Thursday, October 27, 2016

Kopi Taiwan Pertama yang Terasa Lebih Pahit

Sudah masuk tahun keempat di Taiwan, baru hari ini aku minum kopi di sini. Aku memang bukan peminum kopi. Aceh yang terkenal dengan warung kopinya, tak kuat menarikku menjadi seorang mania kopi. Sebagai gantinya, aku memilih minum teh jika terpaksa harus duduk di warung kopi.

Hari ini aku kedatangan teman dari Vietnam yang telah lulus setahun yang lalu. Berkat didikan profesor kami, dia sekarang bak mesin produksi paper SCI. Jika saat kuliah doktor dulu ia menulis dua paper SCI dalam waktu empat tahun, maka setelah setahun lulus ia berhasil merangkai idenya menjadi empat paper SCI. Kenapa lebih banyak menulis paper setelah lulus? "Merdeka membuatku lebih bebas menuangkan ide saya," jawabnya, "tidak lagi disibukkan oleh tetek bengek proses perkuliahan!"

Tahu dia datang, seorang teman asli Taiwan yang juga sedang kuliah doktor, mengajaknya, aku, dan satu teman sesama pelajar asing untuk mengobrol sambil minum kopi di sebuah minimarket di dalam kampus. Aku tak bisa menolak, baik acara ngobrolnya maupun minum kopinya. Tahulah, Kawan. Aku paling malas ngobrol di warung. Tambahan lagi disambi minum kopi. Aku tak suka kopi.

Parahnya lagi, bahan obrolan berkisar pada perkembangan kuliah. Berapa paper SCI yang telah tembus? Aku menggeleng. Berapa paper EI yang telah diterima? Aku juga menggeleng. Sampai akhirnya aku bilang, "Dua EI sedang dalam proses. Dua SCI juga dalam proses," untuk sedikit membela diri.

Padahal memang lebih sederhana jika aku bilang saja "belum punya!" karena dalam perjalanannya tidak jarang paper-paper itu ditolak. Terus gagal sambil nangis-nangis sampai keluar ingus, menempelkan jidat di dinding lab, terus menumbuk-numbuknya dengan kepalan tangan kanan sambil menangis sesunggukan -seperti di sinetron Haji Muhidin itu.

Aku ingin obrolan itu cepat usai saja, karena aku ingin kembali ke lab, untuk menyendiri lagi. Dan kalau bisa, sambil mengedit dan membaca ulang paper-paper yang akan aku serahkan ke profesor untuk diperiksa.

Kopi itu makin lama makin terasa pahit ketika kata "SCI" dan "paper" meluncur deras dari mulut mereka bak peluru pasukan Perang Cumbok tujuh puluh tahun silam. Hanya satu kalimat yang paling menarik bagiku yang menyeruak di antara kerumunan kata-kata yang membuatku merasa menjadi manusia gagal, adalah "aku akan lulus semester depan."

Sepatah kalimat itulah yang membuatku seolah menemukan sebidang oasis di tengah padang pasir yang kering kerontang. Senang bukan kepalang. Padahal 'kan itu masih harus menjalani proses yang membuat kening sering tegang-kendur. Tapi, kalimat itu lumayan membuatku merasakan ada secercah gula di dalam kopi pahit itu, manis.

Kopi pahit itu pun habis kuminum. Di regukan terakhir aku baru sadar, ternyata kopi Taiwan memang tidak bergula. Aslinya memang pahit, tapi bahan obrolan yang melatarinya membuat rasanya kadang berubah manis dan kadang lebih getir dari aslinya.
__________
Notabene:
  • Paper adalah sebuah makalah yang di dalamnya tertulis laporan dari sebuah penelitian, mulai dari "mengapa penelitian itu perlu dilakukan", "cara melakukan penelitian", "hasil penelitian", sampai dengan "kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian tersebut".
  • SCI adalah singkatan dari "Science Citation Index" dan EI dari "Engineering Index". Paper yang masuk ke SCI berasal dari penelitian yang serius dan rumit. Sedangkan paper yang masuk ke EI berasal dari penelitian yang sederhana. Untuk peneliti pemula, seperti saya ini, menulis paper EI adalah pilihan yang tepat.
  • Oasis adalah daerah di padang pasir yang berair cukup untuk tumbuhan dan permukiman manusia.
  • Perang Cumbok adalah perang sesama anak Aceh akibat perbedaan pandangan dalam hal politik kepemimpinan yang terjadi pada tahun 1946, setelah proklamasi kemerdekaan RI. Hasan Saleh menyebut "Revolusi Politik" untuk kejadian yang menyedihkan ini. Sementara yang lain menyebutnya "Revolusi Sosial."
Gelas kopi di Hi Cafe Taiwan

No comments:

Post a Comment