Thursday, April 21, 2016

Terjebak Latihan Darurat Perang Udara Di Taiwan

“Maaf, Anda harus berhenti sejenak. Jangan keluar dulu.” Seorang polisi dan satu petugas berseragam baju biru muda dengan celana biru tua, menahan saya dan semua penumpang lain agar tak keluar dulu dari stasiun kereta bawah tanah (MRT).

“Ada masalah apa, Pak?” saya bertanya kepada polisi yang ternyata tak mampu berbahasa Inggris. Tapi dia tahu betul maksud saya.

“Mmm... itu… itu.... Ini, lihat ini.” Dia menunjukkan maklumat yang ditempelkan di depan tangga berjalan. Maklumat itu tertulis dalam bahasa Mandarin dan disusul bahasa Inggris di bawahnya. Dia menunjukkan yang versi Inggris kepada saya.

Polisi tersenyum menatapku. Aku membaca maklumat itu. Di sana tertulis “Wanan Excersise No. 39 akan diselengarakan pada pukul 13.30 sampai 14.00. Penumpang tidak boleh meninggalkan stasiun buat sementara waktu. Mohon ikuti petunjuk dari staf.”

“Wanan Exercise? Apa itu?” aku bertanya kepada petugas yang berbaju biru muda. Dia sedikit bisa berbahasa Inggris.

“Itu semacam latihan keamanan. Security,” dia menjelaskannya penuh semangat. Namun, penjelasannya yang panjang dan dengan bahasa Inggris yang belepotan, membuat aku tak begitu serius mendengarnya. “Biar nanti saat sampai di lab aku tanya temanku saja,” aku membatin.

“Kamu mengerti apa itu Wanan excercise?” aku bertanya pada seorang bule yang kebetulan berada di belakangku. Raut mukanya memancarkan kebingungan.

Dia menggeleng. Padahal dia juga mendengar penjelasan dari petugas tadi yang dengan begitu semangat sampai tangannya melayang-layang di udara mencoba mendefinisikan seonggok kata “Wanan” kepada kami mahkluk pendatang.

“Ya, untuk keamanan saja,” bule itu menjawab ringan setelah menggeleng. Kemudian tersenyum.

“Sampai pukul dua siang.” Saya menunjukkan maklumat yang ada di depan kami. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 13.40. Berarti dua puluh menit lagi latihan usai.

“Iya. Tak lama lagi,” jawabnya singkat.

Akhirnya kami berdua duduk di tangga yang diapit oleh dua eskalator di kiri dan kanan – eskalator naik dan turun. Terlihat beberapa orang menyolonong naik melanggar arahan petugas. Aku melihat ke arah teman si bule itu. Dia menyeringai. Dari mimiknya terlihat tak menyukai pelanggar aturan itu.

Tak banyak percakapan di antara kami. Hanya bertanya dari mana asalku. Aku menjawab dari Indonesia. Aku tidak menanyakan balik. Wah, dia terkesiap. “Negaramu besar dan indah. Punya ribuan pulau. Aku hanya tahu Bali. Tapi aku yakin, bahwa masih ada ribuan pulau-pulau lain yang tak kalah indahnya.”

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Aku tak menanyakan dari mana asalnya. Aku hanya menyambung sedikit tentang pembicaraan negaraku yang indah sekali di matanya.

Sejurus kemudian kami terdiam. Dia sibuk dengan gawainya. Foto sana – foto sini. Sementara aku sudah mulai membaca buku yang selalu kubawa jika aku bepergian. Inilah pentingnya membawa bacaan ringan ketika bepergian. Tak ada satu pun orang yang berhasil membuang-buang waktu saya.

Mereka tahan pun sampai sore aku di bawah tanah ini, tak mengapa. Bukuku malah masih cukup untuk dibaca sampai seminggu ke depan. Setidaknya ada tiga buku dalam tasku- satu novel dan dua buku tentang analisis data yang siap menemaniku saat menunggu bus, di dalam bus, dan ketika menanti latihan yang tak kuketahui apa maksudnya ini.

Belum lagi empat halaman habis kubaca, loudspeaker stasiun melenguh. Mengeluarkan pengumuman yang tak kuketahui apa masksudnya. Terlihat orang sudah bangkit dari duduknya. O, latihan usai.

Eskalator dihidupkan. Orang-orang mengantre untuk naik ke tangga berjalan itu. Lumayan panjang. Aku naik melalui tangga saja. Dan naik eskalator di pendakian selanjutnya. Bule teman saya tadi memilih mengantre di eskalator.

Letak stasiun MRT jauh di bawah tanah. Butuh dua kali menunggang eskalator yang panjang dan curam, baru sampai ke stasiun dimana kita membeli karcis atau menempelkan kartu I-Pass ke pemindai. Setelah itu masih harus turun lagi ke peron tempat menunggu kereta.

Aku naik melalui tangga pada tahap pertama. Dan yang kedua naik melalui eskalator. Bule tadi tertinggal jauh di belakang saya karena terjebak antrean pada eskalator pertama.

***
Satu jam kemudian aku sudah sampai di lab. Komputer kuhidupkan dan mencari informasi tentang Wana Excercise No. 39. Dari berita saya tahu bahwa itu hanya latihan untuk meningkatkan respon masyarakat terhadap kondisi darurat perang karena adanya serangan udara dari musuh.

Dengan latihan ini masyarakat jadi tahu, bahwa seperti inilah mereka harus berlaku jika kondisi negara sedang mengalami serangan udara: yang di dalam stasiun harus tetap di stasiun, yang di dalam rumah harus tetap di dalam rumah, jika sedang mengendarai mobil harus menghentikan mobilnya ke pinggir sampai batas waktu yang telah ditentukan.

Sirine dihidupkan dengan ritme khusus sebagai tanda kapan kondisi darurat mulai dan berakhir. Jalanan lengang. Orang dihalau agar tidak berada di tempat terbuka. Hanya polisi yang terlihat berlalu-lalang menyuruh masuk orang-orang yang nakal ingin keluar.

“Chia Chen, kamu mengerti apa itu Wanan Excercise?” aku bertanya kepada salah satu teman lab saya. Dia belum menjawabnya. Sedang sibuk sekali menyelesaikan misinya dalam acara bunuh-membunuh di dalam game-nya. Serius. Aku kembali ke meja belajarku.

Setelah satu tahap misinya selesai, kemudian dia menghampiri saya. “Ada apa, Usman?”

Saya mengulangi pertanyaan tadi.

“O, itu semacam latihan jika seandainya negara kami di serang musuh melalui udara. Jadi, jika itu terjadi, maka seperti itu lah kami harus berlaku. Diam di dalam rumah sampai sirine aman didengungkan lagi.”

“Wanan itu artinya semua aman,” dia melanjutkan penjelasannya.

“Terus No. 39 itu apa maksudnya?” aku bertanya menimpali.

“Nah, yang itu aku tak tahu juga,” jawabnya,”Tapi… itu hanya nomor saja, saya rasa.”

Dia kembali ke meja belajarnya setelah memberi penjelasan singkat.

***
Dengan latihan Wanan ini, imajiku langsung terbang menerobos ruang waktu ke masa kecilku. Masa dimana Aceh sedang dalam kekalutan operasi militer. Kala itu saya masih SD. Lupa di tahun berapa. Yang jelas, saya baru saja bisa membaca ketika melihat pengumuman yang ditempel di pintu-pintu pasar Blangjruen yang berisi maklumat tentang petunjuk dalam kondisi darurat.

Kecuali adanya rasa takut ketika membaca maklumat di Aceh dulu, kondisinya sama persis seperti Wanan Excercise di Taiwan hari ini. Tingkat kondisi kedaruratan dikodekan dengan panjang dan banyaknya suara sirine. Saya lupa detail petunjuk suara sirine yang saya lihat di waktu kecil saya itu.

Pada hari yang telah ditentukan, kondisi desa sedikit mencekam. Aku takut. Memang kondisinya seperti mau perang. Ada serangan udara. Suara sirine dihidupkan. Tak berapa lama dua pesawat tempur muncul bermanuver di atas lapangan sepak bola Tanah Luas Blangjruen.

Suara menggelegar memekakkan telinga. Atap rumah dari seng bergetar beresonansi hebat. Pesawat sudah jauh meluncur ke depan. Suara riuh masih tertinggal di belakang. Sirine selanjutnya dihidupkan. Sepi. Latihan usai.

Bagi yang pernah hidup di Aceh sekitar tahun 80-an, melihat pesawat tempur bermanuver di udara mungkin sudah hampir menjadi tontonan harian.

Jika tak ada aba-aba darurat, walaupun hanya sebagai latihan, bagi kami anak kecil di Aceh, itu sudah menjadi tontonan renyah dan menakjubkan. Walaupun jika sedang sendiri di rumah atau di sawah, tontonan yang renyah itu berubah menjadi horor dan menakutkan.

Jika saya bandingkan dengan “Wanan Exercise” di Aceh kala aku kecil dulu, maka latihan di Taiwan hari ini tidak lah seru. Tak ada gemuruh pesawat tempur yang menggelegar di langit-langit kota.

No comments:

Post a Comment