena semua tahu semahal apa harganya. Dan saya tentunya tau diri.</div>
<div>
<br />Tapi tanah-tanah itu memang terbeli. Dan tak lama berubah fungsinya dari sawah menjadi ruko. Yang nantinya menjadi kedai: mulai dari kedai kopi, kedai baju, bengkel, sampai kedai sembako. </div>
<div>
<br />Bangunan baru itu memanjang menyusuri pinggir jalan, membelakangi sawah yang masih tertinggal di belakangnya, yang hanya Tuhan yang tahu bagaimana nasibnya kelak. Apakah tetap menjadi sawah atau dibiarkan kosong saja. </div>
<div>
<br />Karena sawah jika sudah berhampiran dengan ruko, diakui atau tidak, pasti kurang kondusif lagi untuk berpadi. Karena sifat manusia adalah pencemar. Pernah saya mendengar seorang petani mengeluh, karena sering mendapati popok bayi di sawahnya.</div>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9087501409753984306.post-72326534905344945162019-08-02T15:16:00.000+08:002020-07-19T15:17:20.862+08:00Lampus SeinSaya jadi terheran-heran. Mobil bagus-bagus. Sepeda motor bagus-bagus. Yang didesain sempurna oleh pabriknya. Tapi, saat jatuh ke tangan manusia-manusia "berperadaban tinggi" di tanah air ini, ada saja yang perlu diutak-atiknya.<div>
<br />Oke, kalau yang dirubah itu justru bisa menambah atau mempertajam fungsinya yang telah ada. Tapi ini, asesoris kendaraan dimodifikasi sampai fungsinya menjadi berkurang. Atau malah hilang sama sekali. Tak ada manfaatnya lagi.</div>
<div>
<br />Misalnya begini, lampu sein ditempeli stiker gelap, yang kalau dia mau belok, hanya dia dan Tuhan Yang Maha Esa saja yang tahu. Kita, kan, jadi kaget? Ini mobil lampu sein tidak hidup, tapi kok ya posisinya makin ke tengah, terus menyasar ke tepi kanan jalan sana.</div>
<div>
<br />Memang, kalau diperhatikan betul-betul, lamat-lamat akan terlihat kedap-kedip lampu sein di balik stiker hitam itu. Tapi, siapa dia yang seolah punya hak untuk membuat orang capek di jalan, untuk hanya memperhatikan lampu sein dia. </div>
<div>
<br />Eh, itu yang suka mengubah warna lampu sein dari kuning ke putih, sama saja. Anda segolongan. Warna lampu sein itu kuning. Kalau tiba-tiba Anda pakai warna putih, siap-siap lawan Anda di jalan akan pula tidak terlalu awas matanya untuk menangkap sinyal belok Anda.</div>
<div>
<br />Jadi. Sudahlah. Bagi rekan-rekan saya yang kebetulan berperilaku sama, tobat saja. Copot stiker itu. Ubah lampu sein Anda ke kuning lagi. Anda harus tahu. Sekali Anda membuat kaget orang lain gegera tingkah Anda di jalan, sumpah serapah biasanya akan keluar. Dan yang paling penting, Anda kan tidak mau jika setiap hari membuat orang serasa mau copot jantungnya, kan? Kalau tidak, berarti Anda sadis!</div>
Usman Blangjruenhttp://www.blogger.com/profile/16578032912371159251noreply@blogger.com0