Sunday, October 11, 2015

Dapur Darurat Bagi Mahasiswa Asing Di NKUAS, Taiwan

Memang hidup merantau itu sulit dijalani, namun asyik untuk diceritakan. Tidak perlu jauh-jauh masalah yang harus dibahas. Soal makanan saja dulu.

Pastilah setiap negara memiliki citarasa makanan yang berbeda-beda, yang mengakibatkan lidah terasa terkejut dan harus dipaksa berhari-hari untuk menyantap makanan yang masih aneh terasa di lidah.

Racikan makanan orang Taiwan memang tak terlalu keras, bumbunya juga tidak terlalu banyak. Hal ini mengakibatkan mudahnya lidah kita untuk menyantapnya walaupun di kali pertama.

Namun, yang namanya bukan masakan daerah sendiri, lidah kadang boleh saja lupa, tapi ingatan akan kenikmatan masakan daerah kita sendiri mengakibatkan kita dirayu-rayu untuk mencarinya.

Inilah yang kami alami selama di Taiwan. Tentu bukan hanya mahasiswa Indonesia saja yang ingin sekali-sekali menyantap masakan daerah tanah airnya, teman-teman pelajar Vietnam juga demikian.

Lumayan banyak mahasiswa asing di kampus kami, NKUAS. Namun anehnya, pihak kantor urusan internasional tidak pernah mengusulkan untuk pengadaan ruang dapur untuk mahasiswa asing. Apalagi ruang ibadah, kayaknya tak kan pernah ada.

Saya jadi iri dengan mahasiswa asing di Asia University Taichung yang pernah saya kunjungi tahun lalu. Kampus tersebut menyediakan dapur untuk mahasiswa asingnya. Bahkan, bukan hanya dapur, satu ruang ibadah juga diberikan. Sementara di kampus saya ini, tidak ada.

Walaupun demikian, keengganan pihak kampus untuk menyediakan dapur bukan berarti mereka dapat membelenggu mahasiswa dari keinginan memasak makanan khas daerahnya sendiri. Tentu tidak.

Lab yang sejatinya untuk ruang belajar kadang mendadak menjadi dapur darurat. Larangan keras memasak di kamar asrama pun siap dilanggar. Tujuannya hanya satu, jangan pisahkan kami terlalu lama dengan masakan khas negeri kami. Cuma itu.

Kadang-kadang memasak di lab itu memang menggangu orang lain. Jika saya yang memasak berarti saya yang mengusik hidung teman dari bangsa lain. Begitu juga sebaliknya, ketika mereka yang memasak, maka saya yang harus menangis menahan bau masakan yang aneh di hidung saya itu.

Yang sering membaukan lab dan kamar asrama dengan aroma khas masakan adalah saya, dan teman-teman Vietnam, karena kamilah yang mendominasi mahasiswa internasional di NKUAS.

Makanan Vietnam sudah barang tentu saya tidak akan menyantapnya, karena lauk utama masakan negara itu sama dengan Taiwan, yaitu daging babi. Masakan daging babi selalu menjadi menu utama mereka.

Walaupun demikian, saya suka melihat hasil masakan mereka dan mengambil fotonya. Mereka yang tidak mengetahui keyakinan saya pasti akan menawarkannya, "Ayo, Usman. Makan". Teman yang sudah tahu langsung menyela,"Dia tidak bisa makan babi."

Dari beberapa makanan yang mereka masak, saya melihat bahwa Vietnam itu adalah pengkonsumsi sayur yang sangat kuat. Setiap makanan yang mereka masak pasti kombinasi antara sayur dan daging (babi atau kadang-kadang sapi). Kalau ada kuah pun hanya dalam bentuk sup bening saja.

Di samping itu, ada satu yang unik dari cara sajian makanan Vietnam, saya rasa inilah yang menjadi khas negara itu: Mereka selalu menyediakan minyak ikan dalam setiap sajian makanannya. Tapi maaf, saya sungguh tidak suka bau minyak ikan itu, baunya sangat menyengat.

Biasanya, minyak ikan itu dicampur dengan bawang merah dan cabe penyek, dan disajikan dalam mangkuk kecil. Setiap suapan atau potongan daging yang mau dimakan, pasti akan dicocolkan dulu pada minyak ikan yang berbau aneh itu.

Jika makan bersama yang bersifat pesta, biasanya mereka juga menyediakan buah-buahan, bir, dan cola.
Sajian makanan Vietnam dari daging sapi. Foto: Vantai Dtvt 

Sajian masakan Vietnam pada liburan hari kemerdekaan Taiwan di asrama mahasiswa NKUAS. Foto: Vantai Dtvt  

Sayur kangkung, pare isi daging babi, dan semangkuk minyak ikan. Foto: Vantai Dtvt 

Iga dan usus babi, serta semangkuk minyak ikan di lab.

Nasi putih, telur rebus, dan ikan kaleng di lab