Saat listrik mati di kampus, mungkin akulah mahasiswa yang paling menderita dari sekian banyak mahasiswa lain. Betapa tidak, hidupku sangat terikat di lab. Bahkan tidur siang pun kadang di lab di saat mataku begitu berat untuk tak memicing di siang hari.
Asrama bagiku hanya tempat mandi dan tidur malam saja. Sehingga hanya tengah malam sampai pagi saja aku terlihat di sana, selebihnya aku berada di lab.
Cuma, dalam tiga hari ini, mulai hari Jumat sampai hari Minggu besok, listrik di kampusku dimatikan karena ada proses penggantian besar-besaran komponen kelistrikan. Akibatnya, labku yang berada di bawah tanah berubah menjadi gua yang gelap menakutkan dan panas. Tak satupun yang betah di dalamnya. Lagipula, mau kerja apa di ruang hitam tak ada listrik itu? Tidak ada. Akhirnya, aku bingung sendiri dan lumayan stres juga dibuatnya. Tak tahu mau kemana dan mau berbuat apa.
Inilah punca masalah kenapa pada masa liburan aku memilih pulang kampung saja ketimbang tinggal di kampus. Saat liburan, di samping asrama juga tak gratis atau harus membayar mahal, perbaikan-perbaikan kampus selalu dilakukan pada musim liburan. Sehingga belajar pasti tak nyaman sama sekali saat itu. Entah itu listrik atau malah ada saja kerjaannya seperti menggempur dinding untuk diganti dengan yang baru.
Lantas, kenapa aku balik ke Taiwan lebih cepat padahal liburan baru selesai pertengahan September nanti? Jawabanya karena aku tak enak hati pada profesor karena dulu aku pulang lebih cepat dengan alasan mau ikut tes sertifikasi dosen. Jadi, alasannya cuma tak enak hati saja. Aku takut dia lupa pula pernah punya mahasiswa aku saking lamanya aku menghilang.
Dan, celakanya lagi, kuliah S3 itu telah mengakar anggapan bahwa tak ada istilah libur baginya. Libur itu untuk anak S1 dan S2, kuliah S3 itu liburnya kalau sudah selesai nantinya! Duh, memangnya mahasiawa S3 itu malaikat yang tak bernafsu, tak punya anak-bini, dan tak pernah capek? Aneh-aneh saja!
Sekalipun aku sering bertapa di lab, jangan cepat menganggap bahwa saya belajar terus. Sama sekali tidak demikian. Bahkan bisa jadi sampai seharian aku tak bisa belajar dan tidak bisa menjalankan simulasi risetku. Karena di saat kebosanan datang, membaca buku yang berkaitan dengan kuliah langsung membuatku mual dan ingin muntah, asam lambugku naik. Faktor usia!
Kalau sudah begini kondisinya, pelampiasanku cuma satu: membaca bacaan ringan yang tak ada sangkut-pautnya dengan kuliah - novel, cerpen, atau tulisan apa saja yang tak berat sama sekali dan tak terkait dengan kuliah sama sekali.
Sampai akhirnya pikiranku tenang, baru aku memegang materi kewajibanku lagi. Tapi jika masih belum bisa juga, maka kulanjutkan membaca bacaan ringan lagi. Dan begitulah seterusnya perjuanganku dalam melawan kebosanan. Tapi yang paling penting, aku tak akan keluar dari lab, sebosan apapun itu, kecuali keluar sebentar untuk cari makan atau ingin membeli kebutuhan sehari-hari.
Aku memaksakan diri untuk tetap berada di lab adalah siasat agar tidak jauh dari posisi kewajibanku sekalipun aku sedang tak bisa mengerjakannya. Karena siapa tahu mudku datang tiba-tiba, maka aku bisa langsung bekerja. Coba jika saat mudku datang sementara aku lagi berada di gunung sana, maka tak ada cerita akan langsung bisa bekerja.
***
Semenjak kecil sampai sekarang, terus terang aku tak tahu apa hobiku di luar menekur melihat buku yang cenderung menegangkan urat kuduk itu. Main game, duh, sudah kucoba, malah lebih membosankan ketimbang membaca paper yang sulit itu. Memancing, hei, juga sudah kucoba, tak kalah menjengkelkan dan capek. Akhirnya, aku menganggap diriku sebagai mahluk yang tak berhobi. Ngumpul-ngumpul pun sebenarnya aku tak begitu suka juga. Maka aku tepekur di lab saja, daripada keluar malah tambah bingung jadinya.
Tapi pada kondisi tiga hari ini, listrik di kampus dimatikan, aku terpaksa keluar mencari tempat yang kuduga bisa menenangkanku. Aku memilih perpustakaan umum Kaohsiung. Aku langsung pergi ke sana. Mengarungi gerahnya musim panas. Kaohsiung hari ini benar-benar manampakkan sifat aslinya yang panas menyepuh kulit, setelah dua minggu yang lalu menyaru mendingin dengan guyuran hujan.
Sampai di perpustakaan, bukan main banyaknya pengunjung. Sehingga tak ada lagi meja belajar yang bersteker yang tersisa, yang dapat menyuplai listrik ke piranti elektronikku. Aku kecewa. Akhirnya aku segera pulang setelah meminjam sebuah buku yang sudah separuh kubaca sebelum mudik liburan musim panas dua bulan lalu.
Di perjalanan pulang, aku ingin menyantap bebek goreng di warung Indonesia Al Alam yang tepat berada di depan perpustakaan itu. Betapa sedihnya diriku, sampai si sana ternyata warung sudah pindah tempat. Aku meghela nafas panjang dan dalam. Pergi meninggalkan bekas warung yang rasa bebek gorengnya aduhai itu, menuju toko buku bekas yang tak jauh darinya. Sampai di sana buku incaranku juga belum ada. Dengan langkah gontai aku keluar dan pulang.
Di luar matahari bersinar terang, serasa tak secuilpun panasnya hilang dalam perjalanan menuju bumi. Angin berdesir-desir meniup uap panas dari segala penjuru. Memanaskan tubuhku yang membungkus hatiku yang juga panas. Bau eksotik dari tubuhku menguar tak bisa kubendung. Keringat bercucuran dan rontok di sebagian hentakan langkahku saat menuju stasiun MRT terdekat. Dalam MRT, udara dingin menyergap, memberi peluang untuk kelenjar keringatku berhenti bekerja. Tapi tak menghentikan rawan dan kegalauan hatiku.
********
Kutulis sembari berbaring di rumah kos tumpangan dengan iringan deru kipas pada kecepatan penuh.
No comments:
Post a Comment