Sunday, March 27, 2016

Pamrih Dalam Melawan Mubazir

Ada satu petuah Kiai saya yang selalu terngiang-ngiang di telingaku kemana pun aku pergi. Dia pada suatu malam dalam kajian kitab Minhajul Abidin, sebuah kitab Imam Al-Ghazali, pernah berkata bahwa mubazir itu hukumannya bukan hanya di akhirat saja, di dunia pun kita akan dihukum dengan cara dipapakan oleh Allah SWT, dimiskinkan.

Petuah itu sangat melekat di kepalaku. Hal ini mungkin karena pola pikirku masih banyak sisi keduniawiannya. Sehingga kata "dipapakan" itu terasa sekali sangat menakutkan bagiku. Tapi, memang, jauh sebelum petuah itu saya dengar, saya memang sangat anti mubazir. Anti buang-buang harta jika tak perlu. Cuma setelah mendengar petuah itu, intensitasnya meningkat.

Sampai sekarang saat aku masih berkutat dengan sekolahku di Taiwan. Perasaan anti mubazir ini senantiasa aku praktikkan dalam kehidupan sehari-hariku selama kuliah.

Pagi, lampu-lampu koridor asrama yang belum mati padahal sinar matahari sudah jauh lebih terang dari lampu-lampu itu. Maka sayalah yang selalu mematikannya. Begitu juga lampu yang ada di lobi laboratorium. Hampir tiap hari saya yang matikan ketika yang lain tak mau menyentuhnya.

Cuma, ada yang unik yang aku niatkan sebelum mematikan lampu-lampu yang tidak perlu itu. Saya selalu berdoa dalam hati, "Ya Allah, Engkau tahu sampai kapan lampu yang tak perlu ini menyala seandainya aku tidak mematikannya. Dan berapa pula energi yang akan dihabiskan untuk menyalakan lampu ini. Maka, dengan aku mematikannya, limpahkanlah energi yang urung terbuang itu dalam bentuk rezeki-Mu kepadaku." Tak...! Tek...! Aku mematikan lampu-lampu itu.

Memang tingkahku ini mungkin dipandang lugu bagi sebagian orang. Tapi bagiku yang paling penting adalah nikmat Allah berupa energi listrik tak terbuang percuma. Sekalipun energi listrik di Taiwan berlebih. Dan tak ada istilah mati listrik karena kekurangan daya di sini. Hampir tiga tahun di Taiwan, baru tiga kali mati listrik. Itu pun karena ada kegiatan perbaikan jaringan.

Itu dalam hal listrik. Dalam masalah makanan, lebih ketat lagi. Aku sangat menghindari membuang-buang makanan. Bagi saya itu mubazir kelas satu. Mengambil makanan banyak-banyak, baru setengah dimakan terus ditingalkan begitu saja di piring dan selanjutnya ke tong sampahlah tempatnya. Menyedihkan.

Untungnya, di Taiwan ini, budaya membawa pulang makanan di warung/restoran yang tak habis kita makan itu hal biasa. Misalnya begini, di restoran kita telah memesan makanan ini-itu. Namun, setelah acara makan usai, makanan-makanan itu ada yang tertinggal. Tak habis termakan. Nah, kita bisa bilang ke pelayan restoran untuk membungkusnya. Mereka dengan senang hati akan melayaninya. Tak canggung sedikit pun, karena memang ini biasa dilakukan di sini.

No comments:

Post a Comment