Tapi sudah tiga tahun saya di sini, saya tak pernah menyantap jamur yang kuyakini sungguh nikmat rasanya itu. Aku mencoba menyelisik sejarah hidupku kebelakang untuk menemui penyebab mengapa aku begitu ogah menyantap jamur. Dan akhirnya mengerucut pada satu kejadian yang menyisakan trauma sampai sekarang, yaitu mabuk "janeng" ("e" diucapkan seperti "e" terakhir pada kata "semen").
Janeng adalah tanaman ubi-ubian yang dalam bahasa Indonesia mungkin dikenal dengan ubi uwi. Di Aceh pohon ini tumbuh liar di hutan dan tak pernah dibudidayakan. Konon katanya, dulu janeng menjadi makanan para pejuang ketika bergerilya di hutan di saat mereka kehabisan beras.
Nenekku sebelah ayah dulu sering merebus buah janeng, kemudian diiris-iris seukuran pangkal lidi dan panjangnya setelunjuk. Kemudian dikerabu dengan kelapa dan ditaburi sedikit garam dan gula. Rasanya enak dan aku suka. Beberapa kali ia membuatnya dan aku salah satu penyantap setianya. Sampai satu waktu entah janeng apa yang direbusnya, maka aku mendapati perutku mual, rasanya persis seperti mabuk saat aku naik bus pertama kali dulu.
Sepanjang hari itu aku merana bukan main. Ingin muntah tapi tak bisa. Aku meludah dan terus meludah lagi tak ada hentinya. Sampai akhirnya aku melaporkan kejadian itu pada ibu. Celakanya, mereka bukannya sayang tapi malah tawa mereka berderai keluar menyaru bersama laraku.
"Kamu ini mabuk, Man" kata kakak perempuanku dan diikuti tawa kerabat sekelilingnya. Aku hanya menyeringai. Liurku mengencer dan aku meludah lagi dan lagi.
Mulai saat itulah saya berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menyentuh lagi janeng itu. Aku yang masih kecil menyerapahi buah terlaknat itu yang sudah membuatku serasa ingin mati.
Setelah kejadian itu baru saya diberitahu bahwa adakalanya janeng itu memabukkan, tapi seringnya tidak. Hal ini bisa saja karena salah olahan atau memang janeng itu sendiri yang memabukkan walau diolah bagaimana pun. Tak ubahnya seperti pinang yang terkadang bisa memabukkan.
Konon katanya, jika orang kampung saya mau mencoba buah janeng itu mabuk apa tidak, mereka akan memberi untuk ayam terlebih dulu. Jika ayamnya tak mati maka itu aman. Namun, jika ia mati atau senewen, maka janeng itu beracun dan tak akan dimakan.
Terus apa urusannya sama jamur? Begini. Dulu di kampung saya orang juga sering menyantap jamur yang tumbuh liar di jerami padi yang membusuk di sawah, atau jamur yang tumbuh di atas rumput yang membusuk. Tapi, jamur itu tak luput dari bahaya. Di antara kawanan jamur itu terkadang tersisipi jamur beracun yang wujudnya hampir tak ada bedanya. Maka sering tersiarlah kabar ada orang yang mabuk jamur yang menjadi buah bibir ibu-ibu seantero kampung.
Saya yang sudah pernah merasakan sakitnya mabuk janeng, langsung memukul rata bahwa jamur dan janeng adalah mahluk ciptaan Tuhan yang sebaiknya aku hindari. Sampai sekarang. Istimewa pula, tepatnya dua tahun yang lalu, salah satu teman sekampus saya di Taiwan ini pernah mabuk setelah menyantap jamur di kantin kampus NKUAS. Maka bertambah takutlah aku dengan mahluk lucu dan kenyal ini.
Tapi, kemarin, ketika saya makan di salah satu warung vegetarian di belakang kampus, saya memesan salah satu sayur yang di dalamnya ternyata dicampur dengan satu jenis jamur yang baru aku lihat wujudnya baru-baru ini. Sepertinya ini jamur musiman. Batangnya pendek gempal menopang tudungnya yang bulat seukuran kelereng. Aku berkeras hati menyantapnya karena tak terlalu banyak. Dan ternyata enak. Aku suka. Cukup membuat traumaku sedikit menghilang.
Esok harinya aku makan di warung vegetarian yang lain. Ternyata jamur ini juga disediakan di warung tersebut. Dan aku mengambilnya lumayan banyak karena terhipnotis rasa nikmat kemarin di warung sebelah. Jadi, mulai kemarin traumaku akan jamur saya proklamirkan berakhir! Janeng? Janeng jangan dulu. Belum berani!
Jamur di salah satu warung vegetarian di sekitar kampus NKUAS, Kaohsiung, Taiwan Selatan |
Jamur dan nasi beras utuh pesananku di warung vegetarian sekitar kampus NKUAS, Kaohsiung, Taiwan Selat |
No comments:
Post a Comment