Sepanjang saya mengenal dunia, tak pernah jam tangan saya itu rusak karena uzur dimakan usia. Semuanya mati muda atau minggat tak tahu ke rimba mana. Pokoknya jarang lama-lama.
Entah itu karena tertinggal di tempat wudu masjid, hilang sebab tinggal di toilet umum, dan berbagai masalah lain yang menyebabkan jam tangan yang kadang baru saya beli, tapi raib dari ayunan tangan kiri saya.
Yang terbaru, jam tangan saya rusak dilempar oleh anak laki-laki saya. Tak tahu apa yang ada di pikirannya. Saat dia mengambil barang-barang yang agak terlarang buat dia, kemudian dia melihat saya mendekat sambil teriak memintanya mengembalikan, dia sontak lari kemudian melemparnya.
Jam tangan saya kemarin dilemparnya ke dinding. Logonya yang berbentuk M itu, copot. Lepas. Menghambat jalur perjalanan jarum. Jam itu terpaksa saya matikan hatta maka saya bawa ia ke tukang servis yang ada di kawasan pasar Blangjruen.
Logo berhasil bertengger di tempatnya semula. Pikir saya masalahnya telah selesai. Namun, dua hari setelah saya pakai, saya harus menerima kenyataan bahwa jarum pendeknya tidak sepakat lagi dengan jarum menit.
Saya termasuk salah satu manusia yang tidak bisa lepas dengan jam tangan. Saya merasa lebih ganteng dan berwibawa jika berjam tangan. Sekalipun hanya jam tangan murah saja. Dan memang jam tangan saya tidak pernah mahal.
Kali ini, saya benar-benar dilema. Mau diservis, kayaknya sudah tak layak lagi. Sudah tiga kali ia dibedah. Jika jadi lagi yang sekarang ini, maka empat kali. Operasi sesar saja cuma bisa tiga kali. Masakan ini mau lebih? Tapi, mau beli baru, tau sendiri, kan? Lusa lebaran haji, tanggal 31. Tanggal tua renta!
Duh, ambil uang dari mana? Lebaran tanpa jam tangan. Atau punya, tapi pesong. Rasa-rasanya pikiran ini bagai keletusan balon hijau. Kacau!