Wednesday, September 28, 2016

Taifun Megi, Lantunan Dangdutmu Menenggelamkan Kami. Sebuah Cerita Taifun di Taiwan

Syahdan, di kamar asrama mahasiswa kampus NKUAS, Kaohsiung, Taiwan Selatan, tempat aku tinggal sekarang, pukul 3.30 Pagi.

Dua pasang lampu utama di langit-langit kamarku yang sejatinya dimatikan saat tidur, menyala semua, menyilaukan mataku demi aku terjaga dari tidur akibat rusuh suara anak-anak penghuni asrama.

Aku bangun celingukan menatap ke arah bawah dari dipanku yang tingginya menggapai loteng dan menangkupi meja belajar. Aku mengucek-ngucek mata, menatap ke arah pintu yang sudah terbuka lebar.

Salah satu mahasiswa master asal Palembang, yang melintasi depan pintu, melihatku sudah terbangun, bertanya dengan tekanan suara yang sangat serius, "Pak! Tahu tak, di mana posisi lubang pembuangan air lantai atas? Sepertinya ia tersumbat."

Aku masih bingung, beberapa jenak terdiam. Mataku berakomodasi penuh.

"Lihat, ini kamar-kamar kita sudah banjir," tambahnya, menunjuk ke arah kakinya dan lantai kamarku. Aku menoleh ke arah telunjuknya, Dan.... "Hah!" aku berseru kaget.

"Aku tak tahu posisinya. Coba kamu hubungi gubernur, " ujarku. Mataku masih liar menatap ke seantero kamar.

"Di mana dia?" tanyanya lagi.

"Di lantai dua."

Aku refleks saja menyebut pemimpin asrama sebagai gubernur. Sebab dulu ketika aku tinggal di asrama Politeknik Negeri Lhokseumawe, asrama kami dipimpin oleh seorang yang digelari presiden, yang membawahi gubernur-gubernur yang memimpin di tingkat lantai.

Ia pun berangkat meninggalkan pintu. Aku bersorak, "Woi! hati-hati listrik." Aku mengingatkan. Sebab sekalipun asrama sudah penuh air, listrik sejenak pun tak berkedip.

Aku masih menatap lantai kamar. Ya Tuhan, lantai kamarku banjir oleh air-MU. Hampir setengah jengkal tingginya. Aku bersegera menggapai anak tangga dipan, menyibak kelambu, turun, berkecipak dengan air, keluar kamar. Tanpa alas kaki. Sandalku sudah tak ada di tempatnya. Mengalir entah kemana.

Duh, sepanjang koridor asrama tergenang air, kecuali di depan kamar mandi yang kering sebab agak lebih tinggi posisinya. Seluruh penghuni asrama lantai tiga sudah terbangun, kecuali satu kamar anak Vietnam yang belum mengetahui musibah ini. Sejurus kemudian terbangun juga setelah digedor-gedor keras oleh teman setanah airnya.

Aku menuju ke sumber banjir, ke arah tangga yang menghubungkan bangunan ini ke setiap lantai, termasuk ke lantai atas yang terbuka ke langit yang darinya air ini berasal.

Di luar hujan sangat deras, hujan yang diangkut taifun Megi yang masih berhembus sekalipun tak kencang lagi. Aku menuju lantai atas. Beberapa teman sudah ada di sana. Aku membuka pintu. Brum...! Air mengalir deras ke bawah setelah aku membukanya. Maka terlihatlah olehku lantai atas asrama bak kolam renang. Aku melangkahi ambang pintu untuk hanya mencoba mengintip keluar. Separuh betisku tenggelam. Banyak sekali air sudah terjebak di sini.

Lantai atas asrama ini terbuka ke langit dan juga sebagai atap bagi asrama kami. Kadang di sini tempat kami berpesta di malam hari sambil menatap bintang dan bulan. Aku juga sering merenung di sini. Di salah satu pojok adalah tempat menjemur pakaian.

Lantai ini dibatasi oleh tembok setinggi dada dari segala penjuru. Ambang pintu hanya setinggi betis, maka dari situlah air tergelontor ke bawah tanpa ampun membanjiri lantai tiga, dua, dan satu tempat kami mengorok sepanjang malam. Karena paling atas, lantai tiga adalah korban terparahnya.

Tak ada solusi dariku. Sebab aku pun tak tahu di mana posisi lubang pembuangan air itu. Semua tertutup air dan dedaunan hasil tiupan taifun tadi siang, yang kuduga menjadi biang keladi tersumbatnya saluran.

Aku turun lagi ke bawah. Bercakap-cakap dengan teman seisi asrama. Hujan telah berhenti. Gelontoran air dari atas telah berhenti pula di ambang pintu. Lantai pun dipel oleh segenap penghuni asrama, kecuali aku, hanya menonton saja. Maklum, orang tua, tak ada yang mau menyuruh.

Saat-saat mengobrol, baru aku sadar. Teman sekamarku yang berbangsa Vietnam selalu tidur di lantai tiap malam. Aku bergegas masuk ke kamar menemuinya yang juga sedang mengepel, bertanya, "Kamu bagaimana tadi, basah?"

"Iya, basah." Mukanya suram, menunjukkan celananya yang basah kuyup, "hapeku juga terendam. Tapi masih hidup."

"O, syukur, lah." Aku menepuk-nepuk bahunya. Ia menatap selimut dan kasurnya yang sudah basah kuyup digulung serta diletakkan di sudut kamar, berdecak jengkel.

Aku keluar menuju kamar anak Indonesia yang selalu juga tidur di lantai beralas kasur tiap malam. Kasurnya juga basah kuyup. Tapi yang ini nasibnya lebih buruk dari teman sekamarku. Hapenya mati terendam air!

Taifun kali ini yang bernama Megi (tanpa Z) memang tidak sebesar si taifun Meranti beberapa minggu lalu. Tapi, efeknya? Lihat, kawan. Beberapa dari kami tidur di air tadi malam. Ini gara-gara kamu, Fun!
__________
Notabene
1. Kata "demi" dalam paragraf kedua bermakna "segera setelah".
2. Ambang adalah tembok yang agak tinggi pada pintu.
Kasur yang basah
Pelajar Indonesia setelah mengepel lantai.
Air masih menggenangi koridor
Penghuni asrama sedang mengepel
Air tercurah dari lantai atas

No comments:

Post a Comment