Setahun yang lalu, di lab, tempat belajar kami.
Hari itu masih pagi, baru satu-dua orang peserta lab yang masuk. Mahasiswa internasional baru saya yang datang. Sementara beberapa teman Taiwan sudah hadir lebih dulu.
Satu teman Taiwan mendekatiku beberapa saat setelah aku menghidupkan komputerku yang begitu lambat loading-nya.
"Hai, Usman, apakabar?" Dia menepuk bahuku.
"Oh, baik," Aku menjawab ringan. Aku masih melihat komputerku yang masih saja belum selesai membuka sistem operasinya dengan sempurna.
"Usman, aku mau bilang sesuatu kepadamu. Aku tak suka membicarakannya di belakangmu seperti yang mereka lakukan." Mukanya sangat serius. Mata sipitnya menatapku lamat-lamat. Mataku membulat. Penasaran sekali apa yang akan disampaikan temanku ini.
"Ada apa?" Aku mulai tak memerhatikan komputer leletku itu lagi. Sepertinya kabar ini jauh lebih menarik. Berita spesial pembuka pagi hari ini.
"Ini, lho, teman-teman bilang kamu tidak mencuci tanganmu sehabis buang air kecil. Kamu jadi bahan gunjingan teman di lab. Aku terus terang tak suka menggunjing orang. Jika memang ada sesuatu aku suka bertanya langsung pada orangnya. Seperti hari ini. Aku langsung saja bertanya kepadamu." Dia agak berbisik kepadaku. Takut diketahui teman lain. Bahasa Inggrisnya yang patah-patah benar-benar membuatku kadang harus melipat dahi.
Astaga, mereka sudah salah menilai kebiasaanku selama ini ketika masuk toilet. Ini harus kuluruskan. Minimal kepada temanku yang baik hati ini. Mudah-mudahan nanti disampaikannya kepada teman-teman lain.
"Kawan, kamu tahu tidak? Saya tidak sejorok mereka bayangkan. Kamu lihat, kan? Setiap aku pergi ke toilet aku selalu membawa botol minuman. Kamu tahu botol minuman itu untuk apa? Untuk mengisi air minum kah? Bukan. Botol itu untuk mengisi air yang akan kugunakan untuk bercebok saat aku buang air kecil. Aku Muslim, tidak bisa seperti kalian yang tak mencuci ujung pistolmu (the tip of your gun) setelah buang air kecil. Sisa-sisa urine akan mengenai pakaianku. Sehingga aku tidak bisa menggunakannya lagi untuk salat. Jadi, bukan hanya tangan yang aku cuci ketika buang air kecil. Ujung pistolku juga." Dia manggut-manggut. Terus tertawa ketika aku menggunakan kata "the tip of my gun" sebagai pengganti kata "ujung alat vitalku." Aku juga tertawa. Baru sadar ternyata orang Taiwan paham juga kata kiasan ini. Eh, orang Vietnam malah juga menggunakan kata "burung" sebagai kata kiasan untuk itu, lho. Sama, ya? Kita orang Asia. Masih sebudaya.
"Berarti kamu malah lebih bersih dari yang kami bayangkan...."
"Iya lah!" Aku langsung menyela. Tak menunggu dia habis bicara. "Bukan hanya tangan yang harus aku cuci. Jadi, aku tak perlu lagi ke wastafel untuk mencuci tangan karena air dalam botol itu sudah cukup untuk melakukan semua tugas itu," aku menambahkan. Dia paham betul sekarang. Dia menepuk jidat. Tak henti-hentinya menyeringai. Informasi baru bagi dia hari ini, dan tentu buat teman-teman lain juga.
Mereka mengira aku tidak mencuci tangan setelah buang air kecil karena mereka melihat aku tidak lagi ke westafel sebelum keluar toilet. Sebaliknya mereka selalu mencuci tangan ke westafel sebelum keluar toilet.
Makanya, di Taiwan ini, setiap toilet mesti ada wastafelnya, karena kebudayaan di sini tidak bercebok setelah buang air kecil. Dan ketika buang air besar mereka hanya menyapu dengan tisu saja. Itu sebabnya tangan mereka cenderung kotor setelah buang air. Maka wastafel itu menjadi wajib ada.
"Ok, aku paham sekarang, Usman. Aku akan menceritakan ini kepada teman-teman. Agar mereka tahu. Biar tidak salah paham lagi." Dia menyeringai puas. Aku mengangguk dan berterimakasih kapadanya karena sudah mengklarifikasi langsung.
Setelah kejadian itu. Saya selalu mencuci tangan setelah buang air. Tak peduli tanganku sudah kucuci atau belum. Bagiku, aku harus menyatu dengan budaya orang di mana tempatku tinggal sekarang, untuk menghindari syak wasangka yang tidak perlu.
No comments:
Post a Comment