Dari pengamatan saya dalam beberapa bulan ini, ada fenomena baru dalam dunia petani padi di Aceh. Kalau dulu petani padi indentik dengan pekerjaan orang tak berpunya, namun sekarang orang kaya pun sudah mulai menggarap sendiri sawahnya, walaupun tentu banyak menggunakan tenaga sewaan atau buruh tani.
Hal ini saya duga disebabkan oleh meningkatnya pengetahuan masyarakat akan bertani padi secara modern, pemanfaatan benih unggul dengan maksimal, dan tentu irigasi yang sudah sangat mendukung.
Akibatnya, dewasa ini hampir jarang terdengar gagal panen. Bahkan sering terjadi petani untung besar walau penggarapan sawah banyak menggunakan tenaga bayaran, buruh tani.
Konon katanya, labanya jauh mengalahkan gaji saya sebagai dosen PNS. Bukan, bukan. Bukan artinya aku mau turun ke sawah. Saya termasuk pemalas yang sedari kecil berharap-harap cemas agar aku tidak usah membakar kulit di sawah. Aku cukup di kantor saja. Aku sudah merasa sangat cukup walau tetap mengharap pendapatan yang lebih lagi. Manusiawi !
Jika dilihat dari jumlah produksi padi secara global tentu ini adalah kabar baik. Tapi bagi masyarakat miskin yang selama ini menggunakan tanah sewaan dari orang kaya, ini adalah mimpi buruk. Pasalnya, mereka akan kehilangan sawah tempat bercocok tanam karena tuan tanah mengambil alih sawahnya untuk dikelola sendiri.
Walhasil, banyak petani miskin yang awalnya menanam padinya sendiri sekarang turun kasta menjadi buruh tani untuk menopang hidupnya. Nah, ujung-ujungnya, mau modern apa tidak, yang merana tetap orang miskin.
Maka wajar jika ada buruh tani berdemonstrasi untuk menolak mesin potong padi dan mesin tanam padi, karena dari pekerjaan itulah satu-satunya jalan bagi mereka untuk menarik uang dari saku tuan tanah.
Ditulis pada tanggal 12 Juli 2016
No comments:
Post a Comment