Mulai kemarin malam (31/12/2016), malam tahun baru, di mana orang-orang di luar sana sedang berpesta kembang api, saya malah meringkuk di kamar, di atas kasur keras yang begitu terasa alotnya di saat sedang sakit. Badan sedikit demam. Tenggorokan mulai gatal, kemudian menjalar ke hidung dan dalam telinga. Dilanjutkan bersin-bersin dan hidung tersumbat. Suara pun mulai bindeng. Saya terserang flu, sebuah penyakit yang remeh bagi orang lain. Tapi bagi saya, penyakit ini menjadi tidak sederhana.
Jika flu yang hanya berupa hidung meler, tentu tak menakutkan bagi saya. Tapi kalau flu disertai demam dan tenggorokan gatal, saya haruslah hati-hati. Karena flu semacam ini akan bertahan lama dan biasanya akan meninggalkan batuk sebagai warisan yang awet, lama sembuhnya.
Yang lebih bahaya lagi, jika bersin-bersin terlalu sering, tulang sinus saya juga akan terkena imbasnya. Ia akan meradang, sehingga kambuhlah sinusitis yang pernah mendera saya pada masa-masa muda dulu. Yang sedikit saja kepala bergetar, ngilu sampai terasa ke pangkal gigi atas. Karena itulah, jika virus flu menyerang saya, pilihan yang harus saya jalani adalah kabur ke klinik jika sedang di Taiwan. Kalau di Aceh, ke mantri.
Namun, antiknya, keesokan harinya (1/1/2017), gejala flu yang saya rasakan semalam seolah-olah sirna tak berbekas. Saya malah melupakannya. Tetap bersantai ria dengan normal, menghabiskan liburan tahun baru di Kaohsiung Main Station sambil bercakap-cakap dengan siapa saja yang saya kenal– maaf, jika saya menceritakan tempat ini-ini saja, karena memang saya “tidak pernah” ke tempat lain di Taiwan ini, selain ke Kaohsiung Main Station.
Jika kondisi sepi, tak ada teman untuk mengobrol, saya membuka gadget dan membaca buku. Jika ada teman, saya tutup, mengobrol lagi. Begitulah saya menghabiskan liburan tahun baru di tempat yang paling bersejarah bagi saya ini, sampai malam menjelang Isya.
Begitu saya pulang, sampai di lab lagi, baru saya merasakan badan saya meng-aneh lagi. Persis seperti kemarin malam. Kali ini malah tenggorokan saya terasa kering, yang akan terasa nyaman jika saya batuki terus, karena gatal pun masih terus terasa. Setakat tiga puluh menit kemudian, badan saya juga terasa demam. “Ini tidak benar. Saya harus mencari obat. Harus ke klinik,” saya membatin sendiri.
Tapi, hari ini hari Minggu, klinik langganan saya pasti tutup. Namun, saya tetap saja harus mencari obat. Harus keluar. Dalam perjalanan ke luar kampus, di kepala saya ada tiga pilihan dalam rangka menaklukkan flu yang menyerang saya ini. Pertama, saya ke klinik dulu siapa tahu buka. Kedua, ke minimarket Watson, yang biasanya ada obat-obatan pasar. Ketiga, ke apotek.
Satu persatu pilihan itu saya lakukan. Ke klinik, gagal. Klinik benar-benar tutup. Balik kanan, menuju Watson. Kata-kata Mandarin untuk “influenza” sudah saya siapkan dengan ucapan yang betul-betul sudah saya fasihkan, untuk nantinya saya sampaikan ke Mbak SPG yang cantik-cantik itu. Mbak SPG menggeleng setelah mendengar permintaan saya. Tidak ada obat flu di sini. Yang ada hanya obat sakit kepala. Pilihan kedua, berarti juga gagal. Menuju pilihan ketiga, ke apotek, yang juga langganan saya. Saya selalu membeli minyak angin Cap Lang di apotek ini, untuk saya bawa pulang ke Aceh setiap liburan semester.
Sampai di sana saya bilang keluhan saya ke bapak yang punya apotek; tenggorokan saya gatal, saya kena flu. Saya maunya diberikan obat flu pasaran saja, sekelas Pro Cold di Indonesia. Alih-alih langsung diberi obat, bapak itu malah mewawancarai saya, bak dokter saja. Saya hanya mengangguk, membenarkan gejala-gejala yang ia utarakan. Pertanyaan terakhirnya, “Sudah berapa hari?” “Sehari,” jawab saya dengan mengacungkan jari telunjuk ke atas, sebagai isyarat angka satu.
Saya mulai menangkap keanehan, ia rupanya akan meracik obat untuk saya. “Eh, kamu bukan dokter. Saya mau obat pasar saja,” saya ingin bilang seperti itu. Tapi, tangan saya seperti kaku untuk melambai. Lidah saya juga mendadak kelu. Saya tak sanggup melarangnya untuk memberi obat itu kepada saya. Padahal, saya hanya mau obat pasar saja. Bukan diracik seperti itu. Tapi, belum saja sampai dua menit, obat-obatan itu sudah selesai diraciknya dan diklem rapi dalam tiga bungkus, untuk tiga kali minum.
“Ba shi – Delapan puluh.” Ia menyodorkan obat itu kepada saya sambil bilang harga. Wajah saya kecut. Tapi, saya ambil juga obat itu dan membawanya pulang setelah membayarnya. Sampai di lab, setelah menatap obat itu lekat-lekat, saya putuskan untuk tidak meminumnya. Saya takut karena tidak yakin akan kualifikasi bapak itu. Berarti, pilihan ketiga juga gagal. Alhasil, tidak ada obat flu untuk saya malam ini.
Sampai pukul sebelas malam di lab, kemudian saya pulang ke asrama. Sesampai di sana, saya melihat salah satu kamar anak master asal Indonesia masih terbuka. Saya masuk, menanyakan apakah mereka mempunyai obat flu? Ada, mereka punya banyak malah. Saya diberikan satu keping yang berisikan empat pil obat flu buatan Indonesia, Fludane namanya. Obat itulah yang dapat mengurangi gejala flu saya semalam. Saya bisa tidur nyenyak.
Sungguh pun telah ada obat, hari ini (2/1/2016), sekitar jam sebelas siang, saya tetap memeriksanya ke klinik. Agar bisa diberi obat yang lebih mematikan gejala flu secara menyeluruh. Karena nanti di sana pasti tenggorokan dan hidung saya akan diperiksa.
Syukur, klinik sudah buka, sekalipun hari ini masih tanggal merah di Taiwan.
Seperti biasa, di klinik saya diberikan obat untuk tiga hari minum. Dan yang paling penting, setiap saya datang dengan keluhan flu, saya pasti diberikan obat yang harus saya minum saat mau tidur malam. Obat ini khusus untuk menghindari hidung tersumbat yang kerap menjadi momok bagi pengidap flu ketika tidur. Obat ini sengaja dibungkus terpisah dari teman-temannya, seraya mereka mewanti-wanti agar obat ini diminum hanya jika mau tidur malam saja. Saya mengangguk, paham. Sudah biasa.
Dan lagi, instruksi mereka, saya harus minum obat itu sehabis makan. Maka, saya pun singgah di warung makan vegetarian langganan saya. Namun, wahai, Tuhan, warung itu masih tutup. Kelihatannya mereka masih sedang menghabiskan liburan tahun baru sampai remah-remahnya habis tak tersisa. Saya bingung, mau makan di mana? Akhirnya saya putuskan untuk membeli nasi kotak saja di minimarket. Tapi, apakah ada yang halal, atau vegetarian? Coba dulu, siapa tahu ada.
Saya pun masuk ke sebuah minimarket setelah sebelumnya singgah di toko "chen chu naica" untuk membeli "bubble tea", cendol khas Taiwan itu. Saat saya masuk, kasir sedang melayani pelanggan lain. Saya sekarang sudah berdiri di depan etalase yang berisi nasi-nasi kotak. Tidak berbuat apa-apa. Sekarang pelanggan itu sudah selesai dilayaninya. Ia kemudian menatap ke arah saya, bertanya, “Kamu mau beli apa?”
“Ini nasi vegetarian, ‘kan?” Saya mengangkat sebuah nasi kotak yang sepintas sudah saya ketahui berisikan nasi vegetarian, dari karakter yang tertulis di kotaknya. Saya hanya ingin mengklarifikasi kepada kasir saja.
“Coba saya lihat.” Kasir mengulurkan tangannya. Saya menyerahkan nasi kotak itu kepadanya.
“Ini bisa kamu makan.” Kemudian kasir mengangkat nasi kotak itu tinggi-tinggi, sehingga ia bisa membaca komposisi nasi kotak itu yang tertempel di bawah wadahnya.
“Ini sangat bisa kamu makan.” Kasir menekankan lagi bahwa nasi kotak ini boleh saya makan, setelah ia membaca detail komposisinya.
“Saya tidak boleh makan daging babi,” ucap saya.
“Saya tahu,” jawabnya, “ini malah tidak ada unsur daging sama sekali. Su de, vegetarian.”
Saya mengangguk. “Oke, saya beli satu”
Kasir memindai “barcode” ke komputer.
“Eh, sebentar, ”celetuk saya sebelum kasir mengutarakan harga, “saya juga mau membeli telur satu, cha ye tan”
Saya kemudian cepat-cepat mengambil telur yang direbus dalam air teh itu. Ini adalah telur rebus khas Taiwan. Direbus dalam teh dan rempah-rempah khas Taiwan. Rasanya persis telur rebus nasi gudeg Jogja.
Harga semuanya delapan puluh lima dolar Taiwan, termasuk telur. Saya membayarnya. Uang kembalian beserta setruk (fabiao) diberikan kepada saya.
“Tunggu sekitar dua menit, ya?” kata kasir, “nasinya sedang saya panaskan dalam microwave.”
“O, iya.” Saya menunggu.
Dua menit berlalu. Kasir berjongkok di depan microwave. Letak pemanas itu sepertinya tak jauh melayang di atas lantai.
Sekelebat di depan microwave, wajahnya tiba-tiba berubah suram. Ia berdiri, memegang kotak nasi itu. Menatap saya. “Duh, minta maaf. Ternyata microwave-nya rusak. Tidak bisa panas lagi.”
Saya jadi kasihan melihatnya.
“Oke, tidak apa-apa,” jawab saya tenang, “tak usah dipanaskan saja. Saya bisa makan dingin-dingin.”
“Tidak bisa, ” balasnya cepat, “nasinya masih keras. Barusan, ‘kan, di dalam pendingin. Nasinya beku.”
Saya menarik napas panjang. Dalam.
“Iya, tak apa-apa juga. Bisa saya panaskan sendiri saja. Saya punya rice cooker.” Saya meredam susah dan gundah gulana perempuan itu.
Tapi, sepertinya bohlam di dalam kepalanya tiba-tiba menyala. Ia punya ide lain untuk memanaskan nasi yang masih dingin itu. “Tunggu sebentar,” ucapnya cepat sambil keluar dari bingkai meja kasir, keluar toko dengan membawa boks nasi itu.
Nasi kotak itu dibawanya ke luar toko. Menuju ke toko sebelah, warung kopi. Ia ternyata mau minta tolong tetangganya untuk memanaskan nasi kotak itu. Tapi, sejenak kemudian, ia kembali lagi, dengan wajah sendu ia bilang, “Ternyata mereka tidak punya microwave. Maaf.”
“Dari tadi saya sudah memaafkan, Mbak? Ayo, mari sini nasi kotaknya. Biar saya panaskan sendiri saja di lab.” Aku mencomel dalam hati.
Saya pun pulang ke lab. Kemudian memindahkan nasi dan lauknya ke rice cooker mini saya. Saya panaskan, terus saya tinggal salat Zuhur. Akhirnya saya bisa makan. Beginilah, jangankan manusia, ternyata microwave di minimarket saja bisa mengamuk jika dipaksa kerja pada hari libur.
![]() |
Obat racikan bapak apotek |
![]() |
Nasi kotak vegetarian bersama telur siap dipanaskan |
![]() |
Nasi kotak vegetarian, obat dari klinik, telur, dan chen chu nai cha. |
No comments:
Post a Comment