Saturday, July 2, 2016

Si Manis Yang Semakin Mahal

Saya yakin orang non-Aceh tak paham akan filosofi gula bagi masyarakat Aceh.

Bagi masyarakat Aceh, gula bukan hanya sebagai pemanis makanan dan minuman. Tapi lebih dari itu, gula adalah sebagai perkakas budaya.

Bersilaturahmi ke sanak saudara, gula adalah barang wajib yang harus dibawa. Biasanya dipasangkan dengan kopi atau teh. Dan kadang susu serta roti.

Pasangan yang sangat terkenal dan masyhur adalah gula-kopi, atau dalam bahasa Aceh dikenal dengan saka-kupi. Tanpa saka-kupi, untuk kunjungan resmi, lebih baik tak usah berkunjung saja. Karena adat siap mencelamu setelah tindakan nekat itu kamu lakukan.

Lebih-lebih lagi untuk ritual yang sangat sakral, misalnya meminang perempuan, tanpa membawa pasangan saka-kupi, bisa divonis bahwa sang peminang tidak serius dalam rencananya.

Sebaliknya, jika bertamu ke teman perempuan Aceh, jangan coba-coba membawa saka-kupi kalau maksudnya hanya bertamu biasa. Karena dengan saka-kupi bisa-bisa dikira ingin meminang. Jadi, jika hanya ingin bertamu biasa ke rumah perempuam Aceh, jangan bawa saka-kupi. Bawa saja barang lain. Semacam buah2an atau sebangsanya.

Syahdan, sekarang lebaran sudah di depan mata. Sebagaimana biasanya, silaturahmi ke sanak famili dan kyai mutlak harus dilakukan oleh masyarakat Aceh. Dan, cangkingan wajib ketika bertamu adalah saka-kupi. Maka jangan heran, kyai-kyai biasanya akan kebanjiran gula ketika lebaran.

Jadi, dengan mahalnya gula dalam beberapa hari ini, sampai 20 ribu Rupiah, maka siap-siap pengeluaran lebaran akan berlipat. Karena, ya, itu tadi, di Aceh gula bukan hanya sebatas pemanis makanan, tapi lebih dari itu, sebagai barang yang bisa menjadi manifestasi keseriusan, kesopanan, dan penghormatan. Di Aceh gula adalah barang budaya.

Maka jika di Jawa orang pada sedih saat harga gula meroket, maka seharusnya orang Aceh sudah layak menangis. Pasalnya kita lebih butuh gula daripada mereka. Tapi ternyata tidak demikian adanya. Orang Aceh sudah terbiasa enjoi dengan kesulitan.

Tadi sore, seorang ibu di kampung saya dengan selownya menenteng uang kertas lima ribu Rupiah menuju ke sebuah toko kelontong, bilang, "Toeh saka limong ribei, Nyak - Berikan aku gula lima ribu Rupiah, Nak."

Setelah itu ibu ini pun meninggalkan toko dengan membawa sejumput gula. Tak terlihat raut sedih di wajahnya. Selow kali ibu ini orangnya, Saudara-saudara! Dan beginilah tingkah umum orang Aceh dalam menghadapi kepedihan. Selow.

No comments:

Post a Comment