Friday, May 20, 2016

Barang Tercecer dan Teh Pahit. Pengalaman dengan Barang Tercecer di Taiwan

“Ini jam kamu?” seorang lelaki berkulit hitam, berambut keriting tipis, berbadan kurus tinggi yang membuatku harus mendongak untuk bersitatap dengannya, menganjurkan jam tangan digital hitam ke arahku.

Saya sedang bersiap untuk berwudu. Baru saja masuk ke ruang itu. Sementara lelaki ini baru saja usai berwudu. Muka dan tangannya masih basah.

“Bukan, bukan punya saya,” jawabku. Bingung.

Bagaimana dia bisa mengira bahwa itu adalah jam tanganku? Sementara aku baru saja masuk ke ruang wudu ini. Apakah dia tak melihatnya? Atau, dia ingin melimpahkan tanggung jawabnya kepadaku karena sudah kebablasan mengambil jam tercecer itu? Saya kira, iya. Barang tercecer itu, kalau kita sudah menyentuhnya, berarti itu sudah menjadi tanggung jawab kita untuk mencari pemiliknya. Dan ia dengan serta-merta melimpahnya kepadaku.

Aku juga dengan setengah tak sadar mengambil saja jam itu darinya. Setelah itu bingung. Bodoh!

“Kamu kasih saja ke imam” aku bilang kepadanya.

“Iya, kamu tolong sebentar, kasihkan ke imam” jawabnya ringan.

Melihat aku kebingungan, seorang laki-laki yang berkulit hitam gemuk berujar, “Kamu taruh saja di tempat semula. Nanti yang punya pasti turun dan mengambilnya.”

“Kamu tadi ambil di mana?” aku menoleh ke lelaki yang mengambil jam ini tadi.

“Di sana.” Dia menunjuk ke arah ujung ambang tembok pembatas dua deret kran wudu.

Ambang itu adalah sebuah tembok setinggi betis yang pada kedua sisinya mencuat kran-kran untuk berwudu. Sehingga tak jarang ketika berwudu, obrolan singkat pun meluncur karena posisi tempat wudu yang berhadap-hadapan.

Kran di Masjid Kaohsiung memang setinggi betis karena berwudu di sini dilakukan sambil duduk. Kursi beton berlapis keramik dipasang secara permanen pada kedua sisinya, menemani setiap krannya, lengkap dengan sandaran. Tepat di bawah kran-kran itu ada selokan pembuangan air yang ditutupi jerjak besi.

Ambang itulah yang sering menjadi tempat sementara bagi barang-barang para jamaah yang harus dilepas ketika berwudu. Dan kadang terlupa mengambilnya kembali. Seperti jam tangan yang diberikan kepada saya barusan.

“Tetapi alangkah lebih baiknya jika kamu kasih saja jam tangan itu ke imam,” ujarnya sambil mengelap-ngelap kakinya yang basah.

Aku tak peduli. Kutaruh saja jam itu ke tempatnya semula. Setelah itu aku berwudu dan keluar. Syahdan, sampai di luar sana, di mulut tangga menuju lantai dua, aku melihat Musa, bilal masjid Kaohsiung. Nah, ini saatnya aku bilang ke dia untuk menyelamatkan jam tangan yang telah ku sentuh itu.

“Musa! Ada jam tangan.” Aku menunjuk ke arah ruang wudu. Dengan sigap ia mengambilnya dan membawa naik ke atas. “Nanti aku buat pengumuman,” katanya selewat

Betul saja, setelah imam selesai bernasihat, Musa berdiri. Menghampiri dan memberi jam tangan itu kepada imam. Imam mengumumkan dengan tiga bahasa: Cina, Arab, dan Inggris. Namun, tak satu pun yang berdiri mengklaim atas kepemilikan jam tangan yang malang itu.

Acara Jumat langsung berlanjut. Jam tangan itu tak dihiraukan lagi. “Nanti kalau ada yang kehilangan tinggal ambil saja,” tutup imam.

***

Pertanyaannya adalah, kenapa aku begitu takut dengan barang tercecer di Taiwan? Ada ceritanya.

Dua tahun yang lalu. Pagi hari. Aku baru sampai di bibir tangga untuk turun ke lantai bawah tanah di mana labku berada. Kakiku melayang akan menghantam anak tangga pertama. Tetapi urung. Mataku menangkap ada hape pintar tergeletak di sana. Saya orang Indonesia. Pasti saya ambil barang itu. Maksudku baik. Ingin menyelamatkannya. Ingin mengembalikan ke pemiliknya.

Saya bawa dia masuk ke lab. Pesan masuk bertubi-tubi. Semua tulisan dalam karakter Mandarin. Aku seperti melihat ranting-ranting. Tak ada makna komunikatif yang bisa aku tangkap. Aku minta tolong pada teman Vietnamku, dia lancar berbahasa Mandarin. Sayang sekali! Sama saja! Ia hanya bisa berbicara ternyata, tetapi tak bisa membacanya.

“Usman! Lain kali kamu jangan pernah ambil hape tercecer seperti ini lagi,” hardiknya, “Kamu tahu! Salah-salah kamu bisa berurusan sama polisi. Sudah ada kejadiannya, lho.”

Aku sontak bingung. Ketakutan menyergap. Bukan Usman namanya jika tidak cepat cemas. Aku melihat ke arah semua teman-teman Vietnamku di lab. Takut.

“Ok. Hape ini harus segera kita kembalikan”

“Bagaimana caranya?”

“Ikut aku”

Aku mengikutinya menuju ke lab sebelah. Di sana ada pelajar Taiwan, yang siap membalas pesan-pesan yang datang bertubi-tubi itu. Sekaligus memberi tahu posisi hape ini sekarang. Agar segera diambil oleh pemiliknya.

Akhirnya, pemilik berhasil dihubungi. Sepakat, besok dia akan mengambilnya. Hape dimatikan. Esok hari hape itu diambil ke lab kami. Sebagai tanda terima kasih, setengah lusin teh hijau diberikan kepada kami. Aku mengambilnya satu. Meminumnya. Aih! Pahitnya! Rasa teh ini benar-benar mewakili perasaanku ketika ditakuti kemarin sore. Getir.

Bukan, bukan. Bukan dia pelit. Di Taiwan memang orang suka minum teh pahit. Cuma saya yang baru tiba di Taiwan pada waktu itu, merasa aneh dengan teh tanpa gula. Namun, sekarang saya menjadi salah satu penikmat teh hijau pahit. Hampir setiap hari.

Mulai saat itu, saya tak mau lagi mengurusi barang tercecer di Taiwan. Sampai hari ini.

No comments:

Post a Comment