Secara resmi stasiun ini bernama Kaohsiung Main Station (Stasiun Utama Kaohsiung) karena terintegrasi dengan kereta bawah tanah (MRT), bus kota, dan bus antar-kota.
Ia terdiri dari dua sayap: sayap utara yang terletak di sebelah utara rel kereta api dan sayap selatan yang berada di selatan rel kereta api. Untuk menghubungkan dua sayap ini, sebuah koridor yang melayang di atas rel, yang menghubungkan kedua lantai dua stasiun ini, dibuat. Di koridor ini juga dilekatkan tangga-tangga bagi penumpang untuk turun ke peron tempat menunggu dan masuk ke kereta.
Kita bebas masuk ke stasiun di lantai satu dan lantai dua. Tapi ketika kita masuk ke koridor, sebuah tiket dibutuhkan untuk membuka pintu portir secara elektronik. Atau kalau hanya mau menumpang lewat untuk menyeberang, sebuah kartu pelintas akan diberikan oleh petugas portir.
Stasiun sayap selatan bertindak sebagai stasiun depan (front station). Sebaliknya, stasiun sayap utara sebagai stasiun belakang (rear station). Karena bertindak sebagai belakang, sayap utara lebih sepi daripada pasangannya di sebelah selatan. Lebih dari itu, stasiun sayap selatan juga langsung berhadap-hadapan dengan terminal bus kota dan berdekatan dengan terminal bus antar-kota dan stasiun MRT. Juga sekitar sayap selatan inilah di mana warung-warung Indonesia bertebaran menyapa pelanggannya.
Hari itu, Sabtu, 19 Maret 2016, aku berada di stasiun kereta api Kaohsiung sayap selatan. Karena sudah tahu sebelumnya bahwa sekarang telah tersedia musala di stasiun ini, maka hari ini aku mau salat Zuhur di sini. Aku melangkah naik ke lantai dua menuju portir.
“Sien Sheng, Wo yao paipai - Pak, Saya mau salat.” Aku membungkuk sebagai tanda hormat. Memberi tahu petugas portir bahwa saya mau salat. Jam digital yang bergelayut di langit-langit seberang portir menunjukkan pukul satu siang. Waktu salat zuhur untuk Kaohsiung sudah masuk sejam yang lalu.
Petugas portir yang berseragam mirip polisi itu memberikan sebuah kartu yang berwarna biru muda kepadaku, kartu untuk pelintas di koridor. Hanya itu tanggapannya. Tanpa sedikit pun kata-kata yang keluar dari mulutnya untuk merespons kalimat Bahasa Mandarin-ku yang kuhafal dari tadi pagi dengan susah payah.
Kalimat dengan karakter Mandarin memenuhi kedua sisi kartu ini. Hanya angka 20 yang ditulis dengan huruf latin. Selebihnya disesaki oleh tulisan yang tak bisa kubaca, apalagi kupahami.
Berbekal kartu ini, aku melangkah menyusuri koridor yang menghubungkan stasiun depan dengan belakang. Sampai di pintu portir belakang, aku menyerahkan kartu ini kepada petugas yang berpakaian sama seperti di depan tadi.
“Pak, saya mau salat.” Aku menyerahkan kartu ini kepadanya.
Bapak ini lumayan murah senyum. Raut mukanya memancar cahaya kecintaan akan pekerjaannya itu.
“O, kamu mau salat? Ambil kunci ini. Itu ruangnya.” Ia menyerahkan kunci kepadaku kemudian menunjuk ke arah ruang salat. Letak ruang salat ini segaris dengan barisan pintu portir. Tapi untuk masuk ke ruang ini kita harus keluar pintu portir dulu, karena pintunya terbuka ke luar area koridor.
Jadi, jika kita masuk melalui stasiun belakang, berarti kita tidak perlu melewati portir. Maka, tidak perlu kartu pelintas. Sedangkan aku adalah pelintas dari stasiun depan. Maka kartu pelintas adalah wajib. Jika tidak, maka aku akan dianggap penumpang yang baru turun dari kereta tanpa membeli tiket.
Dengan kunci di tangan aku melenggang melewati pintu portir. Menuju ke ruang salat yang sudah dari tadi terlihat di ujung sasaran telunjuk petugas.
Setelah aku membuka pintu, aku tersenyum girang melihat ruang yang bersih dan tertata rapi. Jamaah wanita-pria disekat menyamping- laki-laki sebelah kanan dan perempuan sebelah kiri. Bukan muka belakang.
Sekat yang terbuat dari plastik putih bertulang besi itu membagi dua ambal berbulu tebal cokelat muda polos yang begitu nyaman ketika mengganjal dahiku saat bersujud. Terlihat sepasang sandal jepit terbaring di sebelah dalam muka pintu. Angin semilir AC pun terasa mengelus kulitku yang tak kuketahui keluar dari lubang mana. Di samping pintu tertulis sederet peraturan yang harus dipatuhi. Di antaranya adalah musala ini hanya dibuka pada pukul 6.30 sampai 21.30.
Untuk tempat wudu, ternyata tidak ada di dalam ruang ini. Ia ada di luar sana sekitar toilet. Jadi, seharusnya memang berwudu dulu baru masuk ke ruang salat. Namun, kalau bersepatu, lebih baik masuk dulu untuk menggantikannya dengan sandal yang hanya sepasang itu.
Ada petunjuk jalan di mana tempat wudu berada. Tak jauh dari ruang salat. Tempat wudu ini hanya berupa sebuah kran yang dilengkapi dengan kulah kecil yang berfungsi menjebak cipratan air dari aktivitas berwudu, dan mengalirkannya ke saluran pembuang. Sebuah pegangan juga terpasang di sebelah kanan kulah ini.
Sebelum salat, seperti biasanya, aku sempat mengukur arah kiblat. Ruangan ini tak tepat betul mengarah ke arah kiblat. Untuk mengoreksinya, dari arah ambal yang telah ditentukan arahnya itu, aku agak memencengkan hadapku ke kanan sedikit sekitar arah pukul setengah satu.
Setelah salat aku balik lagi ke stasiun depan. Tentunya dengan mengunci ruang salat itu lagi dan mengembalikan kunci itu kepada petugas portir. Mengambil kartu pelintas, dan melintas.
Kartu pelintas berlatarkan stiker penunjuk ruang salat |
Pintu ruang salat |
Penampakan dalam ruang salat |
Tempat wudu |
No comments:
Post a Comment