Siang ini, Rabu, 18 Mei 2016, di Warung makan vegetarian, Kaohsiung, Taiwan Selatan.
“Yinni ren ma? – Orang Indonesia kah?”
Aku menoleh ke samping. Sepit masih di tanganku. Aku berhenti sejenak mengambil sayur dan lauk untuk makan siangku.
Tepat di sampingku, terlihatlah seorang perempuan. Tingginya sama betul denganku. Sekitar 155 sentimeter. Tak seperti aku, dia berbadan langsing. Rambutnya ikal gaya Marylin Monroe, pendek menggapai bahu.
“Dui, Yinni ren – Ya, orang Indonesia,” jawabku
“Alhamdulillah,” ujarnya.
Nah, kalimat ini benar-benar membuyarkan pikiranku. Bukan karena kata Alhamdulillah-nya. Tapi lebih kepada cara dia mengucapkan kata itu. Dengan menyentak pada suku kata “ham.” Gaya siapa lagi ini kalau bukan punyanya Bang Haji Rhoma Irama.
Bentar, bentar. Jangan-jangan, Si Mbak ini punya indra ke enam. Sehingga dia tahu bahwa aku adalah salah satu penggemar berat Bang Haji Rhoma Irama. Karenanya gaya bicaranya dimirip-miripkan dengan Bang Haji biar aku senang? Ah, berlebihan! Mana mungkin! Atau, jangan-jangan lagi, dia sendiri juga penggemar Bang Haji?
“Asli mana, Mas?” tanyanya memecah lamunan singkatku.
“Saya dari Aceh, Mbak”
Dia tersenyum ramah. Aku membalasnya dengan lebih ramah lagi.
“Tapi logatnya kok mirip-mirip Malaysia gitu, ya, mas?” Tanyanya lagi seolah meragukan asal muasalku.
Masak, sih. Logatku mirip penutur Melayu? Padahal selama ini aku dengan bangga mendeklarasikan diri sebagai penutur bahasa Aceh tulen. Kalau dengan logat orang Bali mungkin iya. Aceh dan Bali itu hampir sama logatnya, lebih-lebih pada huruf “t”. Dengan Malaysia, baru kali ini aku disangka orang negeri jiran itu.
“Ya, mungkin saja logat kami sama, Mbak. Aceh-Malaysia, kan, berdekatan,” aku mencoba mendukung saja perkiraannya.
Tapi, ada benarnya juga, sih. Aceh-Malaysia itu, kan, sama-sama tanah Melayu. Pada zaman diluvium dulu sebenarnya daratan tinggi Sumatra dan Malaysia menyatu, yang hanya dipisahkan oleh sebuah dataran rendah yang bisa dilalui perjalanan darat. Setelah zaman itu usai, permukaan air laut naik, dataran rendah itu dibanjiri air dan jadilah Selat Malaka.
Saat itulah garis batas terbentuk secara alami, yang memisahkan penduduk Sumatra dan Malaysia. Ditambah lagi dengan garis batas virtual yang dibentuk untuk membatasi dua negara. Jadilah kami terpisah oleh dua sekat yang sulit ditembus baik secara fisik maupun secara hukum. Padahal kami dulu adalah satu. Sama-sama orang Melayu.
“Mbak, orang mana?” tanyaku
“Orang Jawa tengah, Mas” jawabnya. “Masnya, sudah lama di sini?”
“Ini sudah masuk tahun ketiga, Mbak”
“Kerja?”
“Bukan. Saya mahasiswa, Mbak.” Saya terus terang merasa tak enak hati menjawab pertanyaan ini, karena sebagian besar pekerja merasa inferior jika tahu bahwa lawan bicaranya adalah anak kuliah. Tapi, saya juga tidak mau berbohong dengan menyembunyikan identitas saya. Takut belakangan mereka tahu malah bisa membuatnya sakit hati.
Karena itu, jika ada rekan pekerja yang bertanya. Saya pasti akan menjawab identitas saya yang sebenarnya. Tentu dengan menekan habis-habisan kesombongan yang mungkin saja menyeruak keluar tanpa kusadari.
Sampai di situ percakapan kami berhenti sejenak karena harus menuju kasir untuk membayar makan siang kami sebelum menyantapnya.
“Ok, setelah membayar, nanti kita ngobrol lagi,” ujarnya
Aku duluan yang membayar kemudian disusul olehnya. Setelah itu kami keluar ke emperan toko. Sebelum saya makan di situ dan dia pulang, kami mengobrol lagi walaupun tak lama.
“Ambil apa, Mas, kuliahnya?”
“Doktor, Mbak”
“Doktor mesin? Atau doktor mekanik?” tanyanya lagi.
“Doktor mesin, Mbak”
“Sering makan di sini ya, Mas?”
“Sering, Mbak. Di sini, kan, aman. Ga ada babinya.”
“Eh, tapi aku sering juga beli makanan di situ, lho.” Dia menunjuk ke arah warung makan di seberang jalan. Warung itu berhadapan dengan warung vegetarian di mana kami berdiri sekarang. Di pamflet depannya ada tulisan latin “Yummy, yummy.”
“Dalam keluarga yang mengelola warung itu, ada satu anaknya yang muslim. Jika aku yang datang membeli, pasti masakan untuk saya dibedakan. Semua dibersihkan dari unsur babi” lanjutnya.
Pikirku, boleh juga ini, menjadi warung makan alternatif saat dirundung bosan akan menu vegetarian di warung ini.
“Ok. Saya pulang dulu, ya. Silakan dinikmati makan siangnya. Senang bertemu denganmu.” Dia melambaikan tangan. Aku juga membalasnya dengan lambaian. Tersenyum renyah. Tapi, aku lupa menjawab, senang juga bertemu denganmu. Reflekku tak muncul untuk membalas kalimat ini. Yang ada malah aku membungkukkan sedikit badanku sebagai tanda hormat.
“Hmmm, asyik juga Si Mbak ini,” aku bergumam sendiri. Jarang-jarang mbak-mbak pekerja mau berbicara panjang lebar seperti ini. Kali ini aku malah lebih banyak mendengar dan menjawab rentetan pertanyaannya. Padahal aku termasuk lelaki cerewet yang sulit diam.
Biasanya aku yang pertama menyapa jika bertemu wajah-wajah khas orang Indonesia. Itu pun dijawab selewat atau sekenanya saja. Kali ini, justru aku yang disapa duluan. Dihujani pertanyaan-pertanyaan, didominasi, diberi petunjuk sebuah warung alternatif baru. Terimakasih, Mbak. Saya ingin mencoba warung itu.
No comments:
Post a Comment