Kalau Anda mencari-cari informasi tentang Taiwan di internet, mungkin Anda akan menemui kalimat senada dengan ini, "Taiwan, ketika makan di luar lebih murah daripada memasak di rumah." Apakah ini benar? Selama hampir empat tahun saya merantau di Taiwan, sepertinya, kalimat itu benar.
Orang-orang Taiwan jarang sekali memasak di rumah, lebih-lebih anak-anak muda. Mereka memilih menghambur ke warung makan jika jam makan tiba. Asrama tempat tinggal kami, sama sekali tidak menyediakan ruang dapur. Buat apa, karena sama sekali tidak berguna bagi mereka. Tapi giliran kampus mulai menerima mahasiswa Indonesia, sepertinya mereka harus menyediakan dapur. Kalau tidak, maka kamar akan berubah menjadi dapur darurat.
Istimewa lagi, katanya, mencari kamar kost yang bisa memasak bukan main sulitnya. Lebih aneh lagi, ada rumah kost yang menyediakan dapur, tapi jenis masakan yang ingin dimasak, dibatasi. Cuma boleh memasak masakan rebus-rebus; mi rebus, telur rebus, ikan rebus. Semua rebus. Giliran mau menggoreng ikan atau memasak kuah bersantan, rendang Padang, nehi! Tidak boleh!
Terkait warung makan, berbeda dengan daerah saya, Aceh, di mana warung makan itu identik dengan tempat makannya anak kost, musafir, dan orang kantoran yang tempat kerjanya jauh dari rumah. Dan juga saya, jika lagi marah-marahan sama istri, biasanya kalau lapar saya kabur ke warung. Tapi, di Taiwan ini, beda, warung makan itu milik semua kalangan, mulai dari ibu-ibu rumah tangga yang rambutnya kribo acak-acakan karena baru bangun tidur, sampai bapak-bapak yang pakai kaos training. Semua mengantre bersama anak kost dan musafir di warung-warung makan pada jam-jam makan.
Kadang-kadang sifat dengki saya kerap muncul di saat saya lapar tapi harus mengantre panjang untuk hanya sekedar membeli sepiring nasi vegetarian. "Waduh, kenapa mereka nggak memasak sendiri saja, sih! Punya rumah, punya dapur, nggak dipakai. Malah ngantre di sini!" Begitu kadang saya membatin saat antrean di warung makan begitu panjang.
Malah ada yang unik lagi, ketika jam makan tiba, biasanya makan malam, di warung vegetarian, saya melihat sebuah keluarga muda dengan tiga anak, mereka sering saya temui makan bersama. Satu meja dimonopoli sama mereka. Selalu pada meja yang sama. Biasanya, yang mengambil lauk dan mengantre ke kasir adalah bapaknya. Ia mengambil lauk berupa sayur-mayur sampai banyaknya dikira cukup untuk dimakan berlima, dan kemudian mengantre ke kasir untuk membayar dan mengambil nasi. Istri dan ketiga anaknya menunggu di meja makan. Hampir setiap hari seperti itu. Saya suka sekali melihat keakraban keluarga ini. Kadang saya tersenyum simpul melihat cara mereka makan. Lauk aneka sayur tercampur dalam satu wadah besar. Di tangan mereka semangkuk kecil nasi. Dengan sumpit nasi itu dimakan, begitu juga sayur.
Di belakang kampus saya, NKUAS, ada dua warung vegetarian. kedua-duanya ramai terus pada jam makan. Harus mengantre. Itu biasa. Tapi celakanya, warung vegetarian yang satunya, yang terkenal sangat murah itu, sering pula tutup tanpa alasan yang jelas, seperti hari ini (12/1/2017). Akibatnya, pelanggan mereka tumpah ruah menyerbu ke satu warung vegetarian yang selalu buka. Maka, antrean bisa mengular mulai dari dalam warung sampai ke jalan, sampai di trotoar berbelok ke kiri atau ke kanan agar tidak dilindas pengguna jalan. Saat itulah saya mengamuk dan marah-marah sembari mencomel, tapi cuma dalam hati. Takut ditusuk sumpit beramai-ramai sama ibu-ibu dan juga bapak-bapak itu.
No comments:
Post a Comment