Dulu, jika ada acara tahlilan orang meninggal selama tujuh hari tujuh malam, ketika tamu datang ke rumah duka, maka sajian pertama yang disodorkan adalah cerana-cerana yang berisi daun sirih, pinang, dan apu. Begitu juga di acara-acara adat lainnya, cerana sirih selalu menjadi hidangan awal sebelum hidangan utama datang.
Dulu, waktu aku masih kecil, kadang aku juga ikut mengunyahnya mengikuti tingkah orang-orang dewasa di selingkunganku. Yang kadang bukan enak yang kudapat, tapi malah belingsatan karena kupingku panas disebab kelebihan memakai apu. Dan tak jarang pula aku mabuk dibuatnya karena secara tak sengaja mengambil pinang mabuk.
Sama halnya seperti rokok, makan sirih juga menyebabkan kecanduan. Sungguh sulit melepaskan diri darinya. Malah, ada orang yang sengaja mencari pinang mabuk agar rasanya tambah nendang, katanya. Maka ada ungkapan terkenal dalam masyarakat Aceh untuk menggambarkan kelezatan maksimal, "Lemak mabuk." Rasa lemak saja padahal sudah nikmat, ditambah ada rasa mabuk, tambah nendang!
Tapi sayangnya, selemak-mabuk apapun itu, bagiku makan sirih belum bisa kutemui kelezatan padanya. Kalau kata orang Aceh, "Goloem meupat mangat - belum tahu dimana letak enaknya." Sehingga aku pun tak menyantapnya.
Lagipula, sekarang fenomena makan sirih itu sudah tak membudaya lagi seperti dulu. Hanya segelintir orang saja yang masih mengunyah sirih yang menyisakan cairan merah darah di bibir-bibir mereka. Di pasar Blangjruen pun tak banyak lagi orang yang menjual sirih. Setahuku cuma ada di satu tempat saja. Itu pun kadang sirihnya tak segar lagi karena saking kurang lakunya.
Namun, ketika aku menjejakkan kaki di Taiwan, sungguh kaget aku dibuatnya. Di negara yang sudah sedemikian majunya, ternyata orang Taiwan masih sangat doyan makan sirih! Supir taksi, pekerja, buruh, duh, banyak mulut-mulut mereka tersumpal kunyahan sirih bercampur pinang yang sudah memerah darah itu.
Tapi, cara orang Taiwan makan sirih sungguh beda modelnya dengan yang kita lakukan di Aceh. Kalau di Aceh kita memakan sirih dengan daging pinang masak serta sedikit cecahan apu. Di Taiwan ini ternyata yang dimakan adalah jerkat, dan dikunyah dengan kulit-kulitnya sekalian!
Cara mereka mengemasnya juga unik: jerkat yang ukuran rata-ratanya segede jempol itu digelungi selembar sirih yang sudah dicocolkan dengan sedikit apu, kemudian langsung dikunyah tanpa perlu cek dan ricek lagi. Jika telah habis terperas, tersisalah ampas yang siap diludahkan ke luar. Terkadang diludahkan saja di sembarang tempat, sebagai mana airnya yang bagai darah itu juga sering kali aku temukan di jalan-jalan. Terlebih-lebih di terminal bus.
Di sekitar kampusku, sangat mudah menemukan toko-toko sirih. Di tempat lain katanya, rata-rata penjualnya adalah cewek-cewek cantik dengan pakaian alakadarnya. Yang kadang mengakibatkan Anda harus menyerapahi celana Anda sendiri yang tiba-tiba menyarat. Parah!
Untuk menarik perhatian pembeli, ada tanda khusus yang sering dipasang di depan toko sirih di Taiwan ini, yaitu sebuah lampu berbentuk kipas tangan dari hasil susunan beberapa neon batangan seperti lampu tangan polisi lalu lintas, kemudian dinyalakan dengan permainan variasi kelap-kelip. Jika Anda menemukan lampu semacam ini, yakinlah itu adalah toko sirih.
************
Notabene:
1. Cerana adalah tempat sirih yang bentuknya seperti dulang berkaki (dibuat dari kuningan, perak, dan sebagainya)
2. Apu adalah kapur yang sudah diendapkan untuk ramuan makan sirih (dicampur dengan gambir, kapulaga, cengkih, dan sebagainya)
3. Jerkat adalah buah pinang yang masih muda (dimakan dengan sirih)
1. Cerana adalah tempat sirih yang bentuknya seperti dulang berkaki (dibuat dari kuningan, perak, dan sebagainya)
2. Apu adalah kapur yang sudah diendapkan untuk ramuan makan sirih (dicampur dengan gambir, kapulaga, cengkih, dan sebagainya)
3. Jerkat adalah buah pinang yang masih muda (dimakan dengan sirih)
Pembungkusan sirih di Taiwan. Sumber foto: Internet |
Lihat lampu yang berbentuk kipas tangan di tengah bidang foto ini. Berarti di situ adalah toko sirih. |
No comments:
Post a Comment