Sekali menjejakkan kaki di Taipei, tentu aku langsung membanding-bandingkan dengan kota Kaohsiung yang tanahnya bagai berperekat sehingga begitu sulit bagiku untuk keluar darinya. Taipei Main Station (Stasiun Utama Taipei) adalah fasilitas umum pertama yang menyambutku di Taipei pada hari keramat bagi negeriku itu, 17 Agustus.
Setelah menyelisik tentang stasiun utama ini, aku baru sadar ternyata yang layak disebut Main Station sebenarnya adalah yang di Taipei ini, yaitu Taipei Main Station. Bagaimana tidak, seluruh transportasi baik jarak jauh seperti bus antarkota, kereta cepat, dan kereta lambat, maupun jarak dekat seperti MRT dan bus kota, semua bersarang di stasiun utama ini.
Begitu aku turun dari armada Ubus (nama bus antarkota yang murah meriah di Taiwan) aku bisa langsung naik transportasi jenis lain tanpa perlu keluar dari bangunan itu. Aku tak bisa melihat langit ketika berganti moda transportasi dari bus ke MRT. Hanya mal-mal di kiri-kanan lorong sebagai fasilitas bagi calon penumpang untuk berbelanja yang memenuhi pandanganku.
Sementara di Kaohsiung, stasiun utama tidak menyatukan seluruh moda transportasi. Semuanya terpisah di gedung yang berbeda, sekalipun memang tak begitu jauh juga. Seperti MRT dengan stasiun kereta api hanya berada di sampingnya. Untuk mencapai stasiun bus antarkota, kita harus berjalan keluar sekitar 50 sampai 200 meter. Sementara stasiun bus kota ada di depan stasiun kereta. Dan, yang paling jauh adalah stasiun kereta cepat (high speed rail/HSR), kita harus naik bus lagi dari stasiun utama hampir setengah jam menuju stasiun HSR di Zouying.
Sementara stasiun utama Taipei, tak ubahnya seperti sarang bagi semua transportasi. Jika kita sudah masuk ke dalamnya, kita sudah siap merambah ke seluruh punggung kota Taipei tanpa perlu berlama-lama membakar kulit di musim panas dan kedinginan di musim dingin, karena kita tak perlu keluar kemana-mana lagi selain di stasiun dan di stasiun lagi sampai kita tiba di tempat tujuan, baru keluar.
Saya bilang demikian karena, MRT di Taipei seolah-olah mencakar-cakar permukaan kota. Dan hasil cakaran itulah menjadi jalur-jalur MRT yang mengular-ngular ke seluk-seluk kota Taipei dengan lima jalur yang saling bersilangan. Sehingga hampir semua tempat penting di ibukota Taiwan ini dilalui jalur MRT.
Jika kita ingin pergi ke kantor KDEI (sebut saja kantor kedutaan Indonesia) hanya butuh waktu beberapa menit saja untuk berjalan kaki dari stasiun Xihu, stasiun MRT terdekat. Sementara bangunan penting dan tempat bersejarah di Taipei malah tak perlu berjalan kaki. Gedung Taipei 101, misalnya, yang tinggi dan indanya aduhai itu, bangunannya malah menyatu dengan stasiun MRT. Nama Stasiunnya juga sesuai dengan nama tempat itu, stasiun Taipei 101.
Dan lagi, Chiang Kai-Shek Momorial Hall, sebuah bangunan indah berarsitektur khas Tiongkok untuk mengenang Bapaknya orang Taiwan (semacam Soekarno di Indonesia) juga menyatu dengan stasiun MRT, tak perlu jalan kaki lagi untuk mencapainya apalagi naik taksi. Keluar dari stasiun MRT kita sudah langsung bisa melihat gedung indah dan megah itu.
Memang, transportasi kota Taipei ini telah dirancang agar ramah pengunjung. Dan sayangnya tak ramah tukang taksi. Taksi hampir tak laku karena semua tempat penting sudah ada transportasinya. Dan tentu juga ongkosnya murah sekali. Biaya MRT paling mahal dalam perjalananku kemarin adalah 16 NTD dengan rute sekitar Taipei Main Stasiun, stasiun Xihu, stasiun Chiang Kai-Shek Memorial Hall, dan Taipei 101.
Bukan hanya itu, ternyata MRT di Taipei lebih variatif jenisnya ketimbang MRT di Kaohsiung. Jika di Kaohsiung hanya ada satu jenis MRT, yaitu MRT beban berat dengan enam gerbong, maka di Taipei ada dua: ada MRT beban sedang di samping MRT beban berat. Ia terdiri dari empat gerbong dengan roda karet seperti ban mobil. Relnya juga seperti dua jalan setapak yang sedikit lebih lebar dari bannya. Antara gerbong tak dibekali pintu penghubung, sehingga kita tidak bisa berjalan melintasi gerbong kecuali di stasiun.
Nah, ini saatnya anekdot orang Aceh tentang memompa ban kereta api, yang katanya pekerjaan sia-sia, tidak berlaku lagi. Ini karena tak selamanya ban kereta api itu berbahan besi yang tak perlu dipompa. Tapi ada juga yang terbuat dari karet.
Orang Aceh sering berkelakar soal ini. Misalnya, menawarkan pekerjaan untuk seorang pengangguran. Kerjanya apa? Memompa ban kereta api! Dan biasanya kelakar itu disudahi dengan tawa khalayak dan serapah si penganggur yang merasa dijahili.
Menariknya lagi, MRT mini ini sebagian besar lintasannya berada di atas tanah, melayang di atas jalan-jalan umum yang terlihat di bawah sana. Ia bergerak menyusuri kota di pinggir pinggang bangunan tinggi. Jika aku berdiri dengan pandangan lurus ke depan dan melihat kiri-kanan ada bangunan tinggi, fantasiku tumbuh seolah-olah aku bagai Spiderman yang melayang-ayun di seluk-seluk antar bangunan pencakar langit kota dengan bantuan serabut laba-laba. Indah!
Namun, ada yang menakutkan juga, ternyata MRT beban sedang ini tidak ada masinisnya! Rentetan empat gerbong itu berjalan sendiri menyusuri relnya yang melayang di udara. Ia dikendalikan jarak jauh dari kantor pusat sistemnya. Saya sempat berpikir, bagaimana kalau ada penumpang yang terjepit, ban pecah, kebakaran. Siapa yang akan membantu penumpang untuk mengevakuasi diri? Tidak ada! Terus bagaimana kalau sistemnya eror dan kereta lari sekuat tenaga bagai banteng gila? Duh, pikiranku kadang terlalu jauh dan menakutkan.
Pagi 17 Agustus di Taipei Main Station |
Stasiun MRT Taipei Main Station |
Lokasi untuk naik ke MRT |
Rel MRT beban sedang |
Kondisi dalam MRT beban sedang |
No comments:
Post a Comment