***
Walang sangit tentu banyak macamnya, tapi yang aku maksud di sini adalah walang sangit berwarna hitam, agak bulat badannya, seukuran kacang kuning besar tubuhnya. Orang Barat menyebutnya dengan "rice black bug" - serangga hitam padi. Dinamai serangga ini dalam bahasa Latin dengan "scotinophara coarctata". Nama yang indah serta sulit terucapkan, tak sekufu dengan lakunya yang mengganggu itu. Dalam pada itu, orang Aceh menyebutnya dengan "bana", maka izinkanlah aku menyebut "bana" saja untuk binatang ini di sekalian sisa tulisan ini.
Terkait bana ini, di daerahku, Blangjruen, Aceh Utara, jika bulan sedang purnama raya, malam harinya, maka banyaklah bana mengerubuti lampu-lampu di kedai-kedai. Tak ada satu pun lampu yang luput dari incaran bana.
Mereka beterbangan menerobos lampu, terjatuh ke tanah, bangkit lagi, menabrak lagi, jatuh lagi, dan begitulah lakunya sampai nyawa tercerai dari badannya. Maka tak jarang jadilah tempat di bawah lampu itu sebagai kuburan massal bagi mereka; yang baunya menguar menusuk hidup siapa saja yang ada di sekitarnya.
Akibat serangan bana ini, banyak pula warung makanan, lebih-lebih warung bakso, terpaksa tutup saat purnama raya datang; tersebab sulit bagi mereka menghindar dari masuknya bana ke dalam makanan yang mereka jual; yang ditakuti akan menzalimi pelanggannya.
Dulu aku sempat bertanya-tanya pada diriku sendiri, sebelum nyata bagiku sebab kenapa bana selalu muncul pada saat bulan purnama raya, dan mengapa pula yang dikerubuti mereka adalah lentera-lentera kedai yang terang itu. Berikut cerita yang mengadung jawaban atas masalah itu:
Dalam sebuah majlis pengajian kitab kuning di pesantren Al Hilal Al Aziziyah, Nibong, Aceh Utara, asuhan Abati Nawawi, kuperolehlah jawaban itu tatkala beliau mengiaskan orang yang mengejar dunia sebagai bana yang mengira cahaya lampu itu sebagai lubang untuk keluar. Dipikirnya dibalik lubang itu ada dunia yang terang penuh cahaya, yang keluar cahaya itu melalui lubang tersebut. Tapi cahaya itu ternyata bukanlah berasal dari lubang, melainkan lampu.
Dari kejauhan terlihat oleh bana akan lampu yang terang itu, yang pada sangkanya adalah sebuah lubang, maka bergerombollah mereka terbang menghampiri lampu tersebut dengan maksud hendak keluar menuju daerah yang terang. Padahal tentu tak ada lubang di tempat yang dituju itu, melainkan kaca keras yang apabila ditabraknya maka terhempaslah mereka ke tanah dan mati kecapaian.
Begitu jua manusia, anggapannya bahwa dunia ini adalah satu-satunya tujuan, sehingga mereka mengejarnya mati-matian, itu tak ubahnya sebagai bana yang menyangka bahwa lampu itu adalah jalan keluar dari kegelapan. Sebagaimana bana yang mati sia-sia akibat kebodohannya, maka demikian pulalah manusia.
Terus kenapa pula mesti saat bulan purnama raya bana itu banyak jumlahnya? Begini. Bana itu biasanya berada di sawah atau hutan yang gelap gulita. Tatkala bulan mati, lampu di kedai-kedai itu tak sanggup menarik perhatiannya. Sehingga mereka tak akan memedulikannya. Namun, manakala terlihat oleh mereka cahaya bulan yang terang itu, maka tertariklah mereka untuk pergi ke arah bulan yang terang sinarnya; dengan maksud keluar melalui cahaya yang disangkanya lubang itu.
Tapi sayang, siapa pula si bana ini yang hanya sebiji kacang kuning besar badannya dan seujung kuku lebar sayapnya, berani-beraninya hendak menghampiri bulan? Tentu tak akan pernah tercapai cita-citanya itu. Tapi karena kebodohannya mereka sudah terlanjur keluar dari sarangnya.
Saat bulan tak tercapai dan pulang pun tak tahu arah lagi, maka lentera kecil kedai-kedailah yang menjadi sasaran penggantinya. Lagak bana yang sedemikian ini bisa dikiaskan dengan sebuah peribahasa: "tiada rotan, akar pun jadi", yang kira-kira artinya dalam hikayat kita ini adalah "tak sanggup menjangkau bulan, lampu kedai pun jadi".
Maka berkumpullah mereka di lentera-lentera malam kedai, tak sadar apa yang dilakukannya. Dalam usahanya menerobos cahaya yang pada sangkanya adalah jalan keluar, tak jarang mereka masuk pula ke dalam makanan. Jangan tanya berapa kali aku telah mengunyah bana yang kesasar itu. Sungguh tak terbilang lagi. Oleh sebab itu, malas pula hatiku membeli makanan malam di kedai tatkala bulan purnama raya.
***
Itulah sebabnya, Kawan, mengapa aku mengerti betul bagaimana rasa bana itu; karena memang sering termakan olehku binatang hitam itu selama aku di Blangjruen. Rasanya sebagai mengunyah seribu cabai rawit dan hangit pula aromanya. Dan sekarang, sampai di Taiwan ini, aku dapati lagi rasa yang sama tapi dari makhluk Tuhan yang berbeda, seledri rasa bana, rasa walang sangit.
Aku tak tahu seledri apa ini namanya, sehingga kusebut saja seledri bana. Bentuk seledri ini sangat menipu karena rupa batang dan daunnya tak ada bedanya dengan seledri pada kebiasaan, kecuali baunya jua. Maka jeli-jelilah ketika hendak membeli seledri di Taiwan ini.
Kemarin (22/11/2016), sebagaimana biasanya, aku membeli nasi di warung makan vegetarian langgananku. Oleh pelayan warung ini, aku ini digolongkan sebagai satu pelanggannya yang unik. Sehingga tak perlu lagi mereka bertanya porsi berapa yang kupilih, karena pasti aku memilih yang 50 NTD; dan dua dari enam jatah macam sayur pun tak perlu mereka tanya-tanya lagi, karena pasti aku memilih dua potong bakwan. Dengan porsi nasi 50 NTD ini kita mendapatkan jatah lauk enam jenis sayur. Karena aku selalu memilih dua potong bakwan, maka sisalah empat jenis sayur lagi yang berhak kupilih.
Aku senantiasa mengambil dua potong bakwan di setiap makanku karena hanya bakwanlah yang sanggup menyaingi rasa ikan; yang menjadi menu wajib peneman nasi di Tanah Rencong. Rasa bakwan di warung ini lumayan gurih.
Tatkala makan nasi, aku gigit bakwan itu secuil demi secuil sebagai tingkah makan ikan saja. Maka bisa saudara bayangkan sendiri, betapa kecewanya aku kemarin, ketika ternyata sayur yang ada di dalam bakwan itu adalah seledri rasa bana itu! Hancur hati anakmu ini, Mak!
Tentu saja tak habis aku makan nasi hari itu, hanya separuh yang sanggup kupaksa-masukkan ke perutku, selebihnya kusimpan, yang akhirnya kumakan juga tiga jam kemudian sebab sudah perih ulu hatiku karena lapar yang sudah teramat sangat.
Aku mencoba merunut kebelakang, aku jadi ingat bahwa dalam masakan India kerap pula ditaburi seledri jenis ini. Saat aku makan nasi Biryani, sering juga lidahku merasakan sayup-sayup rasa seledri aneh ini. Tapi untungnya, di warung India, cacahan daun seledri ini hanya ditaburkan sedikit saja, sehingga bisa kusingkirkan ke pinggir piring.
Tapi orang Taiwan, mereka menggunakan seledri ini dalam jumlah yang banyak. Bukan sebagai bumbu, tapi malah sebagai sayur, seperti yang terjadi pada bakwan yang bertuah itu. Sehingga bagaimana pula aku bisa menyingkirkannya karena isi bakwan itu seledri bana semua. Maka terpaksa kubuang saja bakwan itu.
Lain halnya saat aku berkunjung ke gedung pencakar langit Taipei 101 tiga bulan silam (17/8/2016). Saat aku memesan makanan khas India di restoran di kaki gedung tertinggi di dunia ini, pelayan bertanya kepadaku apakah aku mau jika dipakai seledri bana?
Saat itu aku tak tahu nama apa yang disebutkan oleh pelayan untuk seledri ini. Ketika aku bertanya apa itu, maka diambilnya sedikit cacahannya serta dikasihkannya kepadaku untuk kukecap. Setelah kuambil sedikit, kupenyekkannya di antara ibu jari dan jari telunjukku, dan selanjutnya kucium. Begitu kutahu aromanya, sontak aku menjawab tegas, "I don't want this! - Aku tidak mau ini!"
Beruntung aku ditanyai, sehingga selamatlah selera makanku hari itu. Mungkin pelayan restoran di gedung Taipei 101 ini sudah mengerti bahwa tidak semua suku bangsa cocok dengan rasa seledri bana ini. Karena gedung Taipei 101 ini adalah salah satu objek wisata internasional di Taiwan. Karena semua suku bangsa pernah berkunjung ke sini, maka pada sangkaku, tahulah dia bahwa orang Indonesia tidak menyukai seledri bana ini. Mungkin karena itulah aku ditanyainya!
![]() |
Seporsi nasi vegetarian dengan dua potong bakwan seledri rasa walang sangit |
![]() |
Bana (scotinophara coarctata). Sumber foto: Google |
No comments:
Post a Comment