Friday, May 27, 2016

Siksa Kebodohan

Sebuah pesan bersarang ke kotak masuk fesbukku, dari kemenakanku di Banda Aceh, isinya, “Cek Man, pendaftarannya sudah ditutup. Semenjak 21 Mei.”

Deg…! Aku berhenti menyantap nasi yang berlaukkan nila goreng, berkuah rendang, yang baru saja terhidang di depanku, di restoran halal Indonesia masjid Kaohsiung.

Bagaimana bisa ditutup sedari 21 Mei? Sementara pada tanggal itu pendaftaran saja belum dibuka. Belum salameleekum, kok langsung billahi taufik wal hidayah. Ini ada yang salah.

Jadwal tes potensi akademik (TKDA) dan tes kemampuan bahasa Inggris (TOEP) untuk sertifikasi dosen di Universitas Malikussaleh baru dikeluarkan kemarin, 26 Mei. Dan aku termasuk pendaftar terawal. Namun, ketika kemenakanku kuminta tolong untuk membayar biaya tesnya di bank, malah teller bilang pendaftaran sudah ditutup.

Aku berhenti makan. Menuju ke pojok restoran. Tangan masih berlumuran kuah rendang. Dengan sigap aku menelepon kemenakanku, “Bagaimana ceritanya pendaftaran ditutup sebelum dibuka!” bentakku, “sekarang kamu kembali lagi ke bank. Sampai di depan teller nanti, kalau dia masih bilang sudah ditutup, miskol saya, biar saya telepon dan bicara dengan dia.”

Kemanakanku yang tahu bagaimana pamannya langsung manut saja, “Iya, Cek Man, sekarang juga aku balik ke bank.”

Lima menit kemudian hapeku berbunyi. Miskol. Aku menelepon balik.

Di ujung telepon sana, kemenakanku, dengan berbisik, bilang, “Sudah bisa, Cek Man. Sudah bisa.”

“Mana teller-nya”

Hape diberikan ke teller. Namun, belum saja aku sempat bicara, teller langsung menyambar, “Bapak Usman, Bayar untuk dua tes, ya. TKDA dan TOEP. Masing-masing 300 ribu Rupiah. Totalnya 600 ribu Rupiah. Kita proses sekarang. Terima kasih.”

Suara teller hilang. Beralih ke suara gemuruh aktivitas perbankan. Tak ada yang memedulikan “halo-halo” saya. Hape sudah diletakkan sendiri di meja. Transaksi berlanjut seperti tak ada kejadian apa-apa. Tak ada kata maaf pun yang keluar dari mulut teller itu.

Padahal informasi salah yang telah diberikan tadi sudah sukses merenggut selera makan siangku hari ini. Belum lagi secara ekonomi, yang membuat saya rugi. Aku harus menelepon dua kali dari luar negeri untuk membahas masalah yang seharusnya tak perlu terjadi itu.

***

Kebingungan karena ulah teller tak berbakat bukan kali ini saja menimpa saya. Setahun yang lalu, Taiwan Business Bank geger ketika saya ujuk-ujuk datang meminta nomor IBAN* kepada mereka.

“Bu, bank di Indonesia butuh nomor IBAN,” kataku, “kalau tidak, maka beasiswa saya tidak bisa dikirim.”

Aku begitu bingung hari itu. Betapa tidak, dari seluruh Indonesia, beasiswa saya paling telat cair sendiri. Tepat pada hari mau dikirim oleh kampus, teller bank bilang, “butuh nomor IBAN, bukan hanya swiftcode.” Alhasil, beasiswa saya gagal dikirim hari itu.

Mendengar informasi itu, panik langsung menyergapku. Rekeningku sudah kering kerontang. Uang kuliah belum kubayar. Padahal sudah mau tengah semester. Malu sebagai bangsa yang merdeka.

Awak bank Taiwan bingung menanggapi permintaanku, berujar “Tapi kami selalu pakai swiftcode untuk pengiriman luar negeri. Kami tak mengenal… apa itu tadi?”

“IBAN!” sergahku

“Iya, itu. Kami tak pakai itu”

Aku mutar-mutar di depannya. Bingung. Berdecak jengkel. Mengepal kedua tangan di depan dada kemudian menghempaskannya ke bawah (seperti gaya-gaya di sinetron itu).

Awak bank menarik napas. Dalam. Panjang. Merengkuh gagang teleponnya. Menelepon kantor pusatnya di Taipei, ibukota Taiwan.

Tak lama dia telah larut dalam perbincangan dengan koleganya di ujung telepon sana. Serius. Sesekali matanya menatap ke arahku. Saya tersenyum. Tak dibalasnya. “Biarin! Bukankah orang Taiwan biasanya memang sulit senyum? Jadi, bukan maksudnya ia membenciku.” Aku menghibur diri.

Telepon ditutup, ia menatap ke arahku, “Begini, perbankan Taiwan tidak mempunyai IBAN. IBAN kami, ya, swiftcode. Kata kolegaku, IBAN itu biasanya dipakai di Eropa. Di Taiwan kami memakai swiftcode.”

Mungkin secara tersirat, ibu itu bilang ke saya, “Kalau mau mengirim uang ke Taiwan, maka pakai swiftcode. Kalau mau pakai IBAN, kirim saja ke Eropa sana!” Kira-kira semacam itulah makna yang kutangkap.

Aku pasrah. Berarti kesalahan ada pada teller di bank Indonesia sana. Karena kurang pergaulan perbankan internasional, akhirnya aku yang jadi korban. Baik secara pikiran maupun uang, karena beberapa kali aku harus menelepon ke Aceh untuk menjelaskan hal itu ke pihak kampus. Tahulah, wahai Kawan, berapa biaya telepon ke luar negeri di siang bolong pada jam sibuk seperti itu. Mehong….!

Dan itu semua karena ke-kurangpergaul-annya teller bank di negeriku tercinta, Indonesia.

Maka, aku tadi sempat mengeluarkan ungkapan: “Kebodohanmu menyiksamu itu sebuah keniscayaan. Tetapi jangan sampai orang lain tersiksa karena kebodohanmu”

Itu...!
______________________________
*IBAN adalah singkatan dari International Bank Account Number. Semacam nomor identitas bank yang digunakan pada saat proses pengiriman uang antarnegara. IBAN ini biasanya digunakan di bank Eropa. Sementara swiftcode sebenarnya sama saja, walaupun dengan sistem penomoran yang berbeda, yaitu berupa deretan nomor yang berfungsi sebagai identitas sebuah bank.

*Mehong adalah bahasa slang untuk kata "mahal."

No comments:

Post a Comment