Temanku bilang, "Jangan mengaku pernah pergi ke Taiwan kalau belum naik ke menara 101."
Ini yang membuatku kalah bulu saat berdebat dengan teman-teman di kampus. Kupikir-pikir benar juga, Taiwan hanya sekecil ini bisa-bisanya aku tak sempat berkunjung ke sebuah bangunan kebanggaan warga Taiwan ini.
Karenanya, saat aku menyatakan niat untuk berangkat ke Taipei waktu itu, aku langsung bilang ke teman-temanku, aku minta tolong diantarkan ke gedung tinggi itu. Aku minta tolong karena aku yakin bahwa mereka tidak berniat lagi ke situ sebab mereka sudah pernah singgah di gedung ini sebelumnya. Malah sebagian mereka sudah berulang kali.
Sesuai dengan namanya, menara ini memiliki 101 lantai dengan ketinggian setengah kilometer lebih (509.2 meter) yang menembus awang-awang kota Taipei. Sejak tahun 2004 menara ini dikatakan sebagai bangunan tertinggi di dunia. Namun, pada tahun 2009 rekornya patah setelah menara Burj Khalifa mencakar langit Dubai pada ketinggian 829.8 meter.
Kami ke sana dengan menunggang MRT (Teipei metro) dan turun di stasiun Taipei 101. Begitu kepalaku keluar dari pintu MRT, menara yang tinggi nan megah ini langsung terpacak di depan mataku. Aku mendongak ke atas. Memang tinggi sekali bangunan ini. Seluruh dinding terbungkus dengan kaca yang membiru. Dindingnya berjenjang-jenjang. Ujung menaranya meruncing menuding langit Taipei yang begitu cerah hari itu.
Di pangkalnya, menara ini ditemani oleh bangunan mal yang tak kalah megahnya. Sehingga, jika kita lihat dari jauh seolah-olah menara mencuat tumbuh dari atap mal yang kemudian menggapai-gapai langit.
Saking tingginya, bukan main sulitnya berfoto dalam jarak dekat agar bangunan itu terlihat utuh sampai ke atas. Tak bisa dielak, kamera harus mencium tanah hanya sekedar untuk dapat memotret menara 101 dengan wajahku yang tiba-tiba mencuat di bagian bawah foto.
Aku sungguh tak sabar lagi untuk segera mendaki gedung ini. Ingin segera kubuktikan kata mereka bahwa seluruh punggung kota Taipei bisa dilihat dari gedung ini. Karenanya, aku segera bilang ke teman-teman bahwa aku ingin naik ke atas.
Aku hanya mau diberi tahu jalan saja. Tidak memaksa mereka untuk naik juga bersamaku. Buat apa, mereka sudah berulang kali naik ke gedung ini. Perjalanan hari ini memang hadiah dari mereka hanya untukku. Lagi pula, mereka tidak berniat naik juga. Harganya itu, loh. 500 NTD (Rp. 200 ribu). Mahal juga, kan? Jika tidak karena penasaran, aku akan berfikir beberapa kali untuk naik ke sana.
Aku naik setelah membeli karcis yang ternyata aku diberi diskon 50 NTD karena aku mengaku sebagai mahasiswa. Lift dengan kecepatan 1010 meter/menit menghela tubuhku dan beberapa pengunjung lain ke atas sampai ke lantai 89. Musik khas Taiwan dan lampu remang berkedip-kedip lambat, langsung aktif setelah pintu lift ditutup oleh operator. Wajah-wajah orang di sampingku terkadang nampak, terkadang remang, terkadang menghilang mengikuti ritme kedipan lampu.
Sekejap kemudian aku merasa telingaku tertekan oleh sebab tekanan udara di ketinggian yang menurun. Tak lama setelahnya lift berhenti dan pintunya terbuka. Maka terlihatlah bebangunan kota Taipei mengerdil dari atas sini. Beberapa bangunan kota Taipei yang tadinya begitu perkasa jika dilihat dari bawah, terlihat melemah tak berdaya dari atas sini.
Aku melangkah mendekati dinding yang seluruhnya terbuat dari kaca. Aku begitu terpesona melihat panorama kota Taipei di kejauhan sana yang kadang rata dan kadang berbukit dengan bangunan tinggi terpancang-pancang di punggungnya. Tapi, begitu aku melihat ke bawah, ke arah kaki menara, ternyata aku gamang. Telapak kakiku bergidik dan mencekung tak sempurna menyentuh sol sepatuku lagi. Badanku mengedik, melentik ke belakang, tak mau dekat-dekat dengan dinding. Bahkan foto pun aku ambil satu meter menjauh darinya.
Di beberapa sudut lantai ini dilengkapi dengan teleskop untuk mengamati pemandangan di bawah sana dengan jelas. Tapi ternyata tak gratis, harus memasukkan koin 20 NTD baru teropong itu mau aktif. Tak jadi aku menatap ke bawah sana melalui corong ini.
Tak lama di lantai itu kemudian aku naik tangga ke lantai 91. Lantai ini merupakan puncak tertinggi yang diizinkan bagi pengunjung untuk memasukinya. Ia merupakan ruang terbuka dimana kita bisa melihat ujung menara dan juga melihat ke bawah sana melalui celah-celah pagar dari bilah plat besi setebal satu sentimeter yang disusun melintang. Pinggir plat besi ini ternyata agak tajam. Aku hampir saja terluka ketika jemariku tak sengaja melibasnya. Di sini juga ada satu teleskop yang juga tak gratis.
Tak lama juga aku di tempat terbuka ini, kemudian aku turun ke lantai 89 lagi dan masuk ke ruang multimedia yang menampilkan video singkat pembuatan gedung dari awal sampai peresmiannya. Sejurus kemudian aku turun ke lantai 88 untuk melihat bandul peredam yang berfungsi untuk melindungi bangunan ini dari defleksi yang berlebih yang diakibatkan oleh goyangan gempa atau topan.
Bandul raksasa ini berbentuk bola warna kuning yang dibentuk dari susunan plat-plat besi. Ia tergantung ke atas dengan tali-tali baja. Kemudian bola ini diikat dengan peredam dari segala penjuru.
Di lantai 88 inilah perjalananku di atas gedung 101 usai. Aku langsung menuju lift dan segera turun ke bawah sana untuk berkumpul lagi dengan temanku yang menungguku sambil menyantap mi seafood di sebuah restoran di kaki 101.
Mereka kaget melihat aku turun sangat cepat, padahal awalnya mereka mengira, paling tidak, satu jam aku bakal lalai di atas sana, tapi tak sampai setengah jam aku sudah melingsir ke bawah lagi.
"Kenapa cepat sekali kamu turun, Man?" tanya salah satu temanku. Aku menoleh ke arah temanku yang satunya. Menatap lagi ke arah si penanya dan berujar, "Ternyata aku gamang sampai di atas. Aku tak berani melihat ke bawah."
Tawa temanku yang satunya tumpah berderai-derai tak terbendung, "Aku sudah memprediksi dari awal, Man," ucap temanku itu sambil melawan tawanya, "kamu pasti takut di atas."
Aku juga tertawa kecut. Ya, mau bagaimana lagi. Aku, ya, seperti ini. Penakut. Dulu ketika naik ke Tugu Monas di Jakarta pun aku minta turun secepatnya. Aku merasa seolah-olah bangunan akan roboh seketika itu juga. Menakutkan!
Terakhir, aku menghabiskan pesona menara Taipei 101 dengan menyantap nasi kuning kari ayam India di restoran di kaki menara Taipei 101. Harganya 260 NTD. Saya ulangi, 260 NTD!
Aku berlatarkan menara Taipei 101 |
Ini aku juga |
Konstruksi gedung mal bagian bawah 101 |
Kota Taipei dari atas 101 |
Teleskop untuk melihat ke bawah |
Kota Taipei dari atas 101 |
Kota Taipei dari atas 101 |
Kota Taipei dari atas 101 |
Lantai 91 |
Bandul peredam di lantai 88 |
Nasi kuning kari ayam India di kaki 101 |
No comments:
Post a Comment