Thursday, March 31, 2016

Kuhargai Perjuanganmu, Catatan Untuk Istriku.

Di ruang lab, Taiwan. Dan di kamar kos istriku di Banda Aceh. Dua tahun yang lalu.

Hari itu lab tempatku belajar sepi. Skype hidup. Menampakkan siaran langsung kegiatan istriku di kamar kos kecilnya di Banda Aceh. Pakaian serba putih mulai membungkus badannya malam itu. Entah apa yang terjadi, hampir satu jam skype hidup namun tak satu pun kata yang keluar dari mulut kami.

Terkadang kami bersitatap. Sekelebat pandangan kami membuang ke lain arah. Tak ada di antara kami yang sedang merajuk tentang suatu apa pun. Aku tahu, istriku sedang tak mau bicara. Apapun itu. Aku membiarkannya untuk terus diam.

Jilbab sudah terpasang sempurna. Tas ransel tua sudah terisi perkakas dan kertas-kertas, kemudian disampirkan ke pundaknya yang gontai tak bersemangat. Mendekati layar laptop.

"Bi, aku berangkat dulu, ya?" matanya berkaca-kaca, kuyu.

"Sampai jam berapa prakteknya?" Aku bertanya. Aku meresahi kesehatannya. "Kalau tak enak badan lebih baik jangan berangkat saja." Aku mulai pasrah dengan kemungkinan dia tak lulus matakuliah praktek itu. Lagipula, kan tidak mesti seratus persen hadir baru bisa meluluskan mata kuliah ini? Sekali-kali kan boleh tak hadir jika tak enak badan?

Istriku menggeleng. Kedua tanganya memegang layar laptop. Ingin menutupnya dan mengakhiri video call gratis itu. Dia buru-buru mau berangkat. Aku memintanya jangan matikan dulu. Aku ingin tahu bagaimana sebenarnya kesehatannya. Tapi percuma, dia diam seribu bahasa. Dari guratan dan mimik wajahnya, aku tahu betul dia ingin menangis. Sedih, keruh suasana hatinya.

"Tak usah berangkat saja lah." suaraku tertekan, serius. "Biar saja malam ini kau istirahat saja. Kan, tak apa-apa sekali-sekali tak hadir." Keningku mengernyit. Mengulang kata yang sama. Berharap dia melepaskan semua baju seragam putih beratribut "Poltekkes Kemenkes Banda Aceh" itu. Dan mengempaskan dirinya ke tempat tidurnya sambil berseru,"biarkan kungkung tugas praktek itu lepas dari leherku malam ini."

Tapi ternyata tidak demikian adanya. Istriku diam. Sebelum tangisnya pecah, skype langsung ditutupnya. Meninggalkanku dalam gelisah di lab nun jauh di seberang laut sini. Mungkin dia tak tahu, itu telah membuat aku sangat resah di sini. Aku tak bisa belajar apa-apa malam itu.

Betapa tidak, dia sedang hamil muda untuk anak pertama kami, dan harus berjibaku dengan tugas praktikum kuliah di rumah sakit Zainal Abidin, Banda Aceh, siang dan malam. Memang kala itu adalah saat dimana beban kuliah sedang mencapai puncak-puncaknya. Jangankan wanita muda yang sedang hamil, yang juga muda, rasa-rasanya semua mahasiswa juga sedang mengeluh betapa capek kuliah ini.

Aku minta bantuan keluarga untuk menghubunginya dan menanyakan kabarnya. Ayah (mertuaku) akhirnya menelepon. Tak ada jawaban dari pertanyaan ayah ketika istriku mengangkat teleponnya. Mendengar suara ayah, tangisnya langsung pecah. Yang membuat keesokan harinya Ibu harus segera meluncur ke Banda Aceh. Ingin melihat kesehatan anaknya (istriku) dari dekat.

Esok hari saya mendapatkan kabar: dia baik-baik saja. Cuma kacapaian yang menjelma menjadi sedih dan pikirannya pun buncah, keruh. Setelah bersama ibu, sedihnya pun hilang. Dia bisa tersenyum. Hilang letihnya seketika.

Memang waktu itu seharusnya aku ada di sampingnya. Menemaninya mengawasi dari nol tahun umur anak kami. Tapi karirku berkata lain, aku harus jauh dengan istriku yang sedang hamil dan melewati beban kuliah yang berat sendirian di kamar kos kecil yang tak mewah sama sekali. Jauh dari nuansa menghibur. Aku yang seharusnya melipur malah jauh di negara seberang.

Sedih, letih, capai, jauh dari orang tua dan suami, dan stress bercampur menjadi satu, yang pada saatnya pecah seperti malam ini. menangis sekeras-kerasnya. Berharap air mata membawa letih dan sedih menjauh.

Tapi, hanya satu tekat kami, tidak ada istilah berhenti di tengah jalan. Kami menikah bukan untuk mencari alasan agar berhenti kuliah yang sudah sampai di pertengahan. Sekali melangkah harus tetap melangkah, walaupun sedih menerjang.

Dua tahun berlalu. Dan hari ini, Kamis, 31 Maret 2016, di Banda Aceh, istriku diwisuda menjadi seorang perawat di Poltekkes Kemenkes Banda Aceh. Sebuah hasil perjuangan istriku yang dosa jika tidak kuhargai.

Selamat buat istriku. Semoga ilmu yang selama ini kau dapatkan dengan susah payah, senantiasa bermanfaat untuk semua. Amin.

Taiwan, 31 Maret 2016
Dari Suamimu
Usman, lelaki paling ganteng sedunia. Melebihi aktor Korea sekalipun.

No comments:

Post a Comment