Jika saya pinjam istilah "malakah" yang pernah diutarakan oleh KH. Mustafa Bisri dalam satu ceramahnya, banyak Kyai-kyai sepuh kita dalam hal masalah agama sudah mempunyai malakah. Karenanya, dalam menghadapi problem umat mereka bisa langsung menjawabnya karena pemahaman Islamnya sudah mencapai tingkat malakah.
Untuk memahami malakah, contoh sederhananya begini, misalnya ada seseorang yang sudah malakah dalam bahasa Arab, tiba-tiba ia mendengar ada orang yang mengucapkan satu kalimat bahasa Arab "Jaa Zaidin" yang dimaksudkan artinya adalah "telah datanglah si Zaid."
Yang bermalakah bahasa Arab, setelah mendengarnya langsung membenarkan kalimat itu, "'Jaa Zaidun', bukan 'jaa Zaidin'."
Yang berucap, bertanya balik, "Kenapa musti 'jaa Zaidun'? Kenapa salah mengucapkan 'jaa Zaidin'?"
Yang bermalakah bahasa Arab hanya menjawab, "Tak tahu kenapa, tapi yang jelas ketika kamu bilang 'jaa Zaidin,' kupingku tak enak mendengarnya."
Nah, banyak Kyai-kyai yang sudah sepuh yang hampir seluruh hidupnya dihabiskan untuk belajar Islam, sudah sangat malakah dengan Islam. Sehingga jika kita bertanya tentang suatu perkara apakah salah atau benar dalam tinjauan agama, biasanya akan dijawab dengan malakahnya: jangan seperti itu, jangan seperti ini.
Kita pun tak usah tanya hadisnya mana, ayatnya mana. Ayat dan hadis cari saja sendiri. Pokoknya, ketika dia melihat sesuatu perkara agama yang sudah melenceng dan tak terlihat oleh mata awam, maka secara malakah ia bisa mendeteksi keanehan itu. Hal semacam ini sering terjadi pada Kyai-kyai sepuh kita baik di Jawa maupun di Aceh, tempat saya berada.
Lebih kurang selama setahun penuh saya berguru pada Waled Cut di pesantren Al Hilal Al Aziziyah Nibong, Aceh Utara. Banyak sekali hal-hal yang terjadi di masyarakat diselesaikan dangan malakahnya. Darinya aku tahu bahwa tidak semua masalah dalam masyarakat perlu dijawab dengan buka kitab cari hadis geledah ayat. Kadang sebuah masalah bisa dijawab dengan hanya melemparkan sebuah anekdot, maka dengan anekdot saja cukup. Masalah selesai.
Walaupun cuma setahun saya berguru kepadanya, terus terang banyak yang berubah dari polapikir saya dalam memahami agama dan bagaimana menerapkannya di masyarakat. Dan yang paling penting adalah, mencapai malakah dalam hal agama itu sulit dan panjang waktunya. Tidak bisa hanya baca satu-dua majalah dan buku terjemahan kemudian mengaku paham agama. Apalagi mengaku malakah agama, jauh.
***
Tulisan ini terinspirasi saat saya menonton video ILC yang membahas tentang kasus Dimas Kanjeng Taat Pribadi beberapa hari lalu. Saya tertawa karena tersinggung (dalam artian positif) oleh kalimat-kalimat yang sangat mengena dan menusuk hati saya dari KH. Hasyim Muzadi tentang hubungan kecerdasan dan kejiwaan. Kalau menurut saya, KH. Hasyim Muzadi ini salah satu Kyai yang sudah malakah dalam agama.
Berikut saya tulis kutipannya:
"... karena kecerdasan belum segalanya. Kepandaian, kecerdasan ini masih tergantung pada kejiwaan. Ketika kejiwaan itu goncang, maka kecerdasan pun juga goncang. Sehari-hari kita, yang doktor, yang profesor, yang pinter-pinter itu, kalau pulang, itu dimarahi istrinya bisa goblok ndadak (baca, mendadak) dia itu. ..."
Mendengar kalimat ini peserta ILC riuh tertawa, dan aku pun tertawa sendiri di lab saya. Betapa tidak, tak sedikit pun dari kalimat ini yang meleset. Kepandaian masih tergantung pada kejiwaan. Catat itu! Ini malakah baru bagi saya. Eh, maaf, saya belum malakah sih.
__________
Notabene:
Kalimat "jaa Zaidin" salah secara tatabahasa Arab. "Jaa - telah pergi" sebagai kata kerja dan "Zaid - nama orang" sebagai pelaku/subjek kalimat. Dalam tatabahasa Arab, pelaku/subjek kalimat harus dibaca dengan "rafa". Dalam hal nama Zaid, dibaca menjadi Zaidun, bukan Zaidan, dan bukan pula Zaidin. Jadi, yang benar adalah "jaa Zaidun - telah pergilah si Zaid."
No comments:
Post a Comment