Thursday, March 24, 2016

Bir, "Minuman Surga" Yang Selalu Kutolak

Satu yang masih tak habis pikir bagi teman Vietnam terhadapku adalah aku selalu menolak saat ditawari minum bir. Bir benar-benar minuman surga bagi teman-teman saya itu. Setiap pesta dari skala kecil hingga sedang seperti ada teman yang mau lulus dan pulang kampung sampai pesta mingguan/bulanan yang jarang kuketahui dalam rangka apa, bir adalah minuman utama di antara segerombolan buah-buahan dan daging babi.

Soal daging babi, mereka sangat paham. Saya Muslim, berarti tak makan babi. Ini sudah masyhur di telinga mereka jauh sebelum mengenal aku. Malah sebagian mereka ada yang mengungkapkan alasan kenapa agamaku mengharamkan babi. Tapi saya hanya menanggapinya dengan tersenyum. Tak mau menambahkan.

Tapi soal bir, mereka sering harus berdecak menyesali saat aku tidak ikut minum saat ditawari ketika aku secara kebetulan masuk ke ruang pandang mereka ketika melintasi lokasi pesta mereka. Saya langsung saja menolak dan pergi. Mereka biasa membeli bir lebih-lebih, sehingga jika aku minum barang sebotol tentu tak akan mengurangi jatah mereka.  Jadi, tawarannya sama sekali bukan basa-basi.

Mereka sering berpesta. Di asrama, di sekitar kantor urusan internasional, atau malah di laboratorium tak luput dari sasaran tempat bercengkerama sambil minum bir. Kadang saya harus lari keluar karena tak bisa belajar. Saking ributnya.

"Usman, kamu harus minum bir. Minimal seminggu tiga kali. Seperti aku. Itu baik untuk kesehatanmu." Seorang teman berusaha menjelaskan dengan menata bahasa Inggrisnya sebaik mungkin agar aku paham betul betapa ruginya hidupku tanpa menenggak bir.

"Babi dan bir, aku tak bisa," Aku menjawab singkat. Kadang dengan jawaban sederhana ini aku langsung dipersilakan pergi meninggalkan mereka.

Jika dengan jawaban itu tak mampan, maka alasan agama harus saya sampaikan. "Aku tidak minum bir karena dilarang oleh agamaku." Itu jawaban pamungkas saya jika mereka benar-benar memaksa aku untuk minum bir bersama mereka. Dan selama ini, jawaban ini super ampuh.

Terlepas dari itu semua, saya harus menekankan di sini, bahwa dengan meminum bir, bagi teman-teman di sini, bukan berarti julukan "suka mabuk-mabukan" bisa langsung disematkan bagi mereka. Saya rasa kurang pas sematan itu. Sudah hampir tiga tahun saya hidup dengan mereka, saya tak menemukan ada yang terhuyung karena mabuk. Apalagi sampai berkelahi mecah-mecahin ember, saya belum melihatnya.

Memang, matanya akan memerah sebagai biji saga setelah menikmati bir. Jika melihat itu saya selalu bertanya untuk menguji kesadarannya,"Kamu barusan minum bir, ya?" Jawabannya selalu nyambung. Berarti masih sadar. Tidak teler dia.

Sebenarnya aku tahu kalau tak apa-apa dengan mereka walaupun matanya memerah dan mulutnya berbau anggur. Cuma aku ingin menguji saja untuk kehati-hatian. Walau tingkah aneh seperti tertawa terdekah-dekah tanpa sebab, jatuh di WC, saya jamin itu belum pernah terjadi pasca pesta. Tentu ini beda dengan peminum di tempat kita yang identik dengan mabuk dan menakutkan.

No comments:

Post a Comment