Monday, January 5, 2015

Kunjungan Ke Asia University Taichung Dan Museum Gempa Taiwan

Sebuah bangunan berkubah hijau menjulang megah. Pilar-pilar tinggi besar berjajar menopang setiap sudut bangunan itu. Lekuk di setiap jengkal dinding yakin disengaja untuk memancarkan keindahan dan kemegahan. Memandangnya, berarti bersiap untuk dibawa seolah melayang ke negara Turki.

Baru kali ini aku melihat bangunan berkubah di Taiwan. Bangunan itu berada di belakangku ketika baru saja turun bis dari stasiun kereta api Taichung. "Hai. kalau mau berfoto di depan bangunan itu loh. Bagus," teriak salah satu temanku sambil menunjuk ke arah bangunan itu. Aku pun menoleh ke belakang. Wah, indah sekali, aku belum pernah menyaksikan ada bangunan semacam ini di Taiwan.

Aku melihat ke seluruh sisi bangunan itu. Sebuah tulisan besar "Asia University" terpampang melekat di dua sisi depannya. Ya, Itu adalah sebuah gedung utama Asia University di Taichung. Sebuah kampus ternama di Taiwan. Banyak mahasiswa Aceh menimba ilmu di kampus asri ini.

Walaupun sudah setahun lebih di Taiwan, namun baru kali ini aku mengunjungi kampus ini. Kesibukan kuliah membuat aku jarang bisa keluar kota walaupun di hari libur. Tetapi hari ini istimewa, ada acara silaturrahmi persatuan mahasiswa Aceh yang tergabung dalam perkumpulan Ranup Lampuan. Sebuah wadah untuk menyatukan seluruh mahasiswa Aceh yang sedang bersekolah di Taiwan.

Kami dari wilayah selatan, saya dan Erita dari Kaohsiung, keluarga Pak Edwar dan Pak Taufiq dari Tainan. Kami berangkat bareng menuju kampus tersebut setelah berkumpul dulu di stasiun kereta api Taichung. Kami sampai di siang hari. Waktu yang cocok untuk makan siang sebenarnya. Namun karena koki senior adalah Pak Edwar dan kami baru sampai maka acara masak-masak secara efektif baru dimulai setelah ketibaan kami.

Aroma masakan sudah mulai tercium ketika kami mendekati ruang dapur karena para tuan rumah sebenarnya sudah mulai memasak. Dapur itu disediakan untuk semua mahasiswa asing di Asia University. Setiap lemari di ruang itu sudah diberi nama negara-negara yang ikut menggunakan dapur tersebut. Di antaranya India, Mongolia, dan ada lagi yang lain saya tidak ingat lagi tulisannya.

Di sebelah dapur ada sebuah ruangan ibadah untuk warga asing, namun hanya warga muslim yang menggunakan ruangan itu. Sehingga sudah cocok disebut mushalla saja.

Setelah kami datang kemudi masak diserahkan kepada Pak Edwar, si juru masak asal Beureunuen yang sedang mengais Ilmu di National Cheng Kung University. Satu jam kemudian masakan sudah siap disajikan. Dan saya adalah orang pertama yang memimpin serbuan terhadap semua hidangan itu. Tidak bisa bermalu lagi karena sudah terlalu lapar. Dimaklumi saja, saya hanya sarapan roti di Mc Donald karena baru itu yang ada di terminal Kaohsiung di pagi hari. Saya berangkat ke stasiun Kaohsiung selepas shubuh.

De Seven Eleven De Toilet
Ternyata dapur dan mushalla di Asia University ini masih baru saja disediakan oleh pihak kampus untuk mahasiswa asing. kekurangannya tentu masih ada di sana sini. Salah satunya adalah toilet. Jika mau ke toilet terpaksa harus ke mini market Seven Eleven yang kebetulan berdekatan dengan mushalla dan dapur.

Kondisi musim dingin mengakibatkan beser sehingga sering ke toilet. Antrian kadang mengular sampai 3,5 meter di dalam pasar swalayan kecil itu. Jadi antriannya ada dua, antrian ke kasir dan antrian ke toilet.

Untung saja kasirnya tidak marah. Tapi saya curiga mereka pasti bilang sesuatu, tapi ya percuma, dimarahin saja pun aku tak mengerti apa yang dia bilang.

Seumur-umur baru kali ini aku masuk ke Seven Eleven lebih dari 5 kali sehari. Bukan untuk belanja tapi untuk pipis.

Earthquake Museum of Taiwan
Taiwan termasuk daerah rawan gempa. Selama di Taiwan saya sudah merasakan 2 kali gempa kecil. Walaupun kecil namun cukup membuat saya takut ketiban reruntuhan bangunan. Bangunan di sini kan tinggi-tinggi. Berlari keluar bangunan ketika gempa justru semakin berbahaya. Bisa ketiban bangunan tetangga.

Gempa besar juga sudah pernah terjadi di Taiwan dengan kerusakan terparah terjadi di sebuah desa di Taichung. Uniknya, bangunan-bangunan yang rusak di sekitar patahan itu tidak dibangun kembali melainkan diabadikan menjadi sebuah museum gempa. Yang patah dibiarkan patah yang ambruk dibiarkan ambruk serta dipertahankan sama persis seperti kondisi sesaat setelah gempa. Nah, ke museum inilah kami berkunjung selepas makan siang. Kami berangkat ke sana dengan dua kali naik bis karena tidak ada jalur langsung.

Museum tersebut dibuat seperti garbarata untuk menuntun kita berjalan di antara bangunan-bangunan yang hancur itu. Terlihat bangunan-bangun yang setengah ambruk ditopang dengan tiang besi dan plastik akrilik agar tidak ambruk lagi. Hal ini untuk mempertahankan kondisi asli pasca gempa.

Menarik sekali bagi saya. Pikiranku seolah melayang balik ke masa sesaat setelah gempa. Banyak orang mungkin sedang menangis dalam kepanikan. Namun pemerintah masih sanggup menerawang ke depan akan pentingnya edukasi masyarakat untuk bencana ini. Sehingga tempat yang hancur lebur dihantam gempa itu akan dijadikan sebuah museum, yang nantinya akan mengajarkan masyarakat akan bahaya gempa dan bagaimana mengatasinya.

Patahan tanah akibat gempa itu terlihat menghancurkan sebuah komplek sekolah  dan lapangan trek lari. Patahan tanah membelah sebagian trek lari itu sehingga anjlok sampai 2 meter. Dahsyat sekali ternyata. Rekahan dan patahan tanah terlihat jelas dipamerkan di museum ini. Asyik dan penuh makna berkunjung kesini.

Namun ada satu yang harus diperhatikan. Kalau anda jalan membawa anak kecil mungkin harus diawasi. Selama satu jam di museum ini saya melihat dua anak kecil jatuh. Walaupun tidak bahaya namun sudah cukup alasan bagi anak kecil untuk menangis sejadi-jadinya. Kasihan ya kan ?.

Tidak berapa lama di situ kemudian kami balik ke kampus menjelang magrib.  Sesampainya di dapur dan mushalla beberapa orang diantara kami ditugaskan untuk mempersiapkan makan malam dan yang lain diminta untuk bergabung ke mushalla untuk mengikuti tausiah dan acara memperkenalkan diri. Sebenarnya saya memilih di dapur saja.

Saya memang menghindar dari acara yang agak serius. Empat bulan dengan keadaan serius dalam pelukan sebuah ruangan empat persegi panjang yang hanya berisi komputer dengan raungan kipas pendingin. Satu hari itu aku ingin bebas sebebas-bebasnya. Namun sayang, saya tidak terpilih dan harus masuk ke mushalla.

Setelah tausiah dari ustaz Taufiq, perkenalan diri, dan laporan panitia,  Pak Edwar menginformasikan bahwa makan malam sudah siap. Langsung saja suasana berubah dari suasana kantukan dengan mata merah dan menguap lebar menjadi suasana tersenyum lebar.

Kami menyantap makan malam sambil bercengkrama dan bercanda dengan teman-teman. Walaupun baru bertemu namun komunikasi kami berjalan lancar, seolah-olah sudah kenal puluhan tahun lamanya. Wadah Ranup Lampuan berhasil menyatukan kami anak Aceh yang merantau di Taiwan.

Setelah makan-makan saya berkesimpulan untuk pulang ke Kaohsiung karena keesokan harinya ada yang harus saya kerjakan di kampus. Bagi yang menginap mereka masih melanjutkan dengan acara selanjutnya: yaitu bakar sate sapi dan besok dilanjutkan dengan kunjungan ke beberapa tempat yang lain.

Sekian laporan, semoga semester depan dapat dilaksanakan lagi dan kita berkumpul lagi.
Gedung utama Asia University. Credit: Ikramulla Zein
Makan siang. Credit: Taufiq Maulana
Berfoto dengan latar bangunan yang ambruk. Credit: Taufiq Maulana
Saya dan Pak Taufiq berlatarkan trek lari yang anjlok akibat gempa.
Credit: Taufiq Maulana

No comments:

Post a Comment