Pagi ini, 25 Maret 2016, hujan mengguyur kota Kaohsiung. Di lab, ruang belajar kami.
"Hai, Kawan, boleh aku meminjam payungmu?" Aku menoleh ke arah salah satu teman yang sedang sibuk bekerja dengan komputernya.
Aku baru saja masuk ke lab setelah menerobos hujan dari asrama yang semakin menderas. Berpayung tas laptop, kedua bahuku hampir saja setengah basah.
"Boleh." Temanku mengambil payung yang ada di sampingnya yang tak ditutup sempurna karena masih basah, dan dia menyerahkannya kepadaku.
"Kapan aku harus mengembalikannya. Pasalnya aku mau ke masjid untuk salat Jumat," aku bertanya sebelum mengambil payungnya.
"Jam empat lewat tiga puluh menit, sore." Dia menyerahkan payung itu kepadaku tanpa terlihat terbebani dengan permintaanku itu.
Tentu aku langsung mengambil payung itu karena jam dua siang biasanya aku sudah sampai di lab lagi setelah menempuh empat puluh lima menit dari masjid Kaohsiung dengan bus kota.
Taiwan dalam minggu ini hampir sempurna ditutup awan. Sudah lama rasanya aku tak melihat matahari. Pagi dan sore hampir tiap hari hujan, padahal itu waktu-waktunya makan dan harus keluar.
Karena belum masuk musim panas, hujan kali ini memang agak beda, agak melanggar musim. Padahal biasanya musim hujan di Taiwan terjadi dalam musim panas.
Suhu Taiwan yang sudah memanas beberapa minggu lalu mendadak menjadi dingin menggigil. Jaket yang sudah siap-siap kucuci dan kusimpan harus kupakai lagi.
"Ini sudah masuk musim hujan, ya?" Aku bertanya kepada teman yang telah berbaik hati untuk meminjami saya payung.
"Bukan. Ini bukan musim hujan." Teman yang lain yang mendengar percakapan kami langsung menjawab setelah melihat temannya tak tahu apa arti "rainy season" yang aku ucapkan.
"Terus kenapa tiap hari hujan ya? Bagai sudah musim hujan saja." Pandanganku memutar arah mengikuti sumber suara.
Yang kuharapkan adalah ia menjawabnya dengan data ilmiah, sebagaimana biasanya. Mereka biasa tahu tentang sebab-musabab perubahan cuaca karena televisi setempat pasti sudah membahas semua itu jauh-jauh hari. Dan mereka biasanya jarang luput dari berita itu.
Tapi, jawabannya malah lain dari yang kuduga. "Saya tak tahu. Tanyakan Tuhan." Dia menunjuk ke atas dan tawa kami pun pecah menggetarkan udara lab yang sedikit lebih hangat daridapa di luar sana. Setelah tawa riang itu aku pun minta pamit pada semua teman untuk pergi ke masjid.
Di luar hujan masih mengguyur kampus NKUAS. Lapangan trek lari yang biasanya kuning redup hari ini memerah bata karena sudah bersih diterpa hujan berhari-hari. Tak ada yang nekat berolahraga pagi ini. Biasanya satu-dua orang pasti ada saja yang lari-lari sambil berpayung. Dingin benar-benar telah mengikat kaki mereka di rumahnya masing-masing.
Dalam perjalanan menuju halte bus kota nomor 53B di depan kampus, aku berguman sendiri, "Baru kali ini aku mendengar kata Tuhan keluar dari mulut teman-teman saya itu. Ataukah dia hanya bercanda? Atau memang dia percaya dengan adanya Tuhan? Entahlah, selama ini yang aku tahu jika aku tanya tentang agama, mereka menjawab tak beragama.
No comments:
Post a Comment