Sunday, October 2, 2016

Bahasa Inggris, Seharusnya Bukan Jadi Penjara

Sedih itu ketika aku baru tahu apa yang seharusnya kulakukan ketika aku sudah letih, capek. Bayangkan, tiga tahun sudah bergelut dengan buku, baru minggu ini aku sadar apa kekuranganku selama ini.

Masih mending kalau buku yang kubaca itu berbahasa Inggris, ini kadang berbahasa Mandarin, dengan hurufnya yang keriting membingungkan itu. Tapi, karena terpaksa, buku itu tetap harus kubaca. Dan syukur pula buku teknik agak bisa dimengerti sekalipun berbahasa Mandarin karena banyak hitungan daripada tulisannya. Sekalipun demikian, tak jarang buku itu harus kugotong ke meja teman Taiwan untuk kutanyai artinya.

Aku tahu, ini hal biasa dalam dunia pendidikan. Di S2 dulu aku baru tahu apa yang harus kuketik dalam buku tesisku justru di tiga bulan terakhir. Sebelumnya, grafik dan data-data mentah yang kudapat dari penelitian kuendapkan begitu saja tanpa bisa kuapa-apakan. Tiga bulan terakhir, seolah tuts papan penjarian komputerku berasap dan mau lepas tercerabut tak tahan entakan jari telunjuk tangan kanan-kiriku yang tak henti hampir dua puluh jam perhari.

Sekarang aku S3, awalnya aku tak mau lagi seperti dulu, pikiran baru terbuka di saat-saat jatah beasiswaku mendekati ajalnya. Ingin rasanya aku melenggang santai, mengetik pelan dengan entakan jari yang lembut sampai kata terakhir selesai kutulis di disertasiku. Aku menekan tuts titik pertanda disertasiku selesai dengan senyuman penuh takzim.

Tapi alih-alih mimpi itu tercapai, aku malah baru tahu kemana langkahku harusnya berarah di saat sisa "waktuku" kurang dari dua semester lagi. Aku harus belajar dari nol lagi tentang suatu hal baru itu.

Pertanyaannya, apakah aku akan baik-baik saja di Taiwan ini? Aku sudah punya jawabannya. Aku akan baik-baik saja, Kawan. Sudah terbiasa dalam hidupku ini belajar sesuatu dari nol di saat waktuku sudah genting.

***
Di Taiwan ini, buku-buku pelajaran berbahasa Mandarin cukup banyak dan lengkap pula. Di antaranya hasil terjemahan dari buku berbahasa Inggris. Dan banyak juga buku-buku asli berbahasa Mandarin yang ditulis langsung oleh akademisi-akademisi Taiwan.

Jadi, tak bisa berbahasa Inggris, bukan kendala bagi mahasiswa Taiwan untuk dapat memperoleh ilmu selengkap mahasiswa-mahasiswa negara berbahasa Inggris peroleh. Bahkan di lab saya, ada banyak buku yang materi di dalamnya sangat kubutuhkan, tapi belum pernah ditulis dalam bahasa Inggris. Buku itu bertengger di rak buku lab saya dengan karakter Mandarinnya, gagah dan penuh percaya diri.

Aku jadi berpikir, apakah tidak sebaiknya dosen-dosen di Indonesia lebih didorong untuk menulis dalam bahasa Indonesia ketimbang bahasa Inggris? Seperti halnya di Taiwan ini di mana buku apa saja ada dalam bahasa Mandarin? Berapa persen, sih, mahasiswa Indonesia yang bisa berbahasa Inggris? Tak banyak, kan? Terus mau dibawa kemana mereka jika kita nantinya lebih doyan menulis dalam bahasa Inggris?

Aku saja yang tiap hari membaca buku berbahasa Inggris dan ngomong yang sudah lumayan cas-cis-cus, batal membaca jika di laptopku kamus bahasa Inggris belum menyala. Apalagi sebagian besar mahasiswa kita yang hanya bisa bilang yes-no, OTW, dan BTW doang.

Apakah mereka mau dibiarkan kekurangan ilmu sebab kelemahan bahasa Inggris mereka? Tak "tahu", lah, kalau di Indonesia. Kalau di Taiwan, tidak. Bahasa Inggris bukan rintangan bagi mereka untuk memperoleh ilmu. Buku-buku berbahasa Mandarin siap menyambut mereka di segala penjuru ilmu.
__________
Tulisan ini juga pecut bagi diriku sendiri agar giat menulis buku pelajaran dalam bahasa Indonesia di saat aku pulang nantinya.

No comments:

Post a Comment