Friday, November 11, 2016

Mutiara-mutiara Syuhada dari Tanah Keureutoe

Istana kerajaan Aceh Darussalam berhasil diduduki Belanda pada hari Rabu 7 Januari 1874. Tiga bulan kemudian, pada hari Selasa 7 April 1874, hulubalang Keureutoe, daerah di mana saya dilahirkan, tunduk kepada Belanda dengan ditandatanganinya surat perjanjian pendek dengan Belanda oleh hulubalang Keureutoe.

Surat perjanjian pendek yang berisi tiga pasal ketundukan hulubalang kepada Belanda disebut dengan "Korte Verklaring". Pada saat itu, yang bertahta di negeri Keureutoe adalah Ampon Chik Mulieng Abdul Majid. Korte Verklaring itu tiga belas tahun kemudian diperbaharui lagi olehnya pada hari Selasa 19 April 1887.

Keureutoe adalah salah satu wilayah otonom yang merupakan federasi dari kerajaan Aceh Darussalam. Keureutoe merupakan salah satu wilayah hulubalang yang diperhitungkan oleh Sultan Aceh. Ini karena wilayah tersebut mempunyai penduduk yang cukup banyak. Karenanya, dalam rapat-rapat penting Sultan, hulubalang Keureutoe pasti dilibatkan. Wilayah Keureuto sekarang masuk ke dalam kabupaten Aceh Utara, membentang dari sungai Krueng Pasee Gedoeng sampai Sungai Jambo Ayee Panton Labu.

Pada saat kepemimpinan Ampon Chik Mulieng Abdul Majid, negeri Keuretoe masih beribukota di Mulieng, Simpang Mulieng sekarang, kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara. Namun selanjutnya ibukota dipindahkan ke Jrat Manyang, kecamatan Tanah Pasir sekarang, Aceh Utara, pada masa kepemimpinan Ampon Chik Ali Basyah yang juga menandatangani Korte Verklaring dengan Belanda pada hari Senin 17 Agustus 1891.

Ampon Chik Ali Basyah dengan istrinya Cut Nyak Asiah tidak memiliki anak untuk meneruskan tahta Keureutoe. Oleh karena itu, setelah suaminya mangkat, Keureutoe dipimpin oleh Cut Nyak Asiah Sendiri. Cut Nyak Asiah mengambil dua keponakannya dari saudaranya Teuku Ben Beurghang (Blangjruen), untuk dijadikan anak angkat. Dua anak itu adalah Teuku Syam Syarif dan Teuku Cut Muhammad. Dua anak inilah yang kelak diharapkan oleh Cut Nyak Asiah dapat meneruskannya memegang tampuk pimpinan Keureutoe.

Seiring berjalannya waktu, maka Teuku Syam Syarif lah yang diangkat oleh Belanda untuk menjadi hulubalang Keureutoe yang kemudian digelari dengan Teuku Chik Bintara. Sedangkan Teuku Cut Muhammad memilih berselisih dengan Belanda. Malah, pada saat Sultan Aceh berada di daerah Pasee untuk menghindar dari kejaran Belanda yang telah menguasai Banda Aceh (kemudian diganti dengan Kutaraja), Teuku Cut Muhammad ikut membantu Sultan bergerilya melawan Belanda.

Karenanya, Sultan mengangkat Teuku Cut Muhammad menjadi hulubalang Keureuto dengan surat pengukuhan (sarakata) yang dibubuhi cap sikureung (cap resmi kerajaan Aceh Darussalam). Sehingga kehulubalangan Keureutoe saat itu mempunyai dua hulubalang: Teuku Chik Bintara yang diangkat oleh Belanda dan Teuku Cut Muhammad yang diangkat oleh Sultan.

Kebingungan masyarakat terjadi akibat dualisme kepemimpinan ini. Teuku Chik Bintara yang bekerja sama dengan Belanda menetap di pusat pemerintahan Keureutoe yang berada di utara (Baroh) sekitar pesisir laut. Sementara Teuku Cut Muhammad, yang melawan Belanda, dengan sendirinya menetap di pegunungan yang berada di sebelah selatan (tunong). Sehingga masyarakat menjuluki Teuku Chik Bintara dengan Teuku Chik Di Baroh dan Teuku Cut Muhammad dengan Teuku Chik Di Tunong, sesuai dengan daerah di mana mereka berada.

Menarik, tak seberapa jauh ke selatan pusat Keureutoe di Jrat Manyang, ada sebuah wilayah yang masih berada di bawah kekuasaan Kereutoe, yaitu wilayah hulubalang empat Pirak. Saat itu wilayah hulubalang ini dipimpin oleh Teuku Ben Daud. Dia mempunyai seorang anak gadis yang jelita, Cut Nyak Meutia namanya. Kecantikannya termasyhur kemana-mana, membuat pejaka-pejaka bangsawan pada waktu itu memimpikan dan bersaing untuk mempersuntingnya.

Dalam kecamuk persaingan itu, Cut Nyak Asiah dengan sigap melamar Cut Nyak Meutia untuk menjadi menantunya, menjadi istri dari anak angkatnya, Teuku Syam Syarif. Pinangan itu tak tertolak, Teuku Ben Daud menerima pinangan itu. Cut Nyak Meutia menjadi permaisuri Teuku Syam Syarif. Pernikahan itu menjadi "royal wedding" di Pirak yang juga menjadi pesta rakyat. Pernikahan ini terjadi pada tahun 1890, sepuluh tahun sebelum Teuku Syam Syarif diangkat menjadi hulubalang Keureutoe.

Cut Nyak Meutia dibesarkan di Pirak yang ayahnya, Teuku Ben Daud, sangat anti-Belanda. Hal itu membentuk watak Cut Nyak Meutia yang mana sifat anti-Belanda tertanam di hatinya serta merasuk ke sumsum tulangnya. Di sisi lain, Teuku Syam Syarif sangat mesra dengan Belanda penjajah itu. Hal itulah yang memantik ketidakcocokan antara dua sejoli ini. Cut Nyak Meutia membujuk suaminya Teuku Syam Syarif agar melawan Belanda, sementara Teuku Syam Syarif mati-matian merayu istrinya Cut Nyak Meutia untuk melunakkan sikapnya kepada Belanda.

Bujuk tinggal bujuk, rayu pun tinggal rayu. Keduanya tidak sebiji padi pun bergeser dari sikapnya. Yang satu tetap membenci Belanda, yang satunya lagi malah bekerja sama dengan penjajah itu. Saat itulah sahib riwayat mengabarkan bahwa ikatan pernikahan mereka merenggang. Yang puncaknya terjadi saat Cut Nyak Meutia memilih pulang ke orang tuanya di Pirak.

Teuku Syam Syarif meminta agar Cut Nyak Meutia dikirim ke Jrat Manyang lagi karena mereka belum bercerai. Inilah yang membuat Teuku Ben Daud murka, seraya menantang Teuku Syam Syarif menjemput sendiri istrinya di Pirak jika memang anaknya masih dianggap istri. Karena hanya barang yang layak dikirim-kirim seperti itu.

Pastinya Teuku Syam Syarif tidak berani menyambangi mertuanya di Pirak tersebab perbedaan ideologi dari kedua mereka. Selanjutnya memang Cut Nyak Meutia tak pernah dijemput oleh Teuku Syam Syarif di Pirak. Karena tidak pernah diberi nafkah lagi, maka mereka dipisahkan. Maka putuslah tali pernikahan mereka berdua. Cut Nyak Meutia sekarang menjadi janda. Namun tetap masih cantik. Tambahan lagi, beliau belum punya anak dari hasil pernikahan dengan Teuku Syam Syarif.

Teuku Cut Muhammad, kakak Teuku Syam Syarif, yang memilih melawan Belanda kemudian menikahi Cut Nyak Meutia yang merupakan janda dari adiknya. Dari perkawinan dengan Teuku Cut Muhammad inilah Cut Nyak Meutia akhirnya mengandung seorang bayi berdarah pejuang. Anak itu kelak diberinama Teuku Raja Sabi, pewaris tahta Keureuto.

Cut Nyak Meutia bersama suami barunya Teuku Cut Muhammad, berjuang keras melawan Belanda. Bergerilya meninggalkan kemewahan jabatan di istana dan naik gunung memimpin laskar melawan Belanda mengikuti titah Sultan. Sampai akhirnya, setelah keluarga Sultan Aceh ditangkap Belanda dan diancam akan dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) maka Sultan terpaksa turun gunung pada hari Jumat 9 Januari 1903 menyerah kepada Belanda.

Saat terdengar bahwa Sultan telah menyerah, maka Teuku Cut Muhammad berkesimpulan akan ikut juga turun gunung, mengikuti junjungannya. Maka pada hari Senin 5 Oktober 1903, Teuku Cut Muhammad menyerah kepada Belanda di Lhokseumawe.

Mendengar itu, betapa senangnya Cut Nyak Asiah, anak angkat kesayangannya akan bisa berkumpul lagi dengannya setelah lama berpisah. Begitu juga dengan Teuku Chik Bintara, sekalipun berbeda pandangan, tak luntur pula cinta kepada kakaknya yang sama-sama dibesarkan oleh Cut Nyak Asiah.

Teuku Cut Muhammad dan istrinya Cut Nyak Meutia selanjutnya tinggal bersama di istana Keureutoe di Jrat Manyang bersama ibu angkatnya Cut Nyak Asiah dan Teuku Syam Syarif beserta keluarganya.

Belum saya ketahui apakah ada yang menuliskan bagaimana kehidupan mereka di istana Kuta Jrat Manyang? Tapi kita bisa mengukur dari hati ke hati. Cut Nyak Meutia dulu pernah tinggal di sini saat masih menjadi istri Teuku Syam Syarif. Dan sekarang terbalut berkelindan lagi dengan mereka di tempat yang sama. Saya rasa siapa saja akan risi dibuatnya. Mungkin hal inilah yang mengakibatkan Teuku Cut Muhammad dan Cut Nyak Meutia mengambil sikap untuk keluar dari istana Jrat Manyang pindah ke Teupien Gajah (dekat Panton Labu).

Tak seberapa lama di situ, prahara datang menerpa. Teuku Cut Muhammad dituduh Belanda mendalangi sebuah pembunuhan terhadap anggota marsose Belanda di Meuraneh Paya. Kejadian ini terjadi pada malam Jumat 26 Januari 1905. Sebagai akibatnya, Teuku Cut Muhammad dihukum tembak di Lhokseumawe pada bulan Maret 1905. Beliau selanjutnya dimakamkan di masjid Moen Geudoeng, Lhokseumawe. Maka sekarang tinggallah Cut Nyak Meutia menjadi janda lagi bersama satu anak semata wayangnya, Teuku Raja Sabi.

Pang Nanggroe, panglima yang gigih dan setia melawan Belanda bersama Teuku Cut Muhammad, ketika membesuk Teuku Cut Muhammad di Lhokseumawe sebelum ditembak, ia dititipkan amanah oleh Teuku Cut Muhammad agar sudi kiranya menikahi istrinya Cut Nyak Meutia dan menjaga anaknya Teuku Raja Sabi.

Setelah Teuku Cut Muhammad ditembak, Cut Nyak Meutia tergerak lagi hatinya untuk melanjutkan lagi pemberontakan kepada Belanda. Beliau pun bersama pengikutnya naik gunung untuk bergerilya lagi. Di hutan sana, Pang Nanggroe meluluskan amanah Teuku Cut Muhammad untuk menikahi Cut Nyak Meutia. Mereka pun menikah di hutan belantara itu. Maka sekarang dua sejoli itu menjadi musuh yang cukup ditakuti Belanda.

Penyerangan demi penyerangan dilakukan dengan kemenangan yang gilang gemilang. Tapi itu tidak berlangsung terus menerus, dalam sebuah pertempuran pada hari Senin 26 September 1910 di Paya Ciciem (kira-kira 1 km timur Lhoksukon) yang dipimpin oleh Van Slooten, Pang Nanggroe syahid diterjang peluru marsose. Pang Nanggroe kemudian dimakamkan di Meunasah Pantee, Lhoksukon.

Perlu diketahui bahwa, pada masa Pang Nanggroe bergerilya di hutan, tentunya dia tidak sendiri memimpin laskar. Mereka berjuang bersama beberapa ulama yang juga memimpin laskar-laskar pejuang Muslimin. Yang terkenal di antaranya adalah Teung Chik Paya Bakong, yang juga dikenal dengan sebutan Teungku Seupot Mata karena matanya sudah rabun; Teungku Mata Ie, adik Teungku Seupot Mata; Teungku Di Barat; Teungku Lueng Keubeue; Pang Lateh; dan lain-lain, yang semuanya mereka sangat layak digelari pahlawan.

Setelah Pang Nanggroe syahid, tentu saja perjuangan menjadi mengendur. Pasukan Cut Nyak Meutia akhirnya berniat mundur ke Takengon. Sampai akhirnya saat melintasi Alue Kurieng (19 km selatan Lhoksukon), di mana Teungku Seupot Mata juga ikut bersamanya, mereka bertemu dengan marsose Belanda dan terjadilah pertempuran. Cut Nyak Meutia dan Teungku Seupot Mata syahid bersama beberapa laskar setianya dalam pertempuran tersebut. Ini terjadi pada hari Senin 24 Oktober 1910, sebulan setelah Pang Naggroe syahid.

Dalam pertempuran di Alue Kurieng ini, Teuku Raja Sabi berhasil diselamatkan oleh laskar. Teuku Raja Sabi diangkat sebagai pemimpin untuk meneruskan perjuangan ibunya. Dia dijadikan pemimpin sebagai simbol perjuangan rakyat Keureutoe karena masih kecil, bukan sebagai pemimpin yang mengatur pertempuran. Teuku Raja Sabi tetap mengembara di hutan sampai tujuh tahun setelah ibunya Cut Nyak Meutia syahid.

Sekalipun penyerangan terhadap Belanda tidak dimungkinkan lagi, tapi Teuku Raja Sabi tidak turun menyerah. Bahkan, Belanda yang ingin segera menyelesaikan perang Aceh, sempat membuat sayembara bagi siapa saja yang dapat menurunkan Teuku Raja Sabi dari gunung, akan diberi hadiah besar. Tapi tetap saja Teuku Raja Sabi tidak ada yang mau menurunkannya.

Menurut sahib riwayat, Teuku Raja Sabi akhirnya hanya tinggal di hutan berdua dengan panglimanya yang sangat setia, Pang Lubuk nama panglima itu. Selama tujuh tahun mereka tinggal di hutan belantara. Sampai pada akhirnya, tahun 1917, Pang Lubuk dan Teuku Raja Sabi memutuskan untuk turun gunung ke Alue Ie Mirah. Pada saat itu, pamanya Teuku Chik Bintara sudah tinggal di Blangjruen. Rumahnya sekitar dua ratus meter ke belakang kantor KUA Blangjruen.

Setelah pergolakan batin yang cukup berat karena takut tidak diterima pamannya, akhirnya atas bantuan temannya di Alue Ie Mirah, Teuku Raja Sabi pulang juga ke Blangjruen ke rumah pamanya. Dengan menunggangi kereta api, Teuku Raja Sabi turun di stasiun kereta api Blangjruen yang berlokasi di depan kantor polisi Blangjruen sekarang.

Teuku Raja Sabi sesampai di rumah pamannya disambut oleh mabitnya (bibinya) Cut Nyak Bah karena kebetulan Teuku Chik Bintara lagi sedang tidak di rumah. Di rumah juga ada sepupunya, Teuku Muhammad Basyah dan Cut Nur. Teuku Raja Sabi memperkenalkan dirinya bahwa dia adalah anak Teuku Cut Muhammad, anak Cut Nyak Meutia.

Pada saat itu keluarga Teuku Chik Bintara masih ragu pengakuan itu, karena memang mereka sudah lama tak bertemu, dulu terakhir di kampung Teuku Raja Sabi masih bayi. Istimewa pula, sebelumnya telah ada seorang anak yang bernama Teuku Raja Sabi (ternyata kemudian diketahui palsu) juga telah diterima oleh Belanda.

Setelah Teuku Chik Bintara pulang, Teuku Raja Sabi ditanyai oleh pamannya apa saja pusaka yang pernah diwarisi oleh orang tuanya sebagai bukti bahwa benar ia adalah Teuku Raja Sabi. Sontak Teuku Raja Sabi teringat bahwa dulu pernah memberi cincin kepada Teungku Meuhoen di Matang Mane, karena ia dan Pang Lubuk tidak punya uang untuk membeli baju.

Pada Teungku Meuhoen, cincin itu disuruh jual dan uangnya dipakai untuk membeli baju. Teungku Meuhon menerima cincin itu tapi tidak dijualnya, melainkan disimpan. Teungku Meuhoen menyanggupi untuk membeli baju untuk mereka, dan cincin itu disimpan oleh Teungku Meuhon. Biar tidak hilang di hutan, katanya.

Matang Mane, kampung di mana Teungku Meuhon tinggal, hanya satu kilometer jaraknya dari Blangjruen. Maka dipanggillah Teungku Meuhoen untuk datang ke Blangjruen dan membawa cincin itu. Teungku Meuhon pun datang dengan cincin warisan tersebut dan diserahkan kepada Teuku Chik Bintara.

Setelah melihatnya, sekarang Teuku Chik Bintara yakin betul bahwa yang di hadapannya adalah benar keponakannya, Teuku Raja Sabi. Peristiwa ini terjadi pada hari Kamis 13 Maret 1919. Setelah Teuku Chik Bintara mengumumkan peristiwa ini kepada warganya di Blangjruen, maka masyarakat berduyun-duyunlah menyambutnya, Teuku Raja Sabi kemudian dipeusijuek (ditepungtawari) oleh pemuka masyarakat Keureutoe yang ada di Blangjruen saat itu.

Oleh Teuku Chik Bintara, turunnya Teuku Raja Sabi juga dilaporkan kepada kontroler Belanda di Lhoksukon. Teuku Raja Sabi diterima dengan baik oleh Belanda. Selanjutnya Teuku Raja Sabi disekolahkan Belanda ke Banda Aceh untuk memahami baca-tulis huruf latin, karena yang dia kuasai hanya huruf Arab yang dipelajarinya pada Teungku Lueng Keubeu di hutan dulu.

Tercatat dalam sejarah, Teuku Raja Sabi selanjutnya pulang ke Blangjruen lagi dan mengelola sekolah Bustanul Maarif yang diresmikan pada bulan April 1938. Sekolah ini menjadi cikal bakal "Sekolah Abeuek Langgeeh" yang ada di Blangjruen, yang sekarang menjadi sekolah TK dan SLB Blangjruen. Lokasinya tepat sebelah timur rumah Teuku Chik sendiri. Sekolah ini diprakarsai oleh Teuku Chik Muhammad Basyah, hulubalang Keureutoe yang menggantikan ayahnya Teuku Chik Bintara yang meninggal pada tahun 1932.

Setelah Indonesia merdeka, Teuku Chik Muhammad Basyah menjabat Wedana di Lhokseumawe. Hulubalang Keureutoe dipegang oleh Teuku Raja Sabi. Suatu posisi yang sepatutnya bagi Teuku Raja Sabi karena dialah keturunan hulabalang Keureutoe yang mendapatkan pengukuhan langsung dari Sultan Aceh.

Selamat Hari Pahlawan, 10 Nopember 2016
Kaohsiung, Taiwan Selatan
Sekolah Bustanul Maarif di Blangjruen. Sumber foto: Yakub, 1979

Makam Pang Nanggroe dan Pang Lateh di Meunasah Pantee Lhoksuekon. Sumber foto: Internet

Saya berlatarkan rumah orang tua Cut Nyak Meutia di Meunasah Masjid Pirak. Dari kiri ke kanan: Anak saya Nusayba, Saya, Istri saya, dan salah satu famili Cut Nyak Meutia

Teuku Raja Sabi. Sumber foto: Ahmad dkk., 1993 

Lukisan Cut Nyak Meutia di rumahnya di Pirak. Foto ini dimodelkan oleh cucunya, Cut Nursiah. Yang menurut kabar ahli waris, Cut Nusrsiah inilah yang paling mirip dengan Cut Nyak Meutia.

2 comments:

  1. Kenapa tidak disampaikan juga, bahwa Tgk Raja Sabi akhirnya meninggal dibunuh bangsa sendiri, yakni gerombolan Husen mujahid ditangkap dilhoksukonlalu dibawa ke Lhokseumawe sesuai kesaksian m.yakub dlm buku cut Meutia pahlawan nadnasio dan puteranya (1979).dua setelah itu diketahui semua yg dibawa ke lhokseumawe sudah dibunuh..

    ReplyDelete