Suara decit sepatu Akif menguar setiap kali langkahnya menghantam lantai, memehuhi udara sejuk ruangan. Suara semi berbisik dari peserta rapat sayup-sayup meningkahi suara cicit serunai sepatu Akif yang lari kesana-kemari, terkadang terhenti pada satu sudut seraya menyapu setiap wajah peserta rapat. Sejurus kemudian lari lagi.
Aku melihatnya lama-lamat. Biji mataku mengikuti kemana saja anak itu melangkah. Lucu. Imajiku terisi dengan raut wajah anakku nun jauh di sana."kalau dia kubawa ke sini pasti larinya lebih kencang lagi, dan dengan suara decit yang lantang lagi," Aku membatin.
Di antara gemuruh suara aktifitas anak kecil dan sayup bisik peserta rapat. Farid, sebagai pemimpin rapat sedang begitu bingung memancing peserta rapat untuk mengusulkan calon, calon ketua Persatuan Pelajar Indonesia perwakilan kota Kaohsiung (PPI Kaohsiung), Taiwan Selatan.
"Bagaimana ini? Tak ada yang mau bersedia jadi ketua." Farid tertawa. Rawut mukanya berharap. Peserta rapat terdiam. Menyeringai ke segala arah. Aku, pasti juga diam.
Rijal yang tak tahan menghadapi kesenyapan, menyambar, "Begini rekan-rekan. Saya punya usulan. Di antara kita ada seorang yang saya lihat hidupnya sangat bersahaja."
Saya mulai cemas terhadap pernyataan retorika Rijal. Jangan-jangan itu saya. Duh, jangan sampai. Mengurus diriku saja aku tak sanggup. Bagaimana lagi melayani seluruh mahasiswa Indonesia di Kaohsiung yang mungkin akan menggantungkan nasipnya kepadaku suatu ketika.
Ops, aku ke-ge-er-an. Memang aku bersahaja? Jauh, Usman. Kehidupanmu itu adalah tembok segi empat dengan deru kipas komputer dan dentangan tombol papan penjarian. Ke Taipei saja kamu belum pernah. Sadar tidak sih, kamu? Iya, iya, sadar.
Peserta rapat terdiam. Menanti kalimat Rijal selanjutnya.
"Dia adalah P-a-k J-i-t-o," lanjut Rijal.
Ruang rapat gemuruh. Riuh rendah. Tawa dua puluh peserta rapat sungguh tak terkendali. Sampai-sampai aku saja lupa sekeras apa aku tertawa waktu itu. Tawa bergelombang. Mengendor. Melengking lagi. Jito, nama lengkapnya Sujito, hanya menyeringai. Senyuman beratnya menyeruak di antara dekahan tawa peserta rapat yang seolah tak ada akhirnya.
Sejurus kemudian, tawa agak meredup. Suara decit sepatu Akif meningkahi lagi yang sempat kalah diterjang tawa. Seolah menjadi simfoni orkestra menyambut rapat perdana pembentukan dan sekaligus pemilihan ketua PPI Kaohsiung.
Di antara gelak tawa yang mulai mengendor, Pak Prayit, yang duduk di samping Jito, menyambar, "Siapa yang setuju Pak Jito jadi ketua angkat tangan!"
Sontak hampir seluruh tangan peserta rapat terangkat ke atas. Seolah langit-langit ruangan terbuat dari magnet dan tangan mereka terbuat dari besi. Tawa pecah lagi. Decit sepatu Akif kalah lagi. Jito menyerangai gelagapan, tak mampu bicara. Apalagi menolak perangkap itu.
Farid mengambil alih kondisi rapat. Pesarta sudah mulai tersenyap. "Ok, Pak Jito. Bapak sudah terpilih sebagai calon satu-satunya hari ini. Calon tunggal. Mangga, Bapak ke depan untuk menyampaikan sesuatu."
Jito melirik kiri-kanan. Melangkah gontai. Sekarang dia tersenyum. Menuju ke meja depan di samping pimpinan rapat. Mik diserahkan.
"Aku tidak tahu lagi bagaimana cara menolak ini." Jito tersenyum. Mengehela napas. Tandanya dia sudah menyanggupinya, menjadi ketua PPI Kaohsiung pertama setelah dibentuk pada hari yang sama.
Beberapa saat kemudian Jito mengambil alih rapat. Memilih pengurus yang akan membantu kerjanya. Saya tak terpilih jadi salah satu pengurus itu. Sedih? Enak aja. Sejak kapan orang yang bernama Usman mau jadi pengurus organisasi?
Aku melihatnya lama-lamat. Biji mataku mengikuti kemana saja anak itu melangkah. Lucu. Imajiku terisi dengan raut wajah anakku nun jauh di sana."kalau dia kubawa ke sini pasti larinya lebih kencang lagi, dan dengan suara decit yang lantang lagi," Aku membatin.
Di antara gemuruh suara aktifitas anak kecil dan sayup bisik peserta rapat. Farid, sebagai pemimpin rapat sedang begitu bingung memancing peserta rapat untuk mengusulkan calon, calon ketua Persatuan Pelajar Indonesia perwakilan kota Kaohsiung (PPI Kaohsiung), Taiwan Selatan.
"Bagaimana ini? Tak ada yang mau bersedia jadi ketua." Farid tertawa. Rawut mukanya berharap. Peserta rapat terdiam. Menyeringai ke segala arah. Aku, pasti juga diam.
Rijal yang tak tahan menghadapi kesenyapan, menyambar, "Begini rekan-rekan. Saya punya usulan. Di antara kita ada seorang yang saya lihat hidupnya sangat bersahaja."
Saya mulai cemas terhadap pernyataan retorika Rijal. Jangan-jangan itu saya. Duh, jangan sampai. Mengurus diriku saja aku tak sanggup. Bagaimana lagi melayani seluruh mahasiswa Indonesia di Kaohsiung yang mungkin akan menggantungkan nasipnya kepadaku suatu ketika.
Ops, aku ke-ge-er-an. Memang aku bersahaja? Jauh, Usman. Kehidupanmu itu adalah tembok segi empat dengan deru kipas komputer dan dentangan tombol papan penjarian. Ke Taipei saja kamu belum pernah. Sadar tidak sih, kamu? Iya, iya, sadar.
Peserta rapat terdiam. Menanti kalimat Rijal selanjutnya.
"Dia adalah P-a-k J-i-t-o," lanjut Rijal.
Ruang rapat gemuruh. Riuh rendah. Tawa dua puluh peserta rapat sungguh tak terkendali. Sampai-sampai aku saja lupa sekeras apa aku tertawa waktu itu. Tawa bergelombang. Mengendor. Melengking lagi. Jito, nama lengkapnya Sujito, hanya menyeringai. Senyuman beratnya menyeruak di antara dekahan tawa peserta rapat yang seolah tak ada akhirnya.
Sejurus kemudian, tawa agak meredup. Suara decit sepatu Akif meningkahi lagi yang sempat kalah diterjang tawa. Seolah menjadi simfoni orkestra menyambut rapat perdana pembentukan dan sekaligus pemilihan ketua PPI Kaohsiung.
Di antara gelak tawa yang mulai mengendor, Pak Prayit, yang duduk di samping Jito, menyambar, "Siapa yang setuju Pak Jito jadi ketua angkat tangan!"
Sontak hampir seluruh tangan peserta rapat terangkat ke atas. Seolah langit-langit ruangan terbuat dari magnet dan tangan mereka terbuat dari besi. Tawa pecah lagi. Decit sepatu Akif kalah lagi. Jito menyerangai gelagapan, tak mampu bicara. Apalagi menolak perangkap itu.
Farid mengambil alih kondisi rapat. Pesarta sudah mulai tersenyap. "Ok, Pak Jito. Bapak sudah terpilih sebagai calon satu-satunya hari ini. Calon tunggal. Mangga, Bapak ke depan untuk menyampaikan sesuatu."
Jito melirik kiri-kanan. Melangkah gontai. Sekarang dia tersenyum. Menuju ke meja depan di samping pimpinan rapat. Mik diserahkan.
"Aku tidak tahu lagi bagaimana cara menolak ini." Jito tersenyum. Mengehela napas. Tandanya dia sudah menyanggupinya, menjadi ketua PPI Kaohsiung pertama setelah dibentuk pada hari yang sama.
Beberapa saat kemudian Jito mengambil alih rapat. Memilih pengurus yang akan membantu kerjanya. Saya tak terpilih jadi salah satu pengurus itu. Sedih? Enak aja. Sejak kapan orang yang bernama Usman mau jadi pengurus organisasi?
Suasana rapat (Credit: Muhammad Farid) |
Penyerahan surat deklarasi ketua PPI Kaohsiung (Credit: Ayub AnggaDireja) |
Foto bareng peserta rapat (Credit: Ayub AnggaDireja) |
No comments:
Post a Comment