Wednesday, May 25, 2016

"Nama Saya Usman, Bang." Pengalaman Bertemu Pembaca Blogku di Kaohsiung, Taiwan Selatan

Kemarin, Selasa, 24 Mei 2016, di warung makan Indonesia Al Alam, Kaohsiung, Taiwan Selatan.

Seorang lelaki berkulit gelap bertubuh tambun turun dari lantai dua warung Al Alam. Ia baru saja makan di atas sana. Turun dengan membawa setruk yang berisi menu-menu apa saja yang telah disantapnya.

Kasir, Hartati, sekaligus sebagai pemilik warung, menunggu di warung lantai satu, yang dipenuhi oleh barang-barang Indonesia. Hanya ada dua pasang kursi-meja makan di lantai satu ini, karena tempat makan dan dapur sebenarnya terkonsentrasi di lantai dua.

Aku memesan bebek goreng, tetapi aku tak mau naik ke lantai dua. Ruang makan yang menyatu dengan dapur membuatku sesak napas. Dan lagi bau uap masakan tak segan-segan melengket di baju yang bisa mengalahkan parfum merek apapun.

“Berapa, Mbak?” Lelaki itu menyerahkan setruk kepada kasir.

Hartati menekan-nekan kalkulator dan menyimpulkan harga. Tak jelas bagiku apa saja yang dimakan lelaki itu dan berapa pula yang harus dibayarnya.

“Orang mana, Mas?” Hartati bertanya. Tersenyum. Sembari tangannya merengkuh lembaran-lembaran uang yang keluar dari dompet lelaki itu.

“Orang Aceh, Mbak.” Jawab lelaki itu datar.

“Hah! orang Aceh!?” Hartati sedikit kaget. Wajar ia kaget. Pasalnya ia baru saja mengobrol denganku dan aku memperkenalkan diri sebagai orang Aceh. Dan sekarang, ia mendapati lagi orang Aceh memasuki warungnya.

“Itu juga orang Aceh, lho, Mas.” Hartati menunjuk ke arahku. Lelaki itu dengan sigap menoleh ke arah sasaran telunjuk Hartati. Memutar badannya seratus delapan puluh derajat, karena posisinya yang membelakangiku.

“Ureung Aceh, Bang? – Orang Aceh, Bang?” tanyanya dengan bahasa Aceh yang fasih.

Aku sedang merenggut bebek goreng yang baru saja terhidang. Masih panas. Tertegun. Menjawab pertanyaan itu tanpa tunda-tunda, “I-iya, Bang,” dengan bahasa Indonesia. “N-nyoe, Bang,” mengulangnya dengan bahasa Aceh.

Sayang, kami tak bisa bersalaman. Tanganku belepotan dengan sambal racikan Hartati yang pedas itu, yang merupakan peneman bebek goreng andalannya.

Lelaki itu duduk di depanku setelah transaksinya usai. Kami mengobrol panjang lebar dalam bahasa Aceh. Walaupun sudah lama tak tinggal di Aceh, bahasa Aceh lelaki ini masih bagus dan fasih. Padahal, katanya, sudah lama sekali menetap di Jakarta.

“Nama saya Dani.” Ia memperkenalkan diri.

“Saya Usman, Bang.” Aku juga tak kalah pede. Walaupun terkadang jadi peda, ikan asin.

Sekalipun badannya lebih besar daripada saya dan kulitnya lebih gelap, aku tahu betul, bahwa aku lebih tua darinya. Terlihat dari guratan wajahnya. Masih lebih muda. Masih kencang. Usia itu memang tak bisa ditutup-tutupi. Terlihat menyembur keluar meski berinci-inci bedak menindihnya. Walaupun demikian, saya tetap memanggilnya Bang untuk kesopanan.

Hampir setengah jam kami mengobrol. Segala penjuru masalah keluar. Mulai dari pekerjaan sampai dengan asal kami di Aceh. Dani berasal dari Banda Aceh, tetapi logatnya sama sekali tak mewakili daerah asalnya. Malah lebih dekat ke logat Aceh Utara, tempat asalku.

“Tapi logatmu itu Aceh Utara, Bang?” tanyaku yang meragukan asalnya.

“Saya campuran. Orang tua saya orang Bakongan,” jawabnya.

O, mungkin itu sebabnya. Tetapi aku tak tahu juga logat orang Bakongan bagaimana. Saya belum pernah ke Aceh Selatan. Sabang adalah paling ujung dari tanah Aceh yang pernah kuinjak. Selebihnya hanya melihatnya di peta.

“Saya juga belum lama di sini,” tambahnya membuka topik baru.

“Saya sudah masuk tahun ketiga, Bang” ujarku. Suaraku melemah mengucapkan kalimat ini.

“Kira-kira setahun lagi ada ga di sini, Bang?” tanyanya lagi.

“Mudah-mudahan jangan sampai, Bang!” jawabku cepat.

Kami pun tertawa. Ia tahu betul. Aku ingin lulus secepatnya. Anak-istri menunggu di rumah.

Untuk ukuran pertemuan pertama, percakapan kami terhitung panjang. Menyapu kemana-mana. Mulai dari tahun masuk SMA (aku rasa ini bentuk sopan dari penanyaan umur. Dan, ternyata benar. Aku lebih tua tiga tahun darinya) sampai dengan pekerjaan kami.

Saya mengakui sebagai dosen di Politeknik Negeri Lhokseumawe, ia pun mengakui sebagai pekerja di salah satu perusahaan penyedia sinyal hape di Taiwan.

Materi obrolan kami berbelok kesana-kemari tak tentu arah. Menyasar kemana-mana sampai kepada jumlah anak Aceh yang kuliah di Kaohsiung.

“Di Kaohsiung, kalau ga salah, cuma t-i-g-a, Bang” aku menjawabnya sambil melipat jemariku satu persatu dan berhenti pada jari ketiga.

“Oya, aku pernah baca sebuah website. Saya lupa nama penulisnya.” Ujarnya, “dia juga mahasiswa di sini.”

Aku tertegun. Berhenti mengunyah. Paha bebek goreng masih di tanganku. Berhenti merenggut. Mulai menerka-nerka. Tetapi saya yakin betul, itu blog saya yang telah dibacanya. Saya tersenyum – sepertinya lebih tepat jika dibilang tertawa lirih.

“Jangan-jangan itu blog saya, Bang” aku tertawa.

“Bukan! Dia orang Banda Aceh,” Sanggahnya

“Tulisan tentang apa yang pernah kamu baca di blog itu?” tanyaku menginterogasi, “soalnya aku ingat betul apa yang telah saya tulis.”

“Dulu, dia pernah menulis tentang pasar ikan Lampulo di Banda Aceh ketika dia pulang kampung,” jawabnya.

Dar…! Aku tertawa.

“Itu blog saya, Bang,” ledakku, “aku memang pada saat itu lagi di Banda Aceh menyusul istriku yang masih kuliah di Banda, Bang.” Aku tertawa.

Dani hanya tersenyum seperti tak percaya. Membuka hape pintarnya. Dengan dua kali sentuhan jari, blog saya terbuka. Sepertinya ia telah menyimpan blog saya di bookmark-nya.

“Nama blog-nya Usman Blangjruen,” katanya setelah blog itu terbuka.

“Iya, itu, kan, nama saya. Usman. Blangjruen itu kampung saya.”

Akhirnya kami sama-sama tertawa. Entah karena lucu ataukah senang. Tak jelas.

“Aku tertarik dengan tulisanmu tentang minyak angin,” ujarnya, “sebelum berangkat ke sini saya sempat bingung perihal obat-obatan di Taiwan. Setelah mencari dengan kata kunci ‘orang Aceh mencari obat di Taiwan’, saya dapat blog ini.”

Sepertinya, minyak angin menjadi kebutuhan kedua orang Aceh setelah minyak goreng. Saya sendiri bisa sakau tanpa minyak angin. Bingung.

Soal pengunjung blog saya, aku tak heran sama sekali akan sebab mereka tersasar ke blog saya. Karena justru kalimat-kalimat sederhana dan dengan topik yang sederhana telah banyak membantu orang.

Hal-hal kecil ternyata lebih berguna bagi orang-orang yang belum pernah sama sekali ke Taiwan. Tentang minyak angin, obat nyamuk, obat sakit kepala, obat seriawan, justru “lebih berguna” ketimbang tulisan bertopik tinggi-tinggi. Aku membayangkan diriku sendiri dulu, betapa sulitnya mencari informasi hal-hal kecil di Taiwan.

Menelusuri internet justru berakhir pada website yang berkarakter Mandarin, yang tak berarti apa-apa selain penampakan corat-coret yang tak bisa diketahui artinya, apalagi maknanya.

Namun, rata-rata hal-hal kecil yang pernah kualami di Taiwan sudah kutuangkan di blog. Dan, ternyata banyak membantu mereka-mereka yang baru mau berangkat ke Taiwan.

Banyak di antara mereka yang menghubungi saya melalui fesbuk setelah membaca blog. Tetapi Dani tak ikut menghubungi. Mungkin alasannya adalah, pertama tulisan saya sudah jelas baginya. Kedua, ia tak menggunakan fesbuk. Sekat saya dengan pembaca blog menjadi sangat lebar jika ia tak ber-fesbuk. Aku sangat aktif di fesbuk, tetapi sangat pasif di media social lainnya.

2 comments:

  1. Assalamualaikum!!!
    Cepat sekali bang update nya? Hehehe...
    Senang berkenalan dengan abang..
    Keep blogging ya bang! :)

    ReplyDelete