Wednesday, September 14, 2016

Pengalaman Pertama Salat Iduladha di Taiwan

Senampan penuh kurma yang manisnya bukan main disajikan kepada para jamaah salat Iduladha yang telah memenuhi lobi Masjid Besar Kaohsiung, sebuah masjid terbesar di Taiwan yang terletak di kota Kaohsiung di ujung selatan negara Formosa ini. Kaohsiung ini bukan sembarang kota, ia adalah kota terbesar kedua setelah Taipei, ibukota Taiwan. Banyak pekerja Indonesia di sini dan tak sedikit pula mahasiswa Indonesia mengais ilmu di dalamnya.

Saya beserta dua puluhan mahasiswa Indonesia lainnya yang berangkat dari kampus yang sama -National Kaohsiung University of Applied Sciences (NKUAS)- tiba di masjid sekitar pukul delapan pagi. Salat dijadwalkan tiga puluh menit kemudian. Gema takbir sayup-sayup terdengar menyeruak meluncur dari lantai dua meningkahi obrolan para calon jamaah di lobi lantai satu.

Saya belum mau naik ke atas, ingin sebentar melihat-lihat suasana lebaran haji di masjid ini sambil mencicipi kurma. Karena walaupun sudah genap tiga tahun saya berada di Taiwan, namun baru kali ini saya berkesempatan salat id di masjid ini. Iduladha tahun lalu saya tidak bisa ikut karena ada kewajiban kampus yang harus saya kerjakan. Sedangkan Idulfitri selalu bertepatan dengan liburan semester di saat saya pasti pulang ke tanah air. Jadi, salat id kali ini adalah pengalaman pertama saya di Taiwan.

Lobi masjid penuh dan gaduh oleh suara jamaah yang mengobrol sambil berdiri, yang secara alami membentuk kelompok-kelompok kecil dengan materi obrolan yang berbeda-beda. Berdiri di lobi ini, serasa saya bukan sedang di Taiwan, tetapi di Indonesia. Ke mana pun arah pandangan saya, maka di situlah wajah-wajah Indonesia senantiasa terlihat. Hanya beberapa orang saja dari bangsa lain yang terlihat asing di antara kerumunan orang-orang Indonesia.

Memang, banyaknya pekerja dan mahasiswa Indonesia di Kaohsiung membuat masjid terbesar di Taiwan ini sering dipenuhi orang Indonesia. Jika saja lebaran Iduladha ini jatuh pada hari Minggu, maka jangan harap tempat salat cukup di lantai dua saja. Bahkan lantai satu dan halaman masjid pun bisa dipenuhi jamaah. Tetapi, Iduladha kali ini jatuh pada hari Senin, hari pertama kerja. Walaupun sudah ada surat resmi yang dikeluarkan oleh pihak masjid yang bisa digunakan oleh pekerja untuk meminta izin ke majikan-majikan mereka, tetapi tentu tak semua majikan mau merelakan anak buahnya berlibur. Alhasil, lebaran Iduladha di masjid Kaohsiung kali ini tak begitu semarak. Hanya separuh masjid yang terisi. Namun lumayan cukup untuk menghibur rindu rawan akan suasana lebaran di kampung halaman. Sekalipun begitu keluar dari pagar pekarangan masjid, suasana akan berubah seperti hari biasa, seolah-olah tak ada kejadian apa-apa.

Di halaman masjid juga sudah dipasangi teratak bertenda lurik-lurik merah-putih-ungu-kuning-oranye, yang menangkupi beberapa pasang meja-kursi. Penguasanya lagi-lagi jamaah dari Indonesia, yang mengisi jajaran kursi itu dengan mengobrol dan kadang gelak tawa pun pecah membahana. Saya masuk ke bawah tenda itu. Di ujung tenda, dekat pintu masuk halaman masjid, sebuah bazar kecil-kecilan diadakan di mana jilbab dan baju gamis puspawarna bergelayutan membujuk jamaah perempuan untuk membelinya. Bazar ini lumayan ramai dan sesak dikerubuti ibu-ibu.

Saat itu, belum ada makanan khas Indonesia sejenis opor ayam dan sebangsanya di bawah tenda ini, selain bazar baju Muslim itu. Padahal itulah yang sedang saya cari untuk sarapan pagi. Saya ingin membelinya. Syukur kalau seandainya pihak masjid menyediakannya secara cuma-cuma. Tapi nyatanya, jangankan yang gratis, yang berbayar pun tak ada. Bahkan sampai salat id selesai pun tidak ada makanan di sana kecuali hanya minuman ringan sejenis cendol saja.

Tak lama berada di bawah tenda itu kemudian saya bergegas masuk ke ruang wudu dan setelahnya naik ke lantai dua di mana salat akan diadakan. Ketika pintu ruang salat saya buka, gema takbir tiba-tiba melengking sahut-sahutan antara seorang pemimpin dan para jamaah baik laki-laki di lantai dua ini maupun perempuan di lantai tiga sana. Irama takbir lumayan khas, yang tak asing bagi saya sebagai orang Aceh. Wajar saja. Takbir dipimpin oleh orang Aceh, yaitu Kahlil, seorang mahasiswa calon doktor di Sun Yat Sen University asal Banda Aceh. Irama takbir khas Aceh dan hanya orang Aceh yang bisa menangkap keunikan itu. Karena orang Aceh hampir tak bisa bertakbir dengan irama selain demikian.

Tepat pukul 8.35, imam masjid masuk. Mik diserahkan kepadanya. Ia mengambil alih kendali jamaah dan mulai berceramah. Hanya ucapan bismillah, hamdalah, dan salam yang bisa saya tangkap artinya, selebihnya bahasa Mandarin meluncur deras dari mulut sang imam. Aku berbisik pada teman di samping saya, "Bagaimana, mengerti isi ceramahnya?" Saya dan teman tergelak sesaat. Kami tak mengerti lagi apa yang diucapkannya.

Kesibukan saya dalam urusan kampus dan melulu di lab membuat saya masih buta bahasa Mandarin sekalipun sudah tiga tahun di sini. Sama dengan Indonesia, penduduk Taiwan jarang juga yang bisa berbahasa Inggris, namun hari-hari saya sebagai mahasiswa doktor yang selalu di kampus, jarang juga berinteraksi dengan bahasa Mandarin, karena dosen dan teman lab, semua berbahasa Inggris. Sehingga Mandarin pun terlupakan.

Hampir setengah jam nasihat demi nasihat meluncur dari mulut imam. Sampai akhirnya ia mengakhiri ceramahnya. Saya mengangkat pandangan melihat ke depan. Jamaah mulai berdiri merapat ke saf terdepan. Sejurus kemudian jamaah sudah tenang dengan posisinya. Imam menyampaikan tatacara salat id dengan bahasa Inggris dan Mandarin, agar semua paham. Rakaat pertama; takbiratulihram, takbir tiga kali beserta tasbih di dalamnya, baca surat Al Fatihah serta ayat, rukuk, sujud, dan seterusnya seperti salat biasa. Rakaat kedua; baca surat Al Fatihah terus ayat, takbir tiga kali beserta tasbih di dalamnya, kemudian rukuk, sujud, dan seterusnya sampai salam seperti salat biasa.

Tentu ada yang beda dengan yang berlaku di Indonesia, bukan? Yaitu jumlah takbir. Dan juga yang paling berbahaya adalah posisi takbir pada rakaat kedua, yaitu sebelum rukuk. Salah-salah, setelah imam membaca ayat, kemudian ia mengucapkan takbir, saya bisa terlupa dan langsung rukuk. Padahal itu bukan takbir untuk rukuk. Ini mimpi buruk yang tak boleh terjadi. Saya berdiri di saf depan, jika aku langsung rukuk nantinya, saya takut jamaah di belakang sontak juga mengikuti. Saya mewanti-wanti diri saya sendiri dari awal salat.

Salat id pun dimulai. Rakaat pertama, aman. Sampailah pada rakat kedua. Suara imam lumayan mendayu-dayu dan merdu pula. Imam masih sangat muda. Suaranya jernih bukan kepalang. Ini adalah imam dari Taipei yang diperbantukan di masjid Kaohsiung karena Imam masjid Kaohsiung tahun ini dapat jatah tugas membimbing jamaah haji Taiwan ke tanah suci. Saya mendengar penuh khidmat lantunan ayat demi ayat yang dibawakannya dengan sangat fasih.

Mulai dari Al Fatihah sampai akhir surat dibawakan dengan sangat mempesona. Sekelebat setelah ayat terakhir dibacakan, imam mengumandangkan takbir, secara reflek badanku langsung membentuk inisiasi rukuk. Dan, hop, sontak aku tersadar, ini bukan takbir untuk rukuk, tapi takbir tambahan untuk salat id. Hampir saja!

Selepas salat saya bertanya ke teman-teman, ternyata beberapa jamaah lainnya juga bernasib serupa dengan saya. Hampir saja mereka rukuk sebelum waktunya. Memang benar, keluar dari kebiasaan itu sulit sekali. Kebiasaan itu adalah zona aman, sedangkan keunikan adalah tantangan.

Setelah salat, imam naik ke mimbar untuk membaca dua khotbah hari raya Iduladha. Semua jamaah mendengarkan dengan takzim pada sepuluh menit awal. Setelahnya, beberapa jamaah mulai meninggalkan ruangan. Iman terus membacakan khotbahnya dengan semangat. Beberapa lembar kertas yang berisikan khotbah terus dibaca satu per satu dan terkadang diberi penjelasan di luar teks olehnya. Semuanya dalam bahasa Mandarin dan terkadang dicampur bahasa Arab.

Lebih kurang empat puluh lima menit khotbah itu berlangsung. Lumayan panjang juga. Setelah selesai, imam turun dari mimbar dan berdiri di depannya. Kemudian jamaah satu per satu bersalaman dengan imam dan dengan para tokoh Muslim asli Taiwan yang juga pengurus masjid Kaohsiung. Merekalah yang menegakkan Islam di Kaohsiung ini dimana banyak juga penduduknya malah tak mengenal Islam sama sekali.
__________
Ditulis pada tanggal 12 September 2016
Mahasiswa NKUAS sedang menunggu bus menuju Masjid Besar Kaohsiung
Suasana di depan lobi mesjid sebelum salat id
Teratak di halaman masjid
Bazar busana muslim
Jamaah sebelum salat dimulai
Imam memberi ceramah awal sebelum salat id
Kondisi jamaah sudah lumayan banyak
Imam membaca khotbah iduladha
Jamaah makin banyak menjelang salat
Yang ini sama sekali foto ga penting
Bersalam-salaman setelah salat id dan khotbah
Bazar busana muslim diserbu ibu-ibu
Suasana lobi setelah salat

No comments:

Post a Comment