Awalnya aku berpikir bahwa upacara akan dilaksanakan di luar gedung, walaupun saya tak mengharapkan juga akan ada lapangan besar dan luas sebagaimana lapangan upacara di kampungku, Blangjruen. Tapi setidaknya, tempatnya cukup untuk mengibarkan bendera dan berdiri beberapa puluh peserta upacara saja. Namun, kenyataannya upacara bendera dilaksanakan di dalam gedung kedutaan.
Aku dan beberapa teman tiba di area kantor kedutaan sekitar pukul 8 pagi. Kami tidak masuk dulu, karena ingin mencari sarapan kecil-kecilan dulu di minimarket 7Eleven yang berada di sebelahnya.
Seorang staf kedutaan muncul dan masuk ke minimarket yang sama, dan dengan tujuan yang sama pula, yaitu mencari sarapan. Kami sudah saling kenal sebelumnya karena beliau sudah beberapa kali datang ke Kaohsiung untuk menghadiri perhelatan yang diadakan oleh pemerintah Taiwan di Kaohsiung, tempat dimana aku menetap.
Setelah bersalaman dan saling melemparkan senyum yang meluap-luap dari bibir kami, kemudian kami diajak naik ke atas, karena kantor kedutaan ada di lantai enam dari gedung tinggi bertingkat banyak itu.
Aku mengikutinya. Dalam perjalanan naik lift sudah terasa sekali nuansa Indonesia-nya. Beberapa orang dengan pakaian rapi berjas dan berdasi berseliweran dengan sapaan khas Indonesia. Aku melihat pakaianku sendiri. Cuma aku yang terbalut pakaian tak resmi. Hanya bercelana jin, sepatu kets, dan berkemeja lengan pendek.
Namun, sampai di atas aku sedikit lega, karena banyak rekan-rekan pekerja baik perempuan maupun laki-laki berpakaian santai tapi tetap sopan. Kalau tadi aku bagai anak bebek yang diasuh oleh ibu ayam, merasa ganjil walaupun disayang, tapi setelah sampai di atas, aku merasa di asuh oleh ibuku sendiri. Tak merasa ada keganjilan sedikit pun.
Setelah mengisi daftar hadir, pandanganku menyapu ke seluruh ruang kedutaan itu. Tak banyak barang yang ada, hanya ada satu rak berisi beberapa pakaian tradisional Indonesia. Aku tak tahu bagaimana wujud kantor ini pada hari-hari biasa, karena aku yakin ruangan ini pasti sudah ditata ulang agar lebih luas untuk menampung banyak orang pada hari ini.
"Upacara benderanya di sini, Pak?" tanyaku pada salah satu pejabat kedutaan.
"Iya di sini," jawabnya. Matanya berseliweran kemana-mana melihat apa saja yang belum beres di ruangan ini.
"Acara pengibaran benderanya nanti ga ada ya, Pak?" tanyaku penasaran, karena sungguh tak mungkin memasang tiang bendera di dalam ruangan yang hanya setinggi empat meter ini.
"Itu, benderanya sudah naik," jawabnya seraya tersenyum dan menunjuk ke arah bendera yang sudah terpasang di tiang pendek yang ujungnya hampir menyentuh loteng.
"O, kenapa ga cari lapangan di luar, Pak," tanyaku lagi. Berlagak tahu betul seluk-beluk urusan cari-mencari lapangan di Taipei ini.
"Sulit. Nanti, kan, kalau di luar perlu mobilitas lagi," jawabnya singkat.
Aku pikir iya juga, sih. Apalagi ini lagi musim panas, di mana cuaca di luar sana siap memanggang kulitku yang memang sudah hitam begini menjadi tambah legam lagi. Sedangkan di dalam ruangan sini, udara dingin AC berdesir-desir menghembuskan kesejukan ke setiap tubuh peserta upacara.
Pukul 9 waktu setempat upacara dimulai. Pemimpin peserta upacara menyiapkan seluruh peserta upacara. Peserta upacara dibagi dalam lima kelompok: Pertama, para undangan, dimana kami dan diaspora termasuk di dalamnya. Kedua, staf lokal yang dipekerjakan pada kantor kedutaan ini. Ketiga, pasukan paduan suara. Keempat, staf kedutaan. Dan kelima, Ibu-ibu darma wanita di lingkungan kedutaan. Kami berbaris membentuk huruf "u" yang terbuka ke arah inspektur upacara dan bendera merah putih yang telah terpasang.
Sesaat suasana hening. Pasukan sudah siap untuk mengikuti upacara. Sejurus kemudian komandan upacara memasuki lapangan upacara. Aku melihatnya lamat-lamat di setiap langkah tegapnya dengan pupil mata berakomodasi penuh. Ternyata komandan upacara adalah perempuan, berbadan gempal dan sintal dengan suaranya yang menggelegar.
"Pasukan saya ambil alih!" bentaknya. Pemimpin kami yang tadi, kembali ke barisan bersama-sama kami.
Setelah itu upacara pun berlangsung seperti layaknya upacara pada kebiasaan. Sampai pada saat jatah pengibaran bendera, di situ ada kejanggalan. Lagu Indonesia Raya dengan iringan organ tunggal mengalun syahdu keluar dari sela-sela bibir pasukan paduan suara. Kami menghormat bendera yang sudah terpasang di depan kami itu. Bendera itu terlihat tenang tak bergerak apalagi berkibar, karena tak ada angin yang mengibarkannya meliuk-liuk di udara sambil berkelepak, sebagaimana di lapangan terbuka sana.
Dalam keheningannya, kami menghormatinya dengan iringan lagu kebangsaan. Aku terlarut. Pikiranku melayang ke seberang sana, ke negeriku tercinta Indonesia. Tak terasa mataku berkaca-kaca. Serius! Aku terharu! Baru kali ini aku menangis ketika menghormati bendera merah putih. Menguatkan kata orang-orang, bahwa rasa nasionalisme kita menjadi kuat apabila kita sudah berada jauh di luar garis batas negeri.
Aku cepat-cepat menyeka pinggir mataku. Tak mau keharuanku diketahui orang di sampingku saat itu, walaupun sekarang aku harus bercerita apa yang kurasakan.
Rentetan upacara berlangsung hening penuh khidmat sampai doa penutup dibacakan. Dan pasukan diistirahatkan untuk mendengarkan beberapa lagu daerah dan lagu wajib Indonesia. Kemudian ketua kantor kedutaan memberikan kata sambutan singkatnya. Setelah itu peserta upacara dibubarkan.
Acara santai berupa karaoke dan makan siang adalah agenda selanjutnya. Aku memilih makan saja daripada berebut mic untuk berkaraoke. Aku sudah lapar juga. Lagipula, dari sekian banyak lagu yang dibawakan dengan segala kefalesannya, tak ada satu pun lagu dangdut yang dinyanyikan. Aku berpikir, sepertinya ini bukan acara karaoke saya.
Aku melirik ke arah meja di mana kota-kotak nasi tersusun. Namun, meja itu masih sepi. Padahal, pembawa acara sudah dari tadi mempersilakan tamu untuk segera mencicipi makanan. Tapi tak seorang pun mau mendekat ke sana. Ok! Mungkin mereka butuh perintis yang akan mengambil nasi itu pertama dan nanti mereka ikut. Aku bersigap berkorban untuk mereka. Semangat 45-ku muncul lebih garang jika dalam hal makan.
Aku mendekati meja itu. Langkahku terlintangi oleh seorang bapak, dan aku bertanya, "Sudah bisa ambil, Pak?"
"Nanti dulu," jawab bapak itu singkat. Otot betisku melemah. Menggaruk kumisku yang tak gatal dan balik ke tempat semula.
Aku menunggu lagi sambil berpura-pura mengobrol untuk menghibur perutku yang dari tadi berontak. Seorang bapak lain yang tadi sudah mengobrol denganku dan aku sudah memperkenalkan diri kepadanya, lewat di depanku dengan menumpahkan senyum ramahnya kepadaku.
Aku pun mengikuti langkahnya sambil bilang, "Pak, sudah bisa ambil ga nasinya? Dah lapar ini." Tawaku berderai keluar karena kami sudah akrab dari tadi. Apalagi kita sama-sama orang Sumatra.
"Loh, sudah bisa. Mari ikut saya. Makan!" jawabnya tegas sambil menggamit tanganku menarik mengikuti langkahnya. Maka kami pun mendekati meja itu untuk mengambil nasi. Atikiwir! Kulihat di belakangku, berduyun-duyunlah pengikut kami setelah kami mulai mengambil kotak nasi yang padat berisi itu!
Mau tahu isinya? Nasi kuning! Lauknya ayam goreng, telor rebus sambal, rendang, risol, sate ayam, dan sambal goreng tahu. Sesak memenuhi kotak nasi berbahan kertas dan kayu itu.
Aku duduk lesehan di lantai kantor kedutaan yang berlapiskan karpet berbulu dengan beberapa kawan lain yang berani cepat mengakui rasa laparnya. Di depan sana, beberapa orang sibuk bernyanyi ria menghibur kami. Dan kami menghibur perut kami. Tak lama kemudian, semua nasi dan lauk itu berhasil kutandaskan. Tak tersisa.
Bagiku perhelatan 17 Agustus sudah selesai setelah bulir terakhir dari nasi kotak itu habis. Kemudian aku melanjutkan dengan salat Zhuhur di musala kedutaan yang masih di lantai yang sama. Setelah salat, mataku meredup. Tas ranselku yang penuh sesak itu kutaruh di bawah kepalaku seiring badanku merebah di pojok musala. Di luar sana ributnya minta ampun dengan suara tetabuhan alat musik khas Nusantara. Namun, aku tak peduli lagi apa yang mereka lakukan. Perlahan suara gemuruh itu menyaru. Mataku melayuh. Terpejam. Hilang...
Peserta upacara telah disiapkan |
Peserta upacara |
Paduan suara dan staf kedutaan |
Ibu darma wanita dan pemain organ |
Pembacaan puisi oleh Pak Agung |
Inspektur upacara |
Pasukan permakanan. Sumber foto: Facebook |
Aku dan ketua kantor kedutaan. Sumber foto: Facebook |
No comments:
Post a Comment