Tuesday, August 16, 2016

Warga Aceh dan Perayaan

Dulu waktu kecil aku tak bisa menyebut huruf "y" dengan sempurna. Sehingga kata perayaan terucap menjadi perajaan. Sebenarnya aku tak sadar salah dalam mengucapkannya. Cuma temanku yang mendengar sering risi dan mengeluh dengan ucapanku yang keliru itu.

"Pe-ra-ya-an," eja salah satu temanku pelan-pelan dan aku mengulangi setelahnya, "Pe-ra-ja-an."

"Ya!" pekik temanku keras, "bukan ja!"

"Ya!" pekikku balas dengan suara yang tak kalah keras.

"Ya, seperti itu," temanku membenarkan, "Perayaan, bukan perajaan."

"Iya, kan aku tadi benar mengucapkannya, " aku bersikukuh, "pe-ra-ja-an."

"Aduh, alah hai gam, meuhaba hana roeh lom - Aduh, alah hai anak muda, bicara saja kau belum pas, " tukas temanku pasrah.

Aku baru sadar belakangan bahwa aku memang benar-benar salah dalam mengucapkannya. Dan uniknya, aku hanya tidak bisa mengucapkan huruf "y" hanya ketika dalam kata "perayaan," dalam kata lain tidak.

Kata perayaan walaupun terlihat sebagai salah satu kata dalam bahasa Indonesia, tapi kami penduduk Blangjruen dan sekitarnya mempunyai arti khusus untuk itu, yaitu acara upacara bendara pada tanggal 17 Agustus yang dilaksanakan setiap tahunnya di lapangan sepakbola kecamatan. Itulah arti kata perayaan bagi kami.

Bagi kami anak kecil, perayaan ini menjadi hari raya keempat setelah idul fitri, idul adha, dan maulid nabi. Baju baru pun baru sah dipakai untuk pakaian hari-hari apabila telah melewati empat hari raya itu. Tentu ini beda dengan anak sekarang yang punya banyak baju baru.

Pada hari perayaan, masyarakat tumpah ruah ke lapangan kecamatan untuk menyaksikan upacara pengibaran bendera. Hanya beberapa saja yang tinggal di rumah, termasuk di dalamnya orang sakit. Sehingga kampung menjadi sepi dan pasar pun lengang. Maka pada hari itu, pasar pun ditutup total sampai upacara selesai.

Masyarakat yang bukan anggota upacara resmi hanya berbaris tak teratur di luar lapangan. Menyaksikan dengan takzim, lebih-lebih pada saat pasukan pengibaran bendera menunjukkan aksinya. Setelah itu, sebagian besar sudah mulai melirik jajanan yang berjejer di pinggir lapangan. Sementara anak sekolah mulai dari kelas 3 SD sampai SMA, PNS, dan pekerja kantor, berbaris resmi di dalam lapangan upacara sampai seluruh tatatertib upacara selesai.

Bagi saya yang masih kecil, jajan itulah yang paling mengasyikkan, menghabiskan uang pada hari perayaan. Berbagai macam makanan khas Aceh, mulai dari mi, jagung rebus atau bakar, sampai berbagai macam jenis kue. Tak ketinggalan, mainan anak-anak, balon terbang, semua tersedia untuk memangsa uang kami yang lama sudah kami tabung.

Kebiasaan semacam ini masih berlangsung sampai sekarang. Tak ada yang berubah sedikit pun. Malah sekarang lebih semarak lagi semenjak adanya acara karnaval sebelum atau sesudah perayaan. Semua itu menambah resep kenikmatan, khususnya bagi anak-anak.

Oleh karena itu, bagi orang-orang kaya, jika ingin bersedekah kepada anak yatim yang tak mampu, hari perayaan juga hari yang tepat untuk itu. Ini karena bukan main sedihnya jika ada anak yatim miskin ditinggal ayahnya, pada hari itu tak bisa jajan.
Peserta karnaval HUT RI ke-71, 17 Agustus 2016 di Blangjruen, Tanah Luas, Aceh Utara. Yang paling depan adalah keponakan saya. Sumber foto: Facebook.

No comments:

Post a Comment