Bangunan asrama bergemeretak. 19 April 2016, pukul 4.30 pagi. Semua penghuni terlelap. Sepi. Aku terjaga walau masih setengah sadar. Badanku terhempas dalam arah Timur-Barat. "Gempa," aku bergumam sendiri. Tapi hanya dua kali goncangan saja kemudian senyap lagi.
Aku melirik ke arah dipan teman sekamarku. Dia tertidur pulas. Tak ada geliat badan yang menandakan dia merasakan goyangan ini. Aku pun tidur saja lagi.
Keesokan paginya baru tahu. Ternyata teman sekamar saya itu juga menyadari adanya gempa. Tapi tak menghiraukannya. "Gempa kecil dan hanya sebentar," katanya, "Jadi, aku tidur saja."
Saat aku merasakan gempa tadi malam, sebenarnya aku takut sekali. Sekalipun demikian, sedikit pun tak ada rencana untuk berlari turun keluar gedung. Antiknya, gempa di Taiwan ini hampir selalu terjadi di sepertiga malam terakhir. Di mana orang sedang pulas-pulasnya tidur. Sehingga berlari dalam kondisi setengah sadar karena baru terjaga bisa-bisa terjatuh di tangga.
Pengalaman setahun yang lalu sudah cukup alasan bagiku untuk lebih baik berada di dalam gedung saja ketimbang lari pontang-panting keluar. Lain halnya jika tinggal di lantai satu, peluang untuk sampai di luar gedung sebelum bangunan diruntuhkan gempa besar sekali. Sedangkan aku, tinggal di lantai tiga. Butuh waktu setidaknya tiga puluh detik untuk sampai di luar gedung.
Ini belum lagi pintu depan yang terkunci secara elektronis yang tak akan terbuka tanpa membawa kartu penghuni asrama. Kartu ini, kalau aku, pasti lupa terbawa karena lari dalam kepanikan. Padahal gempa hanya butuh beberapa detik saja untuk meruntuhkan gedung. Terus apa gunanya lari turun ke bawah?
Setahun yang lalu itu saya merasakan gempa kuat sekali dan lumayan lama. Saat itu saya masih tinggal di asrama mahasiswa baru berlantai delapan. Aku tinggal di lantai tiga. Saat gempa terjadi, aku terbangun dan berlari meluncur ke bawah. Dan selanjutnya terhenti di pintu keluar lantai satu karena pintu terkunci.
Gempa sudah berhenti. Sementara penghuni asrama tertahan di depan pintu itu sampai salah satu di antara kami bisa membukanya. Dia adalah mahasiswa yang sekaligus merangkap sebagai pengurus asrama.
Dari pukul 12 malam sampai 6 pagi, hanya dia yang bisa membuka pintu utama asrama. Karena dalam rentang waktu tersebut berlaku jam malam: pintu utama terkuci secara otomatis. Yang telat pulang tidak bisa masuk lagi; yang sudah berada di dalam tidak bisa keluar lagi. Kecuali atas alasan darurat, maka pengurus akan membukanya.
Coba kalau gempanya besar dan sanggup meruntuhkan gedung asrama saat itu. Pasti penghuni yang sedang berbaris di depan pintu lantai satu yang paling berbahaya.
Coba lihat saja reruntuhan bangunan setelah gempa, kebanyakan yang hancur adalah lantai satunya, lantai di atas malah utuh. Hal ini wajar, karena konstruksi lantai bawahlah yang menanggung semua beban lantai di atasnya. Wajar kalau dia hancur duluan, sementara lantai atas malah utuh.
Jadi, kalau berada di lantai paling atas, kenapa pula aku harus capek-capek lari turun ke bawah. Yang malah lebih berbahaya. Inilah alasannya saya santai saja tadi malam. Mengingat bangunan asrama saya berlantai tiga, dan saya tinggal di lantai tiganya. Lebih aman.
Asramaku sekarang tidak ada jam malam, yang artinya pintu terbuka 24 jam, tak pernah terkunci. Malah, biar tetap terbuka, pintunya diganjal dengan botol racun api agar dia tidak tertutup. Kalau sudah tertutup, sistem pengunci elektronik akan berfungsi dan membukanya harus memakai kartu yang dimiliki oleh setiap penghuni asrama. Jadi, biar tak ribet, pintu dibuka saja melompong. Sehingga siapa saja bisa masuk, sekalipun bukan penghuni asrama.
Sekalipun demikian mudahnya lari turun ke luar gedung, dengan tanpa kunci dan kartu sekalipun, tetap saja berlari ke bawah bukan pilihanku ketika gempa. Diam saja dan berdoa. Semoga diselamatkan.
No comments:
Post a Comment