"Kamu isi ini dengan data-datamu." Petugas menunjuk ke kolom-kolom yang harus aku isi. Saya mengisi semua data yang diminta kecuali alamat tempat tinggal, saya meminta dia untuk mengisikannya sesuai dengan KTP saya. Aku tak bisa mengisinya karena alamat yang ada di KTP tertulis dalam karakter Mandarin.
"Kamu punya IPass," petugas bertanya.
"Punya." Saya mengangguk serta mengeluarkan kartu IPass yang biasa saya gunakan untuk membayar ongkos bus dan kereta api.
"Saya akan mengaktifkan kartu IPass-mu ini menjadi kartu pustaka. Jadi, kamu bisa menggunakan kartu IPass ini untuk kartu pustakamu," Petugas menjelaskan serta mengambil kartu IPass-ku. Matanya berpindah dari wajahku ke layar komputer kerjanya.
Duh, baru tahu lagi. Ternyata kartu IPass bisa digunakan untuk kartu pustaka juga. "Sakti juga kartu ini. Buat bayar bus, kereta api, berbelanja, dan sekarang ternyata bisa juga untuk kartu perpustakaan," aku membatin dalam hati. Farid, salah satu di antara beberapa teman yang ikut dan juga ingin membuat kartu pustaka hari itu, langsung cepat tanggap. "Aku tidak mau bilang kalau aku punya IPass. Aku mau punya kartu pustaka selain kartu IPass itu. Kan lumayan untuk kenang-kenangan." Farid tertawa.
Mendengar hujahnya itu saya langsung beraksi. Dipikir-pikir benar juga apa kata teman saya itu. Kan, lumayan buat souvenir. Maklum, orang kampung seperti saya ini yang kurang banyak kartu di dompet pasti ingin punya kartu ini itu. Biar terlihat keren.
"Mbak ! Mbak ! Aku mau dibuatkan kartu lain saja. Jangan disatukan dengan IPass itu. Buat kartu pustaka lain saja," ujarku seperti orang tergopoh-gopoh agar dia tidak terlanjur mengaktifkan IPass saya menjadi kartu pustaka.
Petugas yang jelita itu hanya tersenyum dan menyetujui saja permintaan saya. Dia menyerahkan balik kartu IPass kepadaku. Dia segara mengambil kartu pustaka kosong yang akan segara dicetak dan diaktifkan menjadi kartu pustaka saya.
Tak sampai dua menit kartu pustaka pun selesai dicetak. Kartu pustaka ini bentuknya seperti kartu ATM, tapi ada kode batang di belakangnya yang menandakan identitas saya. Di depannya hanya ada tiga baris tulisan, yang duanya tak kuketahui apa artinya karena dalam karakter Mandarin, dan yang satunya bertuliskan "Kaohsiung Public Library" dengan latar taman serta anak-anak yang sedang bermain dan membaca.
Awalnya saya tidak berencana untuk membuat kartu di perpustakaan yang paling besar dan paling canggih yang pernah aku lihat ini. Tapi setelah kunjungan pertama beberapa minggu lalu, saya menemukan bahwa perpustakaan ini bukan hanya menyediakan buku-buku berbahasa Mandarin dan Inggris saja. Lebih dari itu ternyata banyak juga buku-buku berbahasa Indonesia di sana. Novel-novel best-seller Indonesia pun terpajang dengan perkasanya menemani buku-buku dari negara-negara lain, termasuk India.
Tak tinggal diam, film-film Indonesia juga ikut meramaikan rak-rak CD film dari beberapa negara. Tapi sayang, di antara beberapa film Indonesia yang dipajang di situ malah ada film yang benar-benar tak bermutu secara moral dan seni, kecuali untuk mengundang syahwat saja. Aku merengut melihat pajangan CD film itu. Tak sebahagia ketika menatap buku-buku yang bermutu di rak sana.
Lho, perpustakaan ini menyediakan film juga? Banyak, Saudara. Film-film berlevel internasional ada di sini. Juga CD dari National Geographic dan beberapa tutorial pendidikan juga ada. Tapi film itu tak boleh dibawa pulang, melainkan kita nonton saja di situ. Untuk keperluan tersebut telah disediakan beberapa televisi layar melengkung seukuran satu meter garis digonalnya. Di depannya sudah disiapkan sofa empuk untuk penonton dan juga corong dengar nirkabel. Berkelas, bukan?
Di depan rak buku berbahasa Indonesia. Dua minggu lalu. Aku dan Farid sedang melihat judul-judul buku yang berbahasa Indonesia yang tepajang di rak 85, 88, dan 91 di lantai lima.
"Wah, aku harus bisa meminjam buku-buku ini." Aku melihat ka arah temanku, Farid, yang juga ikut bersama ke perpustakaan. "Harus segera buat kartu ini."
Tapi hari itu kami tidak membuat kartu perpustakaan. Kami hanya ingin menikmati kemegahan perpustakaan berlantai delapan ini saja. Berjalan menyusuri lantai per lantai dan melihat isinya, naik melalui tangga melingkar yang di desain di tengah gedung sampai akhirnya sampai ke taman yang ada di lantai terbuka paling atas. Bay Garden nama tamannya.
Di taman ini kita bisa melihat matahari tenggelam di ufuk Barat, karena memang lokasi perpustakaan ini dekat dengan dermaga Kaohsiung yang juga merupakan pelabuhan terbesar di dunia. Kami berada di taman itu sampai piringan matahari benar-benar tenggelam di cakrawala Barat. Setelah itu kami pun pulang ketika perut kami sudah dicekik lapar. Seolah aroma bebek goreng warung halal Indonesia Al-Alam menyaput penciuman kami. Kali ini kami turun dengan lift saja. Tentunya bukan ide bagus jika harus turun melalui tangga lagi dengan perut lapar.
Memang, dari sebelum berangkat tadi, kami sudah berencana makan bebek goreng di Al-Alam yang letaknya tepat berada di depan perpustakaan nan megah ini. Kami pun turun dan menuju ke warung tersebut. Maka kunjungan pertama kami ke perpustakaan disudahi dengan makan bebek goreng, tanpa meminjam buku dan membuat kartu.
Pada kunjungan kedua, begitu datang kami langsung membuat kartu. Setelah itu saya dan Farid bergegas menuju ke lantai enam, ke rak buku Indonesia, yang sesudah sampai di sana, ternyata rak buku bahasa Indonesia dengan nomor 85, 88, dan 91 berada di lantai lima. Kami turun saja melalui tangga.
Tak banyak buku yang saya pinjam, hanya sebuah novel setebal dua sentimeter buah karya Tere-Liye, Ayahku (Bukan) Pembohong judulnya. Sebelum beranjak pulang, saya sempat menghabiskan dua bab dari dongeng bohong seorang ayah kepada anak dan cucunya itu. Saya duduk di meja baca yang telah disediakan di setiap lantainya.
Saya memilih buku ringan saja untuk mendinginkan otak setelah dipanaskan oleh bacaan paper yang berat di sekolah. Setelah itu kami bergegas pulang setelah men-checkout buku di front office. "Dua minggu, ya. Tanggal 2 April kamu harus mengembalikannya." Petugas menyerahkan novel itu kepada saya. Saya mengiyakan dan meluncur pulang melalui stasiun MRT (kereta bawah tanah) Sanduo.
Taman di depan Perpustakaan |
Televisi tempat menonton film |
Tempat baca buku yang santai |
Tempat membaca buku sambil menatap ke luar gedung |
Tempat belajar yang lumayan agak serius. |
Kumpulan buku berbahasa Inggris |
CD film Indonesia (merengut emotion mode On) frown emotikon |
Rak buku bahasa Indonesia. |
Taman di lantai paling atas: Bay Garden |
No comments:
Post a Comment