Wednesday, August 31, 2016

Jam Tangan Digital Itu

Awalnya aku melihat jam tangan itu di pergelangan temanku yang umurnya kuduga lebih tua daripada aku. Di tangannya, jam itu pas dan cocok, sesuai umur. Aku berkesimpulan, jam itu juga cocok menggelungi tanganku, sesuai dengan usiaku juga.

"Pak, aku suka jam tanganmu," ujarku sambil melihat jam tangan digitalnya lekat-lekat.

Dia juga melihat jam tangannya itu sembari mengelus-elus dengan tangan kanannya agar kacanya lebih mengkilat dan bersih lagi.

"Simpel, ya, bentuknya. Ga ribet," sahutnya.

"Iya. Beli dimana, Pak?" tanyaku bersemangat. Sebenarnya aku juga mau menanyakan harga, karena ini penting juga bagi saya. Tapi kuurungkan membahas harga pada hari itu.

"Sekitar stasiun Kaohsiung," jawabnya. Mata kami berpindah ke depan menatap imam masjid dengan khotbahnya yang berapi-api.

Percakapan kami itu berlangsung di Masjid Kaohsiung hari Jumat pas imam sedang memberi nasihatnya dengan bahasa Mandarin yang tak kupahami.

Percakapan tentang jam tangan hanya berhenti sampai di situ. Dan setelah itu pun aku melupakan saja niat untuk membelinya. Walaupun dalam benakku masih saja jam tangan itu melayang-layang membujukku untuk menggapainya.

Setahun berlalu begitu cepat, semester demi semester berganti. Banyak kegiatan yang membuat aku melupakan jam idolaku itu. Jam itu sirna dalam ingatanku. Entah apa sebabnya.

Istimewa pula, lama juga aku tak bertemu dengan temanku yang di tangannya jam tangan itu selalu menempel. Kadang aku melihatnya di masjid, tapi kami mengambil tempat yang berbeda. Ia lebih suka mengambil tempat dekat dinding sebelah selatan, sementara aku di sebelah utara.

Sampai suatu hari, yang juga hari Jumat, di restoran halal mesjid Kaohsiung, kami mengobrol panjang lebar perkara apa saja yang terlintas di kepala kami. Tangan kami tak jarang melayang-layang di udara untuk memperbesar pengaruh komunikasi kami.

Salah satu teman mengobrol kami adalah perempuan, ia duduk tepat di depanku. Ia juga tak kalah semangatnya menyambung cerita apa saja yang terlempar dari mulut-mulut kami. Tangannya juga tak kalah lincah mengibas-ngibas di udara yang sekelebat melintangi mata kami yang bersitatap. Pikiranku buyar, pecah, melenceng dari materi pembicaraannya manakala aku melihat jam tangannya.

Mataku berulang kali menatap jam tangan itu. Menoleh kemana saja tangan membawanya bergerak. Setelah menyelisik modelnya dengan saksama, akhirnya aku jatuh cinta pada jam tangan itu. Tapi aku tak langsung mengakuinya karena kami harus segera membubarkan diri sebab acara jumatan sudah dimulai. Kami semua bergegas naik ke lantai dua mesjid untuk salat Jumat.

Malamnya, rasa penasaranku meningkat. Ingin segera menanyakan jam tangan itu kepadanya. Saya mengirim pesan, "Mbak. aku lihat jam kamu tadi di masjid. Kayaknya aku tertarik. Beli dimana ya? Dan berapa?"

Dengan derai tawanya ia menjawab bahwa jam tangan itu adalah kepunyaan temannya yang ia pakai sebentar, yang juga temanku yang setahun lalu kutanyai jamnya di masjid. Dan, ia juga tahu kalau aku sudah pernah menanyakan perihal jam tangan ini dulu.

"Makanya, kayaknya aku pernah lihat jam itu, Tapi aku sudah lupa di mana," jawabku sembari juga tertawa.

"Iya, dulu kamu sudah menanyakan tentang jam yang sama ke dia."

"Iya, benar. Pas aku melihatnya lagi, aku suka lagi. Padahal kemarin sudah lupa."

Percakapan kami berlanjut sehingga aku mendapatkan informasi darinya nama toko di mana aku bisa membelinya. Ia juga mengirimkan gambar model terbaru dari jam tangan itu, yang agak sedikit berubah dari bentuk lamanya yang kusukai itu. Aku melihat model terbarunya, aku masih suka juga.

Keesokan harinya aku bergegas ke toko tersebut. Kuang Nan nama toko itu. Tak jauh dari terminal bus Kaohsiung. Hanya butuh lima menit berjalan kaki ke arah Selatan. Warna tokonya didominasi warna kuning. Sehingga kami pun menyebutnya toko kuning. Toko ini sangat terkenal di kalangan WNI karena memang barangnya sering dibanderol dengan harga murah.

Sampai di sana aku menampakkan foto jam tangan itu kepada pelayan toko. Dia mengambil dengan warna persis seperti di gambar yang kuberikan, biru. Mereknya juga sama persis, FILA.

Aku mengintip harganya. Di situ tertulis 1530 NTD (sekitar 630 ribu rupiah). Mulutku berdecap-decap sesaat. Mahalnya, ya Tuhan. Tapi aku pura-pura tak peduli dengan harga itu. Malah aku menanyakan warna yang lain, warna hitam.

"Warna hitam ada ga, Mbak?" tanyaku sambil membolak-balikkan jam biru itu, dan sesekali aku menatap si pelayan yang jelita itu.

"Tak punya. Warna ungu sama merah jambu ada. Mau?"

"Ga, ah!" sergahku dan kami pun tertawa kecil.

"Ini harganya, ya, Mbak?" aku menanyakan harga dengan suaraku yang lemah seraya menunjuk ke arah emblem harga yang terpasang di etalase di mana jam tangan itu diletakkan.

"Iya. Ini harganya," jawabnya singkat.

"Ga ada warna hitam, ya, Mbak? Aku maunya warna hitam," aku mulai mencari alasan untuk tidak membelinya dengan berpura-pura mengeluh kenorakan warna.

"Ga ada. Cuma tiga warna ini," jawabnya.

"Ok, Mbak. Terimakasih."

Aku pun pergi meninggalkan toko kuning itu. Aku melihat pelayan memasukkan jam tangan itu ke etalasenya dan mulai melayani pelanggan lain setelah tadi capek melayani pelanggan pesong dari Tanah Rencong.

Malam pun tiba, Kaohsiung begitu panas dan gerah. Aku barusan salah minum air yang kubeli di minimarket. Kupikir itu jus jeruk. Tapi setelah kubeli dan kuminum, ternyata air teh. Dan semalam itu aku tak bisa tidur karena kandungan kafeinnya. Sudah menjadi kebiasaan tubuhku, jika aku minum teh Taiwan, maka jangan mimpi aku bisa tidur. Mataku akan membelalak sepanjang malam.

Pikiranku melayang terbang ke segala penjuru awang-awang. Melayang ke Indonesia dan kembali lagi ke Taiwan. Melayang menyinggahi wajah istri dan anakku kemudian kembali lagi ke Taiwan. Dan... tak ketinggalan melayang-layang di sekitar etalase jam tangan digital bertuah itu. Jam digital bermerek FILA itu.

Duh, ternyata aku benar-benar suka dengan jam tangan itu, pikirku sendiri di kamar. Jam tangan tuaku sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Tapi aku belum juga bisa tidur. "Dasar teh keparat!" Aku mulai menyerapahi teh yang telah merebut waktu tidurku begitu panjang. Tapi, sejurus kemudian mataku sudah bisa memicing, terlena, tertidur.

Esok harinya, Minggu, aku tak mau kompromi lagi dengan sifat hematku. Aku harus membeli jam tangan itu. Tak peduli dengan mahalnya. Aku bergegas ke sana dengan menunggangi bus jalur merah 30. Tiga puluh menit kemudian aku sudah sampai di Kaohsiung Main Station. Aku melangkah penuh yakin menuju toko kuning.

Dengan gagah perkasa aku masuk ke toko yang kemarin sudah kudatangi. Langsung memanggil pelayan untuk mengambil jam tangan yang sudah kuulik-ulik kemarin sore.

"Mbak, tolong ambil jam ini," pintaku. Dengan sigap pelayan itu pun membuka etalase dengan kuncinya. Mengambil jam itu. Harganya sudah kuketahui. Tapi sempat-sempatnya aku menawarkannya.

"Mbak, bisa kurang lagi tak?" tanyaku tanpa merasa konyol sedikit pun.

"Tak bisa. Ini sudah diskon," jawabnya sambil menunjukkan harga aslinya dan ia menekan kalkulator dengan pengurangan persen tertentu maka jadilah harga yang sekarang, 1530 NT.

"Ok-lah. Aku beli," jawabku, "tapi, tolong dikalibrasi dulu ya."

Aku menunggu, dan setelah dikalibrasi aku langsung memakainya dan memasukkan jam analog tuaku ke kotak jam tangan baru itu. Setelah membayar aku pulang melenggang dengan senangnya. Menuju rumah makan Indonesia untuk mengisi perutku yang kosong.

Malamnya, aku lapor kepada istri bahwa aku telah membeli jam baru. Tentu dengan penuh kebanggaan.

"Mi, aku sudah beli jam tangan baru."

"Jam tangan apa? Berapa harganya?"

"Jam digital. Harganya 1530 NTD."

"Berapa kalau dirupiahkan?"

"sekitar 600 ribu rupiah"

"Nah, gitu dong. Biar mirip dosen dikit. Masa, pakai jam murah terus," ujarnya yang melatari seringaiku.

Tanpa dimintanya, dengan bangganya aku mengirim foto tanganku yang tergelungi jam tangan kebanggaanku itu. Istriku melihatnya.

"Hah! Kenapa jam kayak gitu! Itu, kan, jam anak kecil...!" sergahnya.

Waduh... Aku panik. Aku mengambil minyak angin serta kucecahi di telunjuk kiriku, kemudian kugosokkan pada dahiku yang tiba-tiba mengernyit.
Tanganku dengan jam baruku

No comments:

Post a Comment