Kapster yang menjadi langganan di awal aku tiba di Taiwan sudah lama aku tinggalkan. Sebabnya dia selalu membabat rambutku melewati batas toleransi di mana rambutku masih bisa diatur.
Namun, tak enaknya, setiap aku mau makan di warung vegetarian, setiap aku melewati salonnya, selalu aku disapa, bilang, "Lama tak bertemu, pulang ke Indonesia, kah?" Matanya nakal melirik ke rambutku.
Lirikan itu kira-kira bermakna, "Kenapa tak pernah potong rambut di sini lagi? Sudah punya kapster lain yang lebih cakap daripada aku?" Kira-kira demikianlah aku menafsirkan lirikannya itu. Tapi yang berhak dan tahu atas maksud lirikan itu tentu dia sendiri, bukan aku. Dialah yang paling tahu atas arti lirikannya sendiri.
Pernah pada suatu hari, saat pertama kali aku melintasi di depan salonnya setelah sekian lama tak potong rambut di situ, aku langsung saja lewat tanpa melihat sedikit pun ke arah salonnnya. Beberapa jenak setelah aku melewati depan salon itu, tiba-tiba aku mendengar ada seorang perempuan berseru-seru di belakangku, aku berhenti berjalan, berpaling ke belakang. Ternyata dia mengejarku sambil bilang, "Hai, apa kabar. Sudah lama aku tak melihat kamu." Napasnya sedikit terburu sebab larinya yang tak diinginkan lagi oleh tubuhnya yang sudah agak menua.
"Oh, baik. Aku selama ini pulang ke Indonesia," Jawabku dengan mengumbar senyuman terbaikku. Sebenarnya aku sedang berbohong kepadanya, untuk menjaga perasaannya. Padahal aku sudah beralih ke kapster lain yang potongannya tak pernah membuatku sedih dalam "bad hair day."
"Oya," jawabnya, "Ok, bai bai. Sampai jumpa lagi." Senyumannya merekah, menarik kulit mukanya ke atas sehingga bertambah kerut wajahnya, terlebih di sekitar matanya yang sipit itu.
Lama-lama ternyata aku tak tega juga. Dua hari yang lalu, aku berkeras hati untuk mencoba menggunakan jasanya lagi. Aku masuk dengan mata berbinar dan disambut dengan wajahnya yang bersemu merah. Kentara sekali betapa senangnya dia sebab langganan lamanya sudah kembali ke pangkuannya.
Aku pun duduk di kursi eksekusi, berharap tragedi menyedihkan tak akan terjadi pada hari ini. Mungkin dia sudah insaf dengan lakunya yang memotong rambut dengan sisa terlalu pendek. Yang menyebabkan sisir tak lagi berfungsi untuk rambutku. Dia akan rebah kemana dia suka meski sudah kutekan, kuacak-acak, kusisir ribuan kali.
Menit pertama berjalan dengan baik ketika dia merapikan pinggir rambutku. Namun, ketika dia bermain pada rambut bagian atas, dia membabat rambutku melewati batas, yang aku tahu betul, itu sudah melewati batas maksimal di mana sifat rambutku berubah menjadi keras kepala, tak mau diatur lagi.
Gilanya, aku tak tahu mengapa, baik di Aceh, di Taiwan, maupun di mana saja, aku lebih banyak pasrah jika duduk di bangku kapster. Jika nanti hasil potongannya tidak baik, maka besok-besok aku tidak datang lagi. Itu saja hukumanku bagi kapster yang tidak lihai dengan rambutku. Tapi pada hari itu, aku duduk saja di bangku itu bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Diam sama sekali tak mau protes.
Hal semacam ini juga terjadi dua hari yang lalu, aku diam saja seribu bahasa ketika tahu bahwa pagebluk akan segera mengancam ketampananku sebab rambutku yang akan hancur rupanya. Dan itu benar-benar terjadi. Sampai hari ini, rambutku masih tak bisa aku sisir. Rambut bagian kiri rebah ke depan, dan sampai mati belum mau disisir ke belakang. Dan yang sebelah kanan ada yang rebah ke samping, belakang, depan, acak-acakan, lebih parah daripada yang sebelah kiri.
Akhirnya, tadi pagi, setelah mandi dan minyakan, rambutku kupaksa atur tanpa sisir. Setelah kuacak-acak, maka berhentilah pada sebuah model: rambut samping kuncup rebah ke depan dan tiba-tiba di bagian atas meruncing menuding angkasa - ya, betul. Gaya rambut bang David Bekham.
Saat aku mau berangkat ke luar asrama, bertemu dengan teman anak master asal Indonesia. Kami mengobrol selama tiga menit. Yang penting bukan materi obrolannya. Tapi, aku melihat matanya sesekali melirik ke rambutku. "Waduh, rambut mas Usman gaya sekali hari ini." Kira-kira demikian maksud lirikan itu. Aku tahu, gaya rambut yang mirip jambul bunglon ini sungguh tidak sesuai dengan umur dan perawakanku. Tapi mau bagaimana lagi, inilah "bad hair day," hari ketika kegantengan terancam akibat rambut yang tiba-tiba tidak bisa diatur.
__________
Notabene:
"Bad hair day" itu bisa juga berarti hari yang semua isinya menjadi serba salah. Bukan hanya karena rambut, tapi bisa juga karena sebab lain.
No comments:
Post a Comment