Wednesday, May 4, 2016

Tersasar Ke Warung India Halal Di Kaohsiung, Taiwan Selatan

Berawal dari masalah. Yaitu judul buku yang tampil di sistem perpustakaan umum Kaohsiung, berbeda dengan judul buku yang kupinjam. Aku sebenarnya meminjam novel Supernova karya Dewi Lestari, tapi yang muncul di akun perpustakaanku bahwa aku meminjam buku yang berjudul Clockwork Prince yang ditulis oleh Cassandra Clare. Walhasil, saya harus mengklarifikasinya ke perpustakaan.

Seharusnya aku tak perlu datang karena proses perpanjangan buku bisa dilakukan dalam jaringan (daring). Sementara ini, judul buku yang salah. Tentu tidak ada akses bagiku untuk mengubahnya

Pukul 11 pagi kemarin, 3 Mei 2016, aku meluncur ke perpustakaan. Belum makan pagi, apalagi makan siang. Berniat sekalian ingin menyantap bebek goreng di warung Indonesia Al Alam, yang kebetulan tepat berada di depan perpustakaan umum Kaohsiung, di jalan Xingung, tak jauh dari station MRT Sundou.

Betapa bersemangatnya diriku berangkat ke sana dengan perut kosong yang kuhibur dengan bakal kuisi bebek goreng racikan Al Alam, yang rasanya membikin lupa mertua itu. Sedari dalam MRT (kereta bawah tanah) sampai berjalan kaki dari stasiun Sunduo ke warung, perutku meraung dengan tingkahan suara kecipak air dalam botol minuman yang selalu kubawa ke mana pun aku pergi.

Namun, semangat itu meluruh tak tersisa setelah aku berada di depan Al Alam. Warung masih tutup. Tak ada informasi bagiku sebelumnya kapan warung ini dibuka dan ditutup. Perut lapar. Capek. Matahari bersinar cerah. Panas memanggang bebangunan tinggi di sekitar jalan Xingung.

Sekejap mataku mengarah ke minimarket 7Eleven yang berada di sampingnya. Tak selera. Sejurus kemudian pikiranku langsung teringat akan ucapanku beberapa waktu lalu, ketika melihat ada warung halal India yang tak berapa jauh dari Al Alam, “Suatu saat nanti aku harus mencoba masakan India ini.” Aku menunjuk ke arah baliho yang terpasang memenuhi lebar atas pintu warung India itu. Judul warung itu adalah “Himalaya Kitchen Indian Food”. Logo Halal yang tertempel di dinding ruang makan, terlihat sempurna dari luar karena pintu seluruhnya terbuat dari kaca.

Kemarin adalah waktu yang tepat untuk memenuhi cita-citaku itu, Aku masuk ke warung itu. Seorang pelayan (atau mungkin saja istri yang punya warung) langsung menghambur menyamperiku. Senyuman percaya diri merekah dari bibirnya yang menghiasi wajah orientalnya. Dengan Bahasa Inggris yang tak tertahan, dia menyapaku layaknya pelayan warung profesional.

“Selamat datang. Silakan duduk. Anda mau pesan apa? Ini menunya.” Dia menunjuk ke arah daftar menu yang tertulis di dua sudut ruangan ini. Satu seukuran brosur yang ditempel di dinting sebelah barat, dan satunya lagi sebelah timur ada menu ditulis di atas kertas seperti kardus, yang sepertinya sengaja diremas-remas dulu untuk kemudian baru dipakai untuk menulis. Efek kerutan kertas memang memberi kesan eksotik. Daftar menu ini diberi kaki dan kemudian didirikan di sebelah timur pintu.

Ada beberapa foto menu yang sudah jadi, ikut memenuhi dinding di sebelah timur dan barat. Fotokopi sertifikat Halal yang ditandatangani oleh Imam Besar Masjid Kaohsiung ikut dilekatkan di sana.

Aku memilih “Indian chicken fried rice – nasi goreng ayam India.” Harganya 160 NTD, sekitar 65 ribu Rupiah. Ini adalah makanan termahal yang saya makan dalam setahun terakhir. Mungkin karena wajah kecutku terbaca oleh pelayan, dia langsung menghiburku dengan aneka pelayanan yang katanya gratis.

“Dalam 160 NTD ini, sudah termasuk satu gelas teh susu India,” jelasnya.

Aku tersenyum tanpa komentar apa-apa. Dalam hatiku berkata, ”Ia belum tahu, aku ini tak pernah minum air apa pun saat sedang makan.”

Aku tak terhibur sama sekali dengan teh susu itu. Aku hanya tersenyum datar. Sebenarnya saya mau bilang, apakah bisa teh susu itu ditiadakan saja, dan harganya bisa diturunkan. Tapi urung kuucapkan. Di daftar menu tertulis jelas, “Untuk setiap makanan yang dipesan, gratis segelas teh susu.”

“Masak barang gratis bisa mempengaruhi harga.” Aku berdebat sendiri di dalam hati. Padahal di bawahnya, dibawah hatiku, perutku sedari tadi meraung keras. Rasa lapar sudah tak bisa diajak kompromi lagi.

“Kamu butuh air putih?” ujar pelayan memotong lamunanku.

Aku mengangguk

Sebuah gelas kecil diambilnya. Setelah diisi air putih sebening embun pagi, ia menaruhnya di depanku. Sekarang di hadapanku ada dua gelas air: air putih dan teh susu India.

Mohon jangan melucuti kata “India” pada teh susu ini. Karena sangat berbeda dengan teh susu pada kebiasaan. Rasanya sama sekali tak manis. Hanya gurih sebagai rasa khas susu tanpa gula. Sama sekali tak tercandra oleh lidahku akan rasa teh. Justru yang sangat kentara adalah rasa semeriwing jahe.

Aku hanya meminum teh susu dan air putih masing-masing hanya seteguk dan tak menyentuhnya sampai semua urusanku selesai di warung Himalaya ini.

Sekira seperempat jam nasi goreng pesananku sampai. Aku melihat nasi goreng ini lekat-lekat sebelum kuobrak-abrik. Tumpukannya dicetak berupa segiempat. Warnanya tak asing bagiku sebagai orang Aceh. Kuning memerah. Nasi goreng ini diselimuti dengan bumbu pekat tanpa ampun. Bulir nasi begitu lembap oleh kepungan bumbu dari segala penjuru. Sementara waktu tak terlihat ada daging Ayam di sini.

Di atas tumpukan nasi yang dicetak segiempat ini, ditaburi potongan-potongan paprika seujung telunjuk. Ada sekerat bawang bombai kesepian sendiri di samping onggokan nasi. Di pinggir nasi sebelah lain, saus putih menggenangi pinggir piring.

Sendokan pertama menancap di tumpukan nasi itu. Pecah. Terlihatlah potongan-potongan daging ayam seukuran ujung jempol orang dewasa kurus. Suapan pertama masuk ke mulutku. Enak. Gurih. Meskipun terasa agak kurang garam. Saus putih kecut tak kusukai. Tapi kutelan duluan di suapan-suapan awal sampai habis, karena pasti bukan main repotnya menghabiskannya belakangan. Bawang bombai. Aku suka. Tapi hanya seiris. Habis dalam tiga suapan pertama bersama nasi.

Terlihat ada barang unik membaur bersama nasi yang berebut tempat dengan potongan daging ayam. Semacam kacang tanah. Walaupun ukurannya sama, bentuknya tak seperti kacang tanah yang aku kenal selama ini. Ini agak pendek dan sedikit bongsor. Sekalipun tak kuhitung, kuyakin jumlah kacang ini sejumlah potongan ayamnya. Karena sampai suapan terakhir, ayam dan kacang itu tetap beradu dengan gigi-gigiku.

Sensasi beda terasa ketika dalam nasi goreng ini ada satu-dua biji ketumbar utuh. Tak kuketahui ini disengaja atau hanya ketumbar yang kebetulan tumpah ke penggorengan. Namun, ketika biji ketumbar hancur dihantam gerahamku, rasa khas ketumbar menyebar ke seluruh isi mulutku. Memberi rasa gurih yang muncul secara sporadis karena suapan yang berisi butiran ketumbar juga sporadis, tak selalu.

Sepuluh menit berlalu. Piring bersih. Tandas. Tak sebutir nasi yang tersisa. Aku berdiri. Pelayanan menghampiriku.

“Selesai. Sangat nikmat. Aku suka.” Aku menunjuk ke arah piringku yang bersih dari nasi tapi masih berlumuran bumbu pekat ala Hindustan. Kan, tak mungkin aku menjilat piring itu agar bersih betul. Keterlaluan.

Pelayan tersenyum senang.

“O, terima kasih,” ujarnya dengan mata berbinar-binar.

“Mungkin ke depan saya akan ke sini lagi untuk mencoba jenis hidangan lain.” Aku tersenyum sambil merogoh dompetku.

“Maaf, saya tak bisa menghabiskan teh susunya,” ujarku dengan harapan agar dia mau membungkusnya.

“O, saya bungkus saja. Mau?” ternyata dia menawarkan apa yang kuharapkan.

Jelaslah aku mengangguk dalam-dalam.

Teh susu itu diisi dalam sebuah gelas plastik bertutup dan dimasukkan ke kantong keresek.

Aku keluar warung itu. Menuju perpustakaan. Toko Al Alam masih belum buka. Jam menunjukkan pukul 1 siang.

Aku menenteng keresek teh susu itu menuju ke perpustakaan. Namun, baru saja aku hampir menginjak tangga berjalan. Aku mendengar ada orang yang berseru-seru di belakangku. Aku menoleh ke sumber suara. Satpam. Dia menunjuk ke arah tentenganku dengan ucapan yang tak kumengerti. Tapi aku memahami, dia melarangku untuk membawa naik minuman itu.

Seorang gadis muda yang lancar berbahasa Inggris menolongnya menjelaskan, “Kamu tak bisa bawa air ke atas. Dilarang.” Ia juga barusan kulihat sedang membuang airnya ke tong sampah.

Aku melihat teh susu ini lekat-lekat. Sayang. Tapi mau bagaimana lagi. Terpaksa aku buang. Setelah mengucapkan maaf seribu maaf, aku memasukkannya ke tong sampah.

Aku memang selama ini menganggap seolah makanan menangis ketika aku buang. Makanya aku minta maaf. “Terpaksa, Kawan. Semoga makhluk Tuhan yang lain memanfaatkanmu.”
Penampakan warung dari luar
Daftar menu
Nasi goreng ayam India yang kupesan
Sertifikat halal dari Masjid Besar Kaohsiung

No comments:

Post a Comment