Friday, August 5, 2016

Nusayba Sapihanku, Catatan Pengalaman Menyapih Anak

Ingin rasanya tetap memberi asi kepada anak pertamaku sampai umur dua tahun. Bidan telah memberi lampu hijau untuk tetap memberinya asi sampai genap dua tahun sekalipun ibunya sudah hamil. "Ga apa apa. Walaupun ibunya sudah hamil, tetap saja diberi asi. Cuma ibunya harus banyak makan daripada biasanya karena sekarang sudah dua yang harus ditanggung nutrisinya. Menyapih anak ketika ibunya hamil itu hanya pendapat orang awam, " kata bidan langganan kami saat kunjungan konsultasi pertama kami.

Saya dan istri mengikuti pentunjuk bidan tak lebih dari seminggu. Sampai lebaran datang, saudara pun berdatangan ke rumah. Tahu istriku hamil, mereka langsung menyarankan agar anak kami disarak, tak baik meminum susu jatah adeknya. Apalagi umurnya juga sudah sampai dua puluh bulan.

Saran datang bertubi-tubi bagai peluru pasukan pengkudeta militer. Tak henti. Istriku masuk ke kamar. Meminta izin padaku. "Bi, Nusayba kita sarak saja, ya." Aku melihatnya lekat-lekat. Rasa cemas tergambar di raut wajahnya. Aku tahu, dia baru saja ditakut-takuti di bawah sana. Akhirnya aku juga ikut mengalah. "Kau sarak sajalah kalau begitu, " kataku pasrah. Maka mulai hari itu Nusayba disapih dari ibunya. Kekalahan pertamaku dimulai.

Malamnya Nusayba menangis. Meronta. Tak mau makan dan minum apapun. Saya bingung. Menatapnya kasihan. Tapi saya masih keras hati untuk tidak memberinya susu palsu dan empeng. Di samping kuyakini bahwa susu palsu dan empeng tak baik bagi kesehatannya, menyapih susu palsu dan empeng itu juga bukan pekerjaan mudah nantinya.

Bagi saya menyapih itu berarti menghilangkan ketergantungan anak pada segala jenis susu dan puting susu gadungan. Jika menyapih tapi tetap saja memberi dot dan empeng, sama saja bohong.

Empat hari berlalu. Nusayba masih meronta. Mengamuk. Saat kukasihnya segelas air, dilemparnya ke pojok kamar. Dia hanya mau digendong hampir semalam suntuk. Aku bingung. Istriku mulai masam mukanya. Capai. Kurang tidur.

Akhirnya kekalahan keduaku terjadi, ketaktegaanku pada anak dan istriku membuatku melunak. Esok pagi aku pergi ke pasar. Membeli sekotak susu palsu dan dot. Kubawa pulang. Kuserahkan ke istriku, bilang, "Coba beri susu ini untuk anak kita. Mudah-mudahan dia tenang."

Setelah selesai susu itu diracik, dikasihnyalah ke si Nusayba. Dia mencicipinya. Menyedotnya penuh semangat. Sejurus kemudian dia berhenti menyedot. Mukanya mengerut. Tepi matanya memerah. Tak lama kemudian dia menjeluak. Hueeek! Muntah. Dilemparnya dot itu ke lantai. Braaak! Gagal. Itu yang pertama dan terakhir dia mencicipi susu palsu itu. Setelahnya tak pernah mau lagi. Akhirnya kami meyumbang susu itu ke anak tetangga. Amal saleh pertama si Nusayba.

Dua hari berlalu. Malam dia masih saja menangis. Tapi tak parah lagi. Namun masih cukup kasihan juga melihatnya. Sehingga aku kalah yang ketiga kalinya. Aku ingin membeli empeng, dot kosong itu, karena tak kuat hati melihatnya menangis.

Tapi belum saja aku berangkat ke pasar, istri menyambar, "Bi, kamu ini bagaimana, sih. Dulu kamu ga mau anakmu disapih, tapi akhirnya mau. Terus ga mau dikasih susu palsu, tapi setelah itu kau beli juga susu itu. Sekarang mau kau beli juga empeng. Padahal itu semua kau tentang habis-habisan sebelumnya." Aku melihat istriku, menoleh ke arah kakak iparku, berujar dengan suara lemah, "Kasian anakku ternyata." Istriku tertawa. "Sudah! Ga usah dibelikan saja, " kata istriku lantang. Akhirnya tak jadi aku membeli empeng itu. Selamat.

Sampai tadi malam anakku masih menangis setiap terbangun dari tidurnya. Menggendongnya barang sebentar membuat dia tertidur lagi. Dia tak mau dikasih apa-apa. Hanya mau digendong, dan ia merebahkan kepalanya ke dadaku dan pulas lagi.

Dari penyapihan ini aku sadar, kasih sayang kepada anak benar-benar telah sanggup merusak idealismeku. Semoga rasa kasih sayangku tak merusaknya kelak. Aku harus rela hati melarangnya bila ada lakunya yang tak patut.

Ditulis pada tanggal 18 Juli 2016

No comments:

Post a Comment