Pukul tiga sore, di perhentian bus depan kampus saya, NKUAS, duduk di sebuah bangku panjang berjejer dua anak SMA Taiwan. Yang satu badannya gemuk berkulit putih. Yang satunya lagi kurus ceking, juga berkulit putih.
Saya baru saja sampai di situ, juga ingin menunggu bus. Saya menebar senyum kepada dua anak itu, kemudian duduk di samping mereka, di paling ujung. Sejenak kemudian saya melihat gelagat aneh pada anak muda yang duduk di samping saya. Dia berkali-kali melihat ke bawah sol sepatunya.
Pertama ia melihat sol sepatunya yang kiri, saya juga ikut melirik. Aman, tidak ada apa-apa yang menempel di sana. Begitu juga yang sebelah kanan, aman. Kemudian ia bilang sesuatu ke teman di sampingnya. Temannya langsung saja mengikuti jejaknya tadi; mengangkat kaki kemudian mengintip ke bawah sol sepatunya. Sama, saya juga ikut melirik. Kaki kiri, aman. Kaki kanan, juga aman. Tak ada sesuatu yang menempel di sana.
Kemudian mereka berdua menatap ke arah saya. Saya menatap mereka berdua secara bergantian. Mereka berdua kemudian saling bersitatap, kemudian salah satunya mengipas-ngipaskan tangannya di depan hidungnya. Sebagai tanda ada bau yang tak sedap.
Saya mulai curiga, jangan-jangan mereka pikir bau itu dari saya. Hidung saya yang masih disaput flu, kemudian saya paksa-awaskan. Saat itulah saya menyadari bahwa ada bau tahi kucing di sekitar kami.
Sontak saya langsung mengecek bawah sandal keren saya itu. Tak perlu disuruh-suruh. Saya melihat sandal sebelah kiri. Mereka yang duduk di samping saya ikut melihatnya. Sandal kiri aman. Sebelah kanan, juga aman. Kemudian saya melihat ke sekitar saya.
Tepat di depan kami, ada sebatang pohon kira-kira sejengkal diameternya, tingginya sekira dua meter, dan daunnya hijau bundar-bundar selebar jempol orang dewasa. Pohon ini memang sengaja tidak dibiarkan tumbuh tinggi. Pohon yang sudah besar itu terlihat buntung begitu saja di ujung-ujung cabang atasnya, dan dibiarkan hidup dengan tunas-tunas yang tumbuh mencuat dari cabang-cabangnya yang besar. Pohon ini tak ubahnya seperti bonsai.
Pohon ini ditanam di trotoar yang kiri-kanan-muka-belakangnya dikepung oleh semen. Namun, setengah jengkal dari keliling uram pohon itu, semen itu berakhir. Di situ terlihat tanah hitam, yang walaupun sempit, maka tumbuhlah rumput-rumput yang mengelilingi uram pohon itu. Sekarang, ke uram pohon itulah mata saya tertuju.
Eh, mata saya menangkap sesuatu. Ada tahi anjing di sana. Saya tahu itu tahi anjing dari bentuk konturnya. Tapi, baunya seperti tahi kucing. O, berarti bau tahi anjing sama dengan bau tahi kucing? Ilmu baru ini. Baru tahu saya, bahwa tahi anjing dan kucing serupa baunya.Terus, alasan apa mereka kalau bertemu selalu berantem? Bau tahinya saja sama.
Saya menggamit lengan anak Taiwan yang duduk di samping saya. Dia menoleh. Saya menunjuk tahi anjing itu. Dia melihatnya. Kami pun tertawa. Maka sekarang hilanglah kecurigaan di antara kami, yang tadinya cenderung saling menuduh sebagai kurir tahi kucing.
__________
Hasyiah:
Uram adalah bagian paling bawah dari pohon. Berasal dari bahasa Aceh, tapi sekarang sudah dimasukkan ke KBBI edisi ke-5. Sehingga kata "uram" ini sudah baku sebagai kosakata bahasa Indonesia.
No comments:
Post a Comment