Maaf baru sempat lapor, sebenarnya ini adalah catatan kemarin ketika sedang muter-muter di sekitar Main Station. Beritanya jelas tidak berbobot. Ya gimana mau berbobot, ceritanya tentang pengemis. Ga ada yang bilang kalau cerita tentang pengemis itu berbobot. Yang ada cuma penyesalan saja :-(
Saya sebenarnya berharap tidak berjumpa lagi dengan pengemis ketika sudah berada di luar negeri. Bukan karena pelit tidak mau menyumbang, tetapi karena saya sudah terlanjur menganggap bahwa pengemis itu merupakan produk dari ketidakmampuan pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya.
(Gambar 1. Pengemis di salah satu jalan di sekitar Main Station Kaohsiung. Sumber: Koleksi pribadi)
Pengemis itu timbul dari keterpaksaan karena keterhimpitan ekonomi. Sehingga saya selalu berkesimpulan jika sebuah negara masih mempunyai pengemis, maka kemajuan ekonominya masih perlu dipertanyakan.
Terus terang selama dua minggu di Taiwan baru kemarin saya melihat pengemis, tepatnya di sekitar Main Station Kaohsiung. Perasaan agak kaget juga, karena selama ini saya hanya menemukan yang baik-baik saja di negara ini. Jadi tidak menyangka akan ketemu dengan pengemis-pengemis.
(Gambar 2. Pengemis di perempatan Main Station Kaohsiung. Sumber: Koleksi pribadi)
Adanya pengemis mengingat saya akan negaraku tercinta, Indonesia. Di sana kan juga banyak pengemisnya. Tetapi tidak apa-apa lah. Negera kita kan masih negara berkembang dan besar lagi, maklum jika para pengemis tidak terpantau oleh pemerintah. Walaupun saya masih ragu, apakah tidak terpantau atau malah membiarkan saja fenomena yang tidak mengenakkan ini.
Taiwan sudah termasuk negara maju dan negaranya pun tidak terlalu besar. Luas daratannya hanya sebesar provinsi Aceh. Seharusnya fenomena pengemis tidak perlu terlihat lagi di negara ini. Sulit dipahami kenapa ini terjadi, dan yakin tidak sulit untuk mengatasi masalah ini untuk negara maju seperti Taiwan, tetapi kenapa ini terjadi..?
Fenomena pengemis bagi saya adalah sebuah bencana sosial yang harus segera dipulihkan. Manusia yang seharusnya termulia malah menjadi hina di kalangan manusia itu sendiri. Kita soalah-olah bangga ketika memasukkan uang receh ke kotak yang disodor oleh pengemis dan tanpa berfikir kenapa bangsaku mesti ada yang harus mengemis.
(Gambar 3. Pengemis di perempatan Main Station Kaohsiung. Sumber: Koleksi pribadi)
Jengkel dan kesal karena orang yang mampu dan berhak mengurusi ini masih diam. Mereka adalah pemerintah, merekalah yang berhak mengurusi dan mengayomi mereka. Semiskin-miskinnya warga negara tetap masih sebagai pembayar pajak, sehingga kesulitan hidup sampai harus mengemis seharusnya tidak perlu terjadi.
Pengemis Taiwan Vs Pengemis Indonesia
Saya sempat menjepret beberapa pengemis yang ada di sekitar Main Station Kaohsiung, karena saya amati ada titik beda antara pengemis di sini dengan pengemis di Indonesia. Menurut pandangan kasar saya dari empat pengemis yang saya temui, dua pengemis kelihatan mengalami kelainan jiwa bawaan dan duanya lagi dalam keadaan cacat. Saya hanya sempat mengambil tiga gambar pengemis dari empat yang saya jumpai di Main Station kemarin.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan yang terjadi di negara kita, di mana mengemis kadang-kadang sudah menjadi profesi. Malah ada yang lebih parah, satu keluarga berangkat ke suatu kota untuk jadi gembel di perempatan jalan. Andalannya dengan menggendong anak kecil sebagai dalih tidak sanggup beli susu. Ini hanya secuil modus yang sering digunakan oleh pengemis di negara kita. Dan tentu masih banyak lagi modus-modus yang lain.
(Gambar 4. Pengemis Indonesia. Sumber: http://iwandahnial.files.wordpress.com)
Untuk sementara saya bisa menyimpulkan dari empat pengemis yang saya temui di Taiwan, memang kondisinya sangat terpaksa untuk melakukan itu, mulai dari sebab kelainan jiwa sampai dengan cacat. Memang mereka tidak bisa bekerja sebagaimana manusia biasa. Sehingga jadi pengemis adalah jalan satu-satunya yang ditempuh.
Harapan
Namun keterpaksaan menjadi pengemis bukan berarti pemerintah dapat dibenarkan untuk membiarkan mereka menjadi pengemis terus-terusan. Sebagai negara maka berkewajiban membina dan mengayomi mereka agar keluar dari pekerjaan yang tidak terhormat ini.
Hidup mereka harus diberdayakan agar tidak terlunta-lunta di perempatan jalan. Begitu juga bagi yang menjadi pengemis dengan berkedok miskin dan seolah-olah tidak berdaya harus segera ditertipkan. Sehingga wajah kota yang seharusnya indah tidak tercoreng oleh kehadiran pengemis-pengemis. :-(
setuju sekali di Indonesia pengemis itu penghasilannya bs sampai 15 jt perbulan dbandingkan dgn karyawan yg berdasi belum tentu memiliki penghsilan sebsar itu.. mungkin rasa malu di negeri ini sudah hilang
ReplyDelete