Beliau pernah menjabat rektor UGM yang ketujuh pada tahun 1981 – 1986. Tulisannya yang terakhir yang sempat saya baca adalah yang dimuat segera setelah gelombang tsunami menghantam Aceh pada tahun 2004. Dia membahas tentang tsunami dan hikmahnya kala itu.
Setelah itu saya tak pernah lagi membaca tulisannya. Entah apa sebabnya, saya sudah lupa. Tahun 2005 kuliah saya selesai di UGM dan pulang kampung ke Blangjruen. Dua tahun kemudian, 2007, beliau meninggal dunia pada umur 77 tahun. Waktu itu saya sudah setahun menjadi dosen teknik mesin di Politeknik Negeri Lhokseumawe.
Terus terang, saya ini paling malas membaca buku-buku non-teknik. Tapi untuk tulisan Prof. T. Jacob, ini pengecualian, mud saya berubah haluan menjadi cinta mengintip kata per kata yang dirangkainya dengan cukup apik dan berisi. Bahkan, demi untuk membaca tulisannya, saya rela mengantre koran di sebuah warung makan yang kebetulan sedang dibaca pelanggan lain.
Entah bagaimana beliau menulis dan entah buku apa saja pula yang telah beliau baca, aku merasa tak ada satu kalimat pun yang sia-sia di dalam setiap tulisannya. Padat. Bertenaga.
Kalau saya mau jujur, saat itulah muncul keinginan saya untuk menjadi penulis seperti beliau. Tapi, mau bagaimana? Saya ternyata pemalas dalam hal baca-membaca, apalagi tulis-menulis. Sampai sekarang, di umurku yang masuk 36 tahun, kemampuanku, ya, begini-begini saja. Biasa-biasa saja.
Saya cepat sekali terinspirasi oleh tokoh-tokoh yang saya kagumi, sebagaimana mengagumi Prof. T Jacob. Tapi sifat malas membuat cita-citaku untuk mengikuti sang idola, menghablur tak berbekas. Dan jadilah Usman yang seperti sekarang ini. Orangnya masih begini-begini saja. Membaca saja tak becus, apalagi menulis.
***
Bukan hanya di Yogyakarta, di Blangjruen, tempat saya dilahirkan, saya juga mempunyai seorang tokoh yang menjadi inspirasi saya sampai sekarang. Beliau adalah Bapak Letnan (Purn) Abidin. Seorang pensiunan tentara yang serba-bisa.
Dalam bidang seni, beliau adalah pemimpin orkes. Dalam bidang keagamaan, beliau adalah guru ngaji, yang kemampuannya sungguh tak tanggung-tanggung, karena beliau juga sebagai dewan juri tetap di setiap perhelatan MTQ di tingkat kecamatan Tanah Luas. Dalam bidang pendidikan formal, beliau adalah seorang guru. Saat aku masih kecil, seingat saya beliau mengajar di MTsS Blangjruen.
MTsS ini berada tepat di samping bekas rumah Hulubalang Keureutoe, Ampon Chik Bintara, yang juga suami pertama Cut Meutia. Dulu di situ juga ada sekolah Islam "Bustanul Ma'arif" yang didirikan pada tahun 1939 oleh Ampon Chik Muhammad Basyah, putra dari Ampon Chik Bintara yang meneruskan kepemimpinannya.
Oleh Ampon Chik Muhammad Basyah, Tgk Ismail Yakub (kelak beliau hijrah ke Jawa dan sempat menjadi rektor IAIN Surabaya tahun 1965 - 1972) diminta untuk memimpin sekolah yang baru dibangun ini, dan Ampon Raja Sabi (putra tunggal Cut Meutia dengan suaminya Ampon Chik Di Tunong) sebagai penasehatnya.
Belum saya klarifikasi kepada orang tua Blangjruen apakah MTsS itu tepat terletak di lokasi bekas Bustanul Ma'arif atau tidak. Yang mana lokasi itu sekarang menjadi Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Luar Biasa (SLB) Tanah Luas Blangjruen. Letaknya kira-kira 100 meter ke belakang kantor KUA Tanah Luas, Blangjruen.
Sebagai anak kecil, saya hanya sempat melihat tempat itu telah dipergunakan untuk MTsS Blangjruen, bukan Bustanul Ma'arif lagi. Dan Bapak Letnan (Purn) Abidin, inspirator saya itu, sebagai salah satu gurunya.
Saking mengaguminya, setiap aku lihat dia sedang mengobrol dengan siapa saja, saya pasti ingin mendekat untuk hanya sekedar mendengar percakapannya yang berisi ilmu dan sering pula lucu yang kerap mengundang tawa. Bapak Letnan (Purn) Abidin ini pun telah tiada beberapa tahun yang lalu.
Itulah dua tokoh inspirator saya baik di Blangjruen maupun di Yogyakarta. Tapi, sayangnya, kemampuan saya masih saja begini-begini terus. Apakah aku harus menambah banyak lagi tokoh inspirator? Kok, ya, lama-lama aku jadi malu sendiri. Melawan malas saja aku tak sanggup, apalagi mengikuti jejak mereka.
__________
Notabene:
Ampon Chik Bintara dan Ampon Chik Di Tunong adalah saudara kandung. Setelah Cut Meutia bercerai dengan Ampon Chik Bintara, beliau menikah dengan Ampon Chik Di Tunong. Sehingga Ampon Chik Bintara adalah paman bagi Ampon Raja Sabi.
Oleh karena itu, ketika Ampon Raja Sabi turun gunung dari perang gerilya melawan Belanda meneruskan perjuangan ibunya Cut Meutia, ia pulang ke Blangjruen, tempat di mana rumah pamannya Ampon Chik Bintara berada. Dan akhirnya mengelola sekolah Bustanul Ma'arif.
Ampon Chik adalah gelar bangsawan di Aceh. Kerajaan Aceh dulu berbentuk federasi. Kehulubalangan Keureutoe (Aceh Utara sekarang) adalah salah satu federasi yang dipimpin oleh seorang yang bergelar Ampon Chik.
![]() |
Murid dan staf pengajar pertama Bustanul Ma'arif Blangjruen, Tanah Luas, Aceh Utara. Sumber foto: Yakub, 1979 |
No comments:
Post a Comment