Pada hari kejadian Gempa Aceh 11 April 2012 saya nonton bagaimana masyarakat Kota Banda Aceh dan Lhokseumawe mengevakuasi diri. Ada yang pakai mobil, becak mesin, sepeda motor, sepeda angin (tanpa mesin.red), dan ada juga yang lari. Semua tumpah ruah ke jalan. Akhirnya yang terjadi adalah kemacetan karena semua orang mengambil jalan yang sama.
(Kemacetan ketika evakuasi. Sumber: http://m.mediaindonesia.com)
Ketika macet terjadi, saya sempat berpikir seandainya Tsunami benar-benar terjadi, bagaimanakah nasib mereka ya?. Saya tidak berhenti berharap agar tsunami benar-benar tidak terjadi walaupun sudah tahu bahwa itu tidak akan terjadi karena ada informasi dari teman yang ahli kegempaan melalui statusnya di fesbuk.
Kemacetan berlangsung sampai berjam-jam setelah gempa terjadi. Padahal menurut analisis BMKG jika tsunami benar terjadi dia hanya butuh waktu kurang 1 jam untuk menggempur pesisir Aceh. Alhamdulillah malapetaka ini lagi ditunda oleh Allah untuk kali ini.
Tumpah ruah ke jalan dengan membawa kendaraan adalah cara yang sangat keliru untuk menghindari tsunami. Kemacetan siap menanti kita di jalan dan tsunamipun siap menyapu dari belakang. Mencabut satu persatu nyawa yang sedang ketakutan.
Langkah yang tepat adalah sesegera mungkin melakukan evakuasi diri secara vertikal. Cari bangunan tinggi yang kuat dan terdekat yang bisa dicapai dalam beberapa menit. Bangunan beton berlantai lebih dari satu dan berderet banyak adalah pilihan yang tepat untuk mengamankan diri, Seperti lantai 2 pertokoan. Bangunan kuat minim dinding juga merupakan pilihan yang baik, seperti Masjid. Bangunan minim dinding akan mudah dilalui air tanpa banyak menyebabkan beban ke struktur bangunannya. Hal ini mungkin yang mengakibatkan banyak mesjid tersisa pada Tsunami 2004.
Bagi yang dekat dengan shelter evakuasi agar sesegera mungkin naik ke atas. Pikirkan nyawa, lupakan harta benda pada hari itu, karena nyawa anda lebih berharga daripada semuanya.
(Shelter tsunami. Sumber: http://commons.wikimedia.org)
Untuk kota Banda Aceh tidak sulit menemukan bangunan yang layak untuk mengamankan diri. Jadi jika berniat eksodus satu keluarga dengan mobil pribadi agar berpikir beberapa kali dulu. Panik boleh, tapi jangan kehilangan logika. Untuk kota Lhokseumawe, Bangunan Islamic Center adalah tempat yang ideal untuk menyelamatkan diri daripada lari keluar kota yang nantinya akan macet di jembatan Cunda.
(Islamic Center Lhokseumawe. Sumber: http://www.skyscrapercity.com)
Kita bisa berkaca pada kasus tsunami 2004 dimana banyak orang yang terselamatkan dengan hanya memanjat pohon kelapa dan naik ke atas toilet mesjid dibandingkan dengan lari tunggang-langgang untuk mencari perbukitan yang jauh.
Di samping itu saya juga kadang tidak habis pikir mendengar ada orang yang justru malah lari ke pantai untuk melihat air apakah surut atau tidak. Mereka melakukan itu untuk meyakinkan diri bahwa tsunami akan datang. Langkah yang sebaiknya dilakukan adalah langsung saja cari tempat aman ketika peringatan bahaya Tsunami telah diumumkan oleh pihak terkait. Dan kembali lagi ke rumah ketika peringatannya sudah diakhiri. Sayangi nyawa anda, karena di luar sana sangat banyak yang membutuhkan anda untuk hidup dan berkarya.
Untuk pemerintah daerah seharusnya mendata bangunan-bangunan yang layak dinaiki untuk menyelamatkan diri ketika tsunami, dan kemudian disosialisasikan kepada masyarakat. Jangan hanya mengatur lalu lintas ketika proses evakuasi, langkah yang benar-benar tidak bermanfaat jika tsunami benar-benar terjadi.
Dengan kejadian gempa 11 April 2012 kemarin seharusnya kita belajar bahwa jauh di kedalaman sana masih banyak energi potensial yang belum terlepaskan pada 2004 dulu. Patahnya lempeng karena tegangan bengkok akibat subduksi adalah merupakan sinyal bahwa potensi gempa besar masih menghantui kita. Maka waspada lah.....
No comments:
Post a Comment