Baguslah bagiku, karena kunjungan gratisan ini diadakan satu hari setelah ujian kualifikasi doktorku. Jadi lumayanlah untuk menghilangkan ketegangan karena ujian yang sangat menakutkan itu.
Desa Meinong ini tidaklah jauh dari kampus kami. Hanya satu jam perjalanan dengan bis carteran, karena tempatnya masih berada dalam kota Kaohsiung. Cuma kampung suku Hakka ini kerliatannya agak ke perbukitan, sedangkan Kaohsiung terletak di pinggir laut.
Pemandangan lahan pertanian sudah mulai terlihat di awal-awal kami memasuki desa itu. Jenis pertanian beraneka-ragam, mulai sayur-sayuran, buah jambu biji, mangga, dan padi juga ada.
Sekitar jam 10 kami sudah tiba di sana. Tempat ini tentunya tidak asing lagi bagi saya karena sudah pernah berkunjung sebelumnya. Tempat ini sebenarnya semacam galeri sederhana untuk memperkenalkan budaya suku Hakka, yaitu salah satu suku di Taiwan.
Pemandangan lahan pertanian sudah mulai terlihat di awal-awal kami memasuki desa itu. Jenis pertanian beraneka-ragam, mulai sayur-sayuran, buah jambu biji, mangga, dan padi juga ada.
Sekitar jam 10 kami sudah tiba di sana. Tempat ini tentunya tidak asing lagi bagi saya karena sudah pernah berkunjung sebelumnya. Tempat ini sebenarnya semacam galeri sederhana untuk memperkenalkan budaya suku Hakka, yaitu salah satu suku di Taiwan.
Aku di pintu gerbang masuk ke lokasi galeri Hakka Village |
Tempatnya sangat sederhana, malah kalau boleh saya bilang seperti tidak terurus. Tapi mungkin itu adalah ciri khas yang memang harus dipertahankan oleh mereka agar bentuk budaya aslinya tidaklah hilang.
Untuk tahap pertama kami dipersilakan masuk ke sebuah beranda yang dilengkapi meja dan kursi panjang yang terbuat dari kayu. Di situ kami diberi penjelasan panjang lebar tentang suku Hakka. Tapi maaf, mereka menyampaikannya dalam bahasa Mandarin. "Manalah aku mengerti kawan. Aku kan sedang belajar bahasa mandarin.?"
Kami beserta buah-buahan dan telur yang akan kami masak dengan cara khas Hakka |
Tapi tidak apalah, karena aku duduk sebangku dengan Prof. Peifen. Sehingga dia bisa menjadi penerjemah bagiku hari itu. Aku hanya menanyakan garis-garis besarnya saja. Minimal aku tahu apa topik yang mereka bicarakan. isinya ya diterka-terka saja. :-D
Setelah mereka berbicara panjang lebar kemudian kami diajak untuk memasak dengan cara khas suku Hakka. Caranya sungguh unik; memasak dengan cara menggali lubang di tanah kemudian di atas lubang itu ditutup dengan susunan batu-batu. Selanjutnya api dinyalakan di dalam lubang itu sehingga batu yang di atas lubang tadi menjadi panas.
Setelah api dinyalakan ternyata kita harus menunggu lumayan lama agar batu-batu itu menjadi cukup panas. Oleh karena itu, kami diajak menuju ruang kedua. Di mana kami masing-masing diberi satu kipas. Dan kami diminta untuk melukis sesuatu di atas kipas itu. Apa yang mau digambar maka gambarkan lah. Kalau dulu di SD itu namanya menggambar suka hati. Mereka menyediakan cat dengan beberapa warna untuk aktifitas ini.
Setelah selesai gambar-menggambar kemudian kami diajak lagi ke dapur tadi. Inilah saatnya memasak, kayu yang dimasukkan ke lubang tadi sudah habis terbakar dan hanya menyisakan bara api. Sisa-sisa kayunya dibuang keluar sehingga hanya bara api yang tertinggal di lubang itu.
Kemudian jagung, ketela, ayam, dan telur yang telah kami bungkus dengan aluminium foil dan kertas koran kami masukkan ke dalam lubang tadi. Batu yang menutupi sebagian permukaan atas lubang tadi diambrukkan ke dalam lubang yang telah diisi tadi.
Langkah selanjutnya adalah menutup lubang itu dengan tanah yang sudah berbentuk debu hitam itu, mungkin karena sudah sering terbakar makanya hitam. Kami menutupnya dengan menggunakan sekop dan cangkul. Ternyata lumayan sulit untuk menutupnya, capeknya minta ampun, karena tanah sudah bercampur dengan batu-batu sehingga sangat sulit disekop atau dicangkul. Tambahan lagi suhu udara di tengah musim panas benar-benar aku marasakan badanku bagai dipanggang.
Panas di Taiwan ini ternyata beda dengan panas di negeriku. Panas di sini sangat menyengat dan lembab. Benar-benar gerah bandanku dibuatnya.
Menutup lubang tadi ternyata tidak boleh sembarangan. Kita harus menutup sampai tidak ada asap yang bisa keluar dari celah-celah tanah. Harus rapat betul, sebab kalau tidak maka panasnya akan hilang.
Setelah selesai menutup lubang itu dengan sempurna kemudian kami diajak untuk menuju tempat penggilangan teh khas suku Hakka. Kali ini aku tidak mau ikut lagi karena aku sanghatlah capek dan ruangan tempat penggilingan itu pun lumayan panas.
Aku memilih tinggal saja di tempat semula dengan beberapa teman Vietnam. Lagi pula aku sudah tahu juga cara menggiling teh itu. karena sudah pernah diajarkan dulu pada kunjungan yang pertama. Tapi demi alasan untuk mengambil foto, aku masuk juga sebentar ke ruangan itu, setelah mengambil beberapa foto kemudian aku keluar.
Cara memasak suku Hakka di Meinong, Taiwan. |
Setelah api dinyalakan ternyata kita harus menunggu lumayan lama agar batu-batu itu menjadi cukup panas. Oleh karena itu, kami diajak menuju ruang kedua. Di mana kami masing-masing diberi satu kipas. Dan kami diminta untuk melukis sesuatu di atas kipas itu. Apa yang mau digambar maka gambarkan lah. Kalau dulu di SD itu namanya menggambar suka hati. Mereka menyediakan cat dengan beberapa warna untuk aktifitas ini.
Hasil karya saya. Gambar buah-buahan. |
Setelah selesai gambar-menggambar kemudian kami diajak lagi ke dapur tadi. Inilah saatnya memasak, kayu yang dimasukkan ke lubang tadi sudah habis terbakar dan hanya menyisakan bara api. Sisa-sisa kayunya dibuang keluar sehingga hanya bara api yang tertinggal di lubang itu.
Kemudian jagung, ketela, ayam, dan telur yang telah kami bungkus dengan aluminium foil dan kertas koran kami masukkan ke dalam lubang tadi. Batu yang menutupi sebagian permukaan atas lubang tadi diambrukkan ke dalam lubang yang telah diisi tadi.
Langkah selanjutnya adalah menutup lubang itu dengan tanah yang sudah berbentuk debu hitam itu, mungkin karena sudah sering terbakar makanya hitam. Kami menutupnya dengan menggunakan sekop dan cangkul. Ternyata lumayan sulit untuk menutupnya, capeknya minta ampun, karena tanah sudah bercampur dengan batu-batu sehingga sangat sulit disekop atau dicangkul. Tambahan lagi suhu udara di tengah musim panas benar-benar aku marasakan badanku bagai dipanggang.
Panas di Taiwan ini ternyata beda dengan panas di negeriku. Panas di sini sangat menyengat dan lembab. Benar-benar gerah bandanku dibuatnya.
Menutup lubang tadi ternyata tidak boleh sembarangan. Kita harus menutup sampai tidak ada asap yang bisa keluar dari celah-celah tanah. Harus rapat betul, sebab kalau tidak maka panasnya akan hilang.
Setelah selesai menutup lubang itu dengan sempurna kemudian kami diajak untuk menuju tempat penggilangan teh khas suku Hakka. Kali ini aku tidak mau ikut lagi karena aku sanghatlah capek dan ruangan tempat penggilingan itu pun lumayan panas.
Aku memilih tinggal saja di tempat semula dengan beberapa teman Vietnam. Lagi pula aku sudah tahu juga cara menggiling teh itu. karena sudah pernah diajarkan dulu pada kunjungan yang pertama. Tapi demi alasan untuk mengambil foto, aku masuk juga sebentar ke ruangan itu, setelah mengambil beberapa foto kemudian aku keluar.
Teh khas Hakka Meinong Taiwan. |
Sambil menunggu teman. Saya menyempatkan diri tidur sebentar untuk menghilangkan capek. Tapi aku tetap tidak bisa tidur karena sangat panas udaranya. Kipas yang dipasang pada atap bangunan itu hanya mampu meniup udara panas ke arahku. Aku tidak menyangka Taiwan sepanas ini ketika musim panas. " Ternyata musim dingin lebih enak. :-( "
Sekitar satu jam teman-teman yang ikut ke penggilingan teh tadi pun kembali. Sekarang saatnya lubang dapur tadi dibuka. Kami diminta untuk membukanya sendiri. Aku, Prof. Peifen, dan dibantu oleh beberapa teman yang lain membuka lubang itu dengan hati-hati agar tidak melukai makanan-makanan yang telah kami masukkan.
Membuka urukan tanah untuk mengambil masakan. |
Satu-persatu makanan kami ambil dari tanah panas yang sudah menyerupai abu itu. Setelah selesai kami kumpulkan semua kemudian kami bersihkan dengan membuang bungkusan koran dan hanya aluminium foil yang tertinggal.
Aku juga mencoba sedikit dari daging ayam itu. Karena hanya ingin tahu pengaruh rasanya ketika dimasak dengan cara seperti itu. Tapi terus terang aku tidak bisa merasakan perbedaannya. Sama saja dengan memasak dengan kompor. Tapi untuk jangung, ketela, dan telor ada perbendaannya. Rasanya agak ada gurihnya sedikit.
Hasil masakan kami[/caption] |
Setelah acara makan-makan kemudian kami meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan ke Christian Mountain Children's Home, semacam yayasan panti asuhan Kristen. Keliatannya acara di tempat itu lebih kepada acara amal. Di situ kami juga diajak ke sebuah galeri lukisan hasil karya mereka.
Demikian perjalan Bisnis Trip kali ini..... Selamat akhir semester. Semoga nilainya pada bagus-bagus.. :-D
Untuk melihat foto selengkapnya silakan klik di sini
Untuk melihat foto selengkapnya silakan klik di sini
No comments:
Post a Comment