Monday, November 28, 2016

Tetirah Gratis ke Objek-objek Wisata Taiwan

Business trip, itulah nama kegiatan yang diadakan oleh kantor internasional kampus saya, National Kaohsiung University of Applied Sciences (NKUAS), dengan tujuan memperkenalkan tempat-tempat wisata Taiwan kepada kami mahasiswa asing. Program ini diadakan rata-rata dua kali dalam satu semester, menjadi rekreasi gratis bagi mahasiswa asing yang sedang bersekolah di kampus NKUAS ini.

Kali ini, kemarin dulu (25/11/2016), kami diajak ke Tainan, yaitu ke Museum Chimei, terus ke Anping Old Street, dan terakhir ke sebuah pelabuhan yang masih di sekitar distrik Anping, Tainan. Tainan ini sejarak kira-kira dua jam tempuhan kereta api lambat ke utara Kaohsiung.

Menanggapi program business trip ini, biasanya sayalah yang pertama mendaftar manakala borang pendaftaran berplatform google dikirim ke posel-posel mahasiswa asing. Tentu bagi yang sudah mengenal saya, tahu betul alasan kenapa saya begitu ligat dalam mendaftar setiap ada tawaran business trip. Karena program ini gratis, itulah alasannya. Kalau berbayar, mahasiswa asing yang bernama Usman kelahiran Blangjruen, Aceh Utara, hampir bisa dipastikan tidak akan ikut dalam rombongan premium itu.

Ini terbukti tatkala bulan lalu (23/10/2016) pihak kampus menawarkan program business trip berbayar. Apa yang mereka dapatkan? Namaku tidak terlihat bertengger di database pendaftaran sampai waktu tenggat terlewati. Sulit mengharapkan saya akan ikut dalam acara tersebut dimana aku harus membayar 3 ribu NTD, sekitar 1,3 juta rupiah, jumlah uang yang tidak sedikit untuk manusia seekonomis saya.

Menghabiskan uang sebanyak itu untuk hanya piknik seorang diri, sontak aku teringat lagi kenduri cendol untuk orang sekampung. Uang 1,3 juta rupiah itu, kalau di Blangjruen, cukup untuk acara syukuran berpestakan minum cendol sekampung, terus didoakan masuk sorga lagi.

Tapi, apakah benar-benar saya tak ikut dalam business trip berbayar itu? Sebentar, Saudara. Cukup menggelitik. Di saat saya telah melupakan business trip berbayar itu, dan tak bermimpi lagi untuk bisa tetirah gratis, tiba-tiba aku dikagetkan oleh sebuah surel yang masuk ke poselku, kira-kira bunyinya begini, "Business trip yang awalnya direncanakan berbayar, sekarang di-gra-tis-kan! Diharapkan mahasiswa internasional yang belum mendaftar, agar cepat mendaftar. Pendaftaran dibuka lagi. Bagi yang telah mendaftar dan membayar uang, akan dikembalikan."

Bulu kudukku langsung meremang demi membaca isi surel itu. Tak perlu menunggu lama, saya langsung mengeklik tautan pendaftaran untuk segera mendaftar. Nama saya muncul paling atas sekelebat setelah pengumuman penggratisan itu dikeluarkan pihak kantor urusan internasional.

Aku ketawa terdekah-dekah di lab macam orang seteheng saja. Betapa tidak, jumlah pendaftar yang diharapkan cukup untuk memenuhi dua bus besar, ternyata tak sampai setengah yang mendaftar. Daripada acaranya gagal, maka business trip berbayar akhirnya jadilah gratis. Maka penuhlah kuota yang diharapkan itu.

Mungkin teman-teman pada menuduh saya sebagai orang ekonomis tingkat tinggi, dan dengan itu saya mempermalukan warga Indonesia lain di mata orang Taiwan karena selalu pengin yang gratis-gratis. Tapi, sebenarnya saya ini tidak irit juga, sih. Walaupun saya akui, dalam banyak hal, iya. Tapi tak parah-parah amat, lah. Masih ada yang lebih parah, tapi mereka menjadi "silent iriter" (ini hanya istilah saya sendiri), yaitu orang-orang irit tapi menyembunyikan keiritannya. Tidak terus terang seperti saya ini yang bagai ember bocor.

Buktinya, dulu ketika keluarga Mamang Ayub Anggadireja dari Banjar (2/1/2016), datang di Taiwan dan hendak berburu salju di gunung He Huan (He Huan Shan), saya ikut. Padahal, biaya yang harus saya keluarkan itu lebih dari 3 ribu NTD. Dan parahnya lagi, salju yang diharapkan turun menangkupi gunung itu, tak pula kunjung datang. Hanya dingin yang membekukan ujung jemariku yang dapat kurasakan sampai di atas sana, tidak lebih dari itu. Kecewakah saya? Tidak sama sekali. Aku sangat menikmati perjalanan itu.

Walaupun saya telah memproklamirkan tidak akan kembali lagi ke gunung yang tinggi menusuk awan tersebut, itu bukan karena mahal, tapi lebih kepada jalan menuju ke sana yang hanya tersampir seolah-olah tak kokoh di dinding-dinding gunung yang curam, yang membuat saya selalu bergidik saat melihat ke bawah jurang sana. Dan lagi, karena jalan yang berliku-liku, sempat pula saya mabuk, sekalipun tak sampai muntah. Ini adalah mabuk darat pertama yang kurasakan setelah "Zaman Usman Blangjruen Modern."

Bukan hanya ke He Huan Shan -satu-satunya wisata salju di Taiwan, Museum Chimei pun sudah pernah saya kunjungi bersama keluarga Mamang Ayub juga. Tentunya dengan biaya sendiri. Lalu kenapa saya tidak mau ikut program business trip berbayar jika itu diadakan oleh kampus? Begini, Tolan. Dalam status saya sebagai mahasiswa, saya lebih memposisikan diri sebagai duta di Taiwan ini. Maksud saya adalah, orang yang diutus oleh pemerintah untuk melakukan tugas khusus, yaitu tugas belajar.

Dan saya berharap pula, jika ada program pengenalan budaya dan tempat wisata di Taiwan, lebih baik memang dibiayai dan saya pun dengan ringan tangan ikut mempromosikan Taiwan melalui hobi saya sebagai blogger. Jadi, masakan saya harus membayar? Dibiayai, lah ("dibiayai" ini mungkin bentuk sopan dari "gratis"). Tapi, saya bersyukur, yang akhirnya, semua business trip itu dibiayai.

Business trip yang direncanakan berbayar itu (22-23 Okrober 2016), yang akhirnya digratiskan, dan saya ikut berangkat, sesampai di sana, memang saya sadari, itu adalah sebagai business trip termahal yang pernah diadakan oleh kantor urusan internasional kampus NKUAS. Untuk ini, Tabik, NKUAS. Kegiatannya dua hari berturut-turut. Kami tak dipulangkan, melainkan diinapkan semalam di sebuah hotel yang indah dan mewah (maaf, indah dan mewah ini versi saya. Bisa jadi standar kita berbeda).

Hari pertama, 22 Oktober 2016 pagi, berangkatlah dua bis penuh menuju Kenting, sebuah kawasan wisata di ujung selatan Taiwan. Setelah berhenti sejenak di sebuah perhentian yang bernama Ping Wei Xuan, yang berada di pinggir laut itu, kami diangkut lagi menuju Crying Lake.

Objek wisata Crying Lake ini, agaknya, lucu juga bagi kita orang Indonesia. Bagaimana sebuah paya yang hanya ditumbuhi dengan eceng gondok dan lili putih, bisa dijadikan sebuah tempat wisata? Jangan merendahkan dulu, justru inilah hebatnya Taiwan, Rekan sekalian. Sesuatu yang sangat sederhana, di Taiwan ini bisa disulap menjadi tempat yang cukup fantastis dengan cara dikemas dengan baik.

Tak berapa lama di Crying Lake yang berada di kawasan tanah suku Paiwan (salah satu suku asli Taiwan yang berkulit cokelat), kami berangkat ke Sisal Agave Industrial History Display Area. Mudah bilangnya, tempat ini adalah sisa-sisa reruntuhan perusahaan pembuat tali tambang dan kain dari daun sisal. Kalau Anda pernah melihat goni, maka itulah salah satu produk dari serat sisal ini. Reruntuhan perusahaan ini, tidak digusur, melainkan dibiarkan apa adanya, dan dijadikan tempat wisata yang sarat dengan pendidikan.

Melihat perusahaan pengolah sisal ini, saya jadi ingat ke Blangjruen, kampung kelahiran saya. Kemudian berpikir bagaimana caranya agar bekas perusahaan ExxonMobil yang megah itu, nantinya disisakan sedikit untuk Museum Migas sebelum mereka pergi dari tanah Blangjruen ini. Agar kami kelak bisa bercerita kepada anak-cucu kami bahwa dulu, tanah kita yang mulia ini, pernah menjadi salah satu penyumbang devisa negara terbesar melalui hasil migasnya yang melimpah ruah, yang sekarang sudah kering kerontang.

Capek juga berputar-putar di luasnya perusahaan yang sudah almarhum ini yang berisikan segala jenis mesin-mesin pengolah sisal, sampai akhirnya kami dipanggil balik untuk berangkat ke tempat lain yang katanya lebih gila lagi menariknya, yaitu Nuclear Plant South Exhibiton Hall, pembangkit listrik tenaga nuklir!

Menjelang Asar kami tiba di sana. Sebuah bangunan yang elegan, tapi, saya tidak melihat adanya reaktor nuklir yang berbentuk khas dengan bangunan bulat panjang menjulang tinggi itu. Setelah saya berada di dalamnya, O, ternyata ini hanya semacam aula berisi miniatur piranti-piranti yang digunakan dalam sebuah pembangkit listrik tenaga nuklir. Tempat ini dimaksudkan lebih kepada edukasi masyarakat tentang apa yang terjadi dalam sebuah reaktor nuklir, sampai akhirnya menjadi energi listrik yang menerangi seluruh negara Taiwan, sehingga Taiwan hampir tak pernah mati lampu.

Dalam aula ini, terdapat pula sebuah ruangan semacam bioskop. Aku masuk memenuhi tawaran pegawai, seraya menyambar kacamata tiga dimensi yang dianjurkan ke arahku. Aku berharap akan diperlihatkan sebuah film dokumenter bagaimana cara kerja reaktor nuklir. Tapi, jauh panggang dari api, kami malah disuguhi film kartun tiga dimensi. Saya membuka kacamata tiga dimensi itu, celingukan dalam temaram cahaya pantulan proyektor, mencari tulisan "exit" dan keluar, yang diikuti oleh teman-teman lain.

Pak Sha Wan adalah tujuan selanjutnya, sebuah pantai pasir putih kecokelatan yang dipenuhi payung-payung tempat berteduh berbayar, ditingkahi oleh debur ombak membahana, dihiasi piringan matahari yang bergerak mendekati ufuk barat, diramaikan oleh pemandangan beberapa wanita berbikini, maka tampaklah di pikiranku, mungkin seperti inilah pemandangan di pantai Kuta Bali. Aku belum pernah ke Bali, maka Pak Sha Wan ini bolehlah sebagai Bali-ku sebelum aku berkunjung ke Bali sungguhan.

Pas azan Magrib (sunset) kami pun meninggalkan Pak Sha Wan, diangkut ke hotel. Dan setelah check-in, kami dibawa lagi serta diturunkan di jalan Kenting yang berfungsi sebagai pasar malam, yang menyediakan segala jenis makanan dan barang khas Taiwan. Sampai di pasar malam ini, barulah aku tahu maksud istilah "Dinner-Self-Care" yang tertulis di tata tertib acara business trip ini. Ternyata artinya, kami dilepaskan ke sebuah pasar malam, dan mencari sendiri makanan yang kami sukai, dan, tentu, bayar sendiri!

Sebentar, jangan sewot dulu, bukan masalah gratis atau tidaknya, duhai, Rekanku, tapi semua kami malam itu tidak tahu mau makan apa, karena hampir segala sesuatunya mengandung babi dan daging, yang tentunya tidak halal. Maka menghiburlah kami akan diri kami dengan makan kentang goreng atau makanan laut (seafood) dengan terlebih dahulu berjuang dengan tanya-bertanya, "Apakah ini mengandung babi atau tidak?" Tapi pada sangkaku, banyak yang tak puas makan malam itu, karena hampir semua dari kami adalah makhluk "semego" -kalau belum makan nasi, berarti belum makan!

Tapi saya Usman, anak kelahiran Blangjruen, jika melihat barang gratis, pasti aku akan mengambilnya. Maka tadi, ketika makan siang, di saat akhirnya banyak nasi kotak yang lebih, ketua rombongan menawarkannya ke sembarang anggota, "Siapa yang mau makan lagi?" Maka hanya jari telunjuk Usman Blangjruen-lah yang terlihat menuding angkasa Taiwan. Sehingga aku diberikan nasi kotak sisa makan siang itu. Kelak nasi inilah yang menolongku malam itu setelah kembali ke hotel. Alhamdulillah.

Hari kedua (23/10/2016), pagi, pukul 7.30, kami turun ke lantai bawah tanah hotel, dimana katanya restoran prasmanan diadakan sebagai sepaket dengan pelayanan hotel kepada kami. Maka sekarang saatnya-lah membalas dendam dari kejadian semalam. Berbagai jenis makanan mulai dari sayur yang keriting sampai ke yang lurus, menu pembuka mulai dari yang puspawarna sampai ke yang suram tapi enak tak terperikan, kopi, susu, teh, selada, buah-buahan, semua itu seolah menjadi peluru dan mesiu bagi kami tentara dalam rangka "tueng bila" (balas dendam) atas kejadian semalam, yang berakhir dengan sebuah kemenangan, yaitu kenyang.

Pukul 9.30 pagi, kami naik ke bis, menuju tujuan selanjutnya, ke titik paling selatan negara Taiwan ( The southmost point of Taiwan). Kira- kira ini adalah sebagai Tugu Kilometer Nol-nya Taiwan. Letaknya di titik paling selatan, karena pulau Taiwan membujur mengikuti garis lintang, utara-selatan.

Hanya sesaat setelah sopir bus melepaskan kopling, tiba-tiba bus dihentikan. Rusakkah mesinnya? Bukan! Ternyata sudah sampai! Barulah aku tahu ternyata hotel yang kami tiduri semalam, dekat betul dengan tugu nol kilometer Taiwan. Jadi, bus tadi cuma ganti tempat parkir; dari depan hotel, pindah ke tempat parkir objek wisata tugu nol kilometer. Akhirnya kami turunlah.

Saat itu Taiwan masih panas, aku membawa payung, melangkah turun ke tugu. Baru sekitar tiga ratus meter aku melangkah, aku merasakan dejavu. Seolah-olah aku sudah pernah ke sini. Tapi aku abaikan saja perasaan ini. Kelak ketika beranjak pulang, baru aku yakin bahwa gambaran dejavu itu nyata adanya. Karena kami sudah berkunjung ke tempat ini pada tahun 2013 silam, ketika mengikuti program "degree bridging" di Taiwan -sebuah program yang digagas DIKTI untuk menjembatani dosen-dosen di Indonesia yang berniat kuliah S3 di Taiwan.

Tugu ujung selatan Taiwan ini tidaklah semegah Tugu Kilometer Nol Indonesia yang ada di pulau Sabang itu. Ini hanya sebuah tugu kecil mirip cangkang keong, melilit menirus ke atas setinggi kira-kira dua kali tubuh manusia. Tugu ini terpacak menembus tengah sebuah beranda kayu yang kira-kira lebarnya lima kali lima meter. Untuk keamanan pengunjung, beranda ini dipagari dengan kayu dari segala penjuru mata angin.

Cepek nian mencapai tugu ini. Menuju ke sana harus berjalan kaki melewati jalan berliku yang terbuat dari ubin, yang hampir sekilometer jaraknya. Untung saja tidak panas karena jalan dikerubuti pohon bakau yang menyelimuti tepian pantai itu. Begitu pulang lebih capek lagi, karena sekarang menanjak jalannya. Tapi, capek itu seolah sirna menghablur diserap langit manakala kami tiba di Dapeng Bay National Scenic Area, tujuan kami selanjutnya, setelah terlebih dahulu diajak ke Marine Food Culture Center, sebuah perusahaan pengolah ikan menjadi semacam kudapan yang siap dimakan.

Ya Tuhan, di Dapeng Bay National Scenic Area, kami diajak naik perahu wisata. Kami dibawa keliling jauh meninggalkan dermaga. Langit cerah, tak ada awan dan kabut yang melintangi padangan kami ke segala penjuru, air laut membiru, ombak kecil berkecipak menghantam lambung perahu sampai kadang tercurah mencapai tubuh kami, kami berteriak bergidik bercampur senang, ikan-ikan kecil bergerombol melompat ke atas permukaan air seolah bersorak menyambut kedatangan kami. Sungguh ciptaan keindahan yang disengaja oleh Tuhan seru sekalian alam.

Melihat keindahan ini, aku setengah berbisik kepada salah satu temanku asal Padang, "Wajar saja business trip kali ini mau dibuat berbayar. Ini perjalanan mahal, dan yang paling menyenangkan di antara business trip yang pernah aku ikuti." Temanku tertawa, menyahut, "Makanya, aku akan ikut sekalipun ini berbayar. Karena, lihat, jika kita berangkat sendiri, tentu akan menghabiskan uang lebih banyak lagi." Aku hanya mengangguk saja, kemudian tersengih. Malu juga aku rupanya. Teman saya ini, adalah salah satu mahasiswa Indonesia yang mendaftar sebelum business trip ini digratiskan. Dia tidak sama dengan aku yang kerap ekonomis.

Setelah berperahu ria ini, kami diajak menuju ke sebuah bangunan, yang kalau saya lihat, adalah restoran dapur bakar kerang. Di sini kami diberi kerang dan dibiarkan membakarnya sendiri sampai cangkangnya terbuka, dan memakan isinya. Gurih dan lemak. Tapi karena resah akan kandungan kolesterolnya, takut pula aku memakannya banyak-banyak.

Setelah pesta kerang bakar, maka selesailah business trip tanggal 22 sampai 23 Oktober 2016 itu. Setelahnya kami pun diangkut pulang pada pukul 17.30. Sebulan setelahnya, kemarin dulu, 25 Nopember 2016, kami diajak lagi main-main ke tempat-tempat wisata Taiwan, sebagaimana yang telah kusebut sepintas di muka, dan akan kuceritakan dalam tulisan yang lain. Semoga.
Ping Wei Xuan

Aku dan salah satu anggota suku Paiwan di Kenting

Crying Lake

Naik perahu di Dapeng Bay National Scenic Area

Crying Lake

Sisal

Mesin pengolah sisal

Aku dan serat sisal

Tali serat sisal

Reruntuhan perusahaan pengolah sisal

Aula pembangkit listrik tenaga nuklir

Salah satu simulasi di aula pembangkit listrik tenaga nuklir 

Salah satu neon box di aula pembangkit listrik tenaga nuklir 

Pantai Pak Sha Wan

Pasar malam di jalan Kenting

Jalan Kenting

Beli seafood di pasar malam jalan Kenting

Menuju tugu kilometer nol Taiwan

Jalan menuju tugu  kilometer nol Taiwan

Kami di tugu kilometer nol Taiwan. Sumber foto: Muhammad Farid

Marine food culture center

Salah satu produk di Marine food culture center

Pemandu di perahu Dapeng Bay National Scenic Area

Bakar-bakar kerang

No comments:

Post a Comment