Saya dan teman sekamar sudah masuk ke kelambu masing-masing. Jam menunjukkan pukul 12 malam Jumat, 11 Maret 2016. Lampu-lampu kamar sudah kami matikan. Gelap. Hanya sinar layar hape yang masih menyala di balik kelambu temanku yang berbangsa Vietnam. Aku memanggilnya Anan.
Aku sudah mematikan hape dan memang ingin terlelap lebih cepat daripada malam biasanya. Pasalnya besok pagi-pagi aku harus bertemu dengan Profesor untuk meminta petunjuknya terkait studiku yang kelihatannya akan lebih dari tiga tahun. Aku sekarang sudah di semester enam.
Tak lama setelah aku memejamkan mata, Anan memanggilku dari balik kelambu jaringnya. Kelambu kami benar-benar hanya untuk menghalau nyamuk, sementara kami bebas bertatapan dan kadang bercerita sebelum terlelap. Kelambu jaringnya tipis, bisa ditembus pandang tapi tak bisa ditembus nyamuk.
"Usman, ini gambar apa yang kamu unggah ke Fesbuk kamu?" Anan memperlihatkan layar hapenya. Aku agak memaksa mata agar terfokus setelah sejenak terpejam tadi. Aku melihat di situ ada gambar bungkus nasi Padang. Bungkusan dari kertas warna abu-abu berbentuk bulat panjang dan diikat dengan karet gelang.
"O, itu bungkusan nasi. Di dalamnya ada nasi lengkap dengan lauk," Aku menjawab pertanyaan sambil mengambil posisi tidur seperti semula dan menarik selimut yang melorot karena putaran badan ketika melihat foto itu.
"Di negara kamu tidak ada orang membungkus nasi seperti itu?" tanyaku seraya melirik ke arahnya lagi.
"Tidak, kami di Vietnam menggunakan kotak. Sama seperti di sini (Taiwan)," jawabnya.
Percakapan berakhir sampai di situ. Aku pun terdiam lagi. Memaksa diri untuk cepat tertidur. Namun, tak lama berselang Anan memanggil namaku lagi. Masih masalah yang sama, soal foto di Fesbuk. Kali ini fotonya berasal dari Fesbuk teman dia yang lain.
"Usman, kamu liat ini. Ini di negara saya," ujarnya sambil lagi-lagi mengarahkan layar hape merek HTC-nya ke arah saya. Aku melihatnya. Ada pedagang es krim dengan sepeda. Kotak es krim ditaruh di atas boncengan dan ada payung yang terikat di kotak untuk melindungi tukang es krim dari panas matahari.
"Di tempatmu ada tidak seperti ini, Usman?" tanyanya
"O, ada. Saya sampai sekarang masih suka membelinya pada tukang es krim semacam itu"
"Lho, masih ada yang seperti ini di tempat kamu?"
"Masih lah. Memangnya kenapa?"
"Di tempatku malah ga ada lagi. Ini gambar dulu. Dulu aku pernah membeli es krim seperti ini," tandasnya. Aku berbaring lagi. Saya berharap tidak ada ajakan bicara lagi dari teman Vietnamku itu.
Tapi, percakapan itu jadi terbawa ke pikiran. Apa benar di Vietnam tak ada nasi bungkus sebagaimana halnya di Indonesia. Pun apakah benar pedangang es krim tradisional sudah tak ada lagi di Vietnam? Saya kok kurang percaya sama temanku yang satu ini dalam hal nasi bungkus dan es krim.
Ah, entahlah. Semoga saja benar tidak ada lagi. Biarkan saja Indonesia menjadi unik sendiri. Toh, maju itu tak serta merta harus meninggalkan hal-hal yang bersifat tradisional kok. Bagi saya, es krim tradisional yang dijual dengan sepeda-sepada berpayung itu malah lebih nikmat di lidah ketimbang yang ada di mal-mal. Di samping murah, rasanya juga tak terlalu berlemak yang kadang membuat enek.
Nasi bungkus juga. Bagiku nasi bungkus tetap memberi nuansa gurih. Aroma daun pisang tak ubahnya sebagai taste enhancer (penyedap rasa) alami yang sulit kulupakan. Walau sudah di Taiwan sekalipun, saya tetap merindukan nasi bungkus. Tapi sayang, di Taiwan hanya ada nasi kotak. Tak ada yang menjual daun pisang di sini. Untuk pepes ikan saja harus dengan aluminium foil.
No comments:
Post a Comment