"Sebentar tinggal di kampung selama liburan sekolah, anakku semakin rusak saja lakunya."
"Memangnya selama ini putranya sekolah di mana, Bang?"
"Di dayah (pesantren). Dayah yang ada sekolahnya dan diasramakan (tinggal di bilik)."
Begitulah cuplikan percakapan saya beberapa hari yang lalu dengan seorang ayah yang mencemasi laku anaknya selama liburan di kampung.
Mengirimnya ke sekolah di dayah tujuannya tak lain adalah untuk memutus pergaulan nakal di kampung yang sudah sangat menakutkan. "Hanjeut keubuet di gampoeng - tak baik di kampung, " katanya lagi kepadaku.
Narkoba adalah salah satu alasan bagi mereka mengasingkan anaknya. Jauh dari lingkungan luas di kampung yang sulit dikendali, ke lingkungan sempit di asrama dayah yang setiap langkah anak tak luput dari pantauan. Jauh dari lingkungan di mana narkoba mudah didapat bak membeli pisang goreng, ke lingkungan yang rokok saja tak berani dipegangnya.
Perlindungan maksimal yang ada di dayah membuat para orang tua yakin anaknya akan bebas dari perusak masa depan mereka ketimbang sekolah konvensional yang setengah hari dan selebihnya larut dalam pergaulan yang menghancurkan. Berapa pun biaya yang dikeluarkan serasa mereka tak peduli.
Dan juga beruntung bagi para orang tua yang tak terlalu berduit, karena sekarang sebagian besar dayah sudah memadukan pendidikan kitab kuning dan sekolah dengan biaya sangat terjangkau. Malam diajarkan kitab kuning, siangnya diberi pelajaran sekolah. Di sini dua kutub pendidikan yang dulu sempat dipertentangkan sekarang menyatu padu.
Di kawasan Blangjruen saja sudah ada beberapa pesantren salafiah yang menerima siswa setingkat SMP dan SMA. Dayah Alhilal Al Aziziyah Nibong, Dayah Rudi Blang Bidok Tanah Luas, Dayah Buni Matangkuli, Dayah Darul Falah Aron, dan tentu masih ada beberapa lagi.
Sungguh mencengangkan saya, yang dulu sempat pesimis dayah-dayah itu akan mampu bersaing dengan sekolah konvensional dalam hal memperoleh murid, ternyata mereka justru kerepotan karena kekurangan tempat akibat banyaknya siswa yang mendaftar. Membeludak.
Melihat fenomena ini, tadi siang ada seorang guru sekolah konvensional berseloroh, "kayaknya beberapa tahun lagi sekolah kita akan gulung tikar karena tak kebagian murid. Dan guru juga tak cukup jam mengajarnya."
Ucapan ini wajar adanya, karena guru-guru di sekolah negeri sekarang begitu repot memenuhi jam mengajar minimal yang dibutuhkan untuk sertifikasi karena jumlah kelas yang tak bertambah lagi akibat murid banyak tersedot ke dayah setiap tahunnya.
Ini semua terjadi karena sekolah konvensional selama ini dianggap tak sanggup melindungi anak dari ancaman kerusakan moral. Dan dayah memberi solusi untuk itu dengan cara memadukan dayah dengan sekolah dan anak disekap di asrama untuk pengawasan 24 jam.
Ditulis pada tanggal 15 Juli 2016
No comments:
Post a Comment