Thursday, December 29, 2016

Tak Pentingnya Jabat Tangan di Taiwan

Tak terkata betapa pentingnya sebuah jabat tangan di tempat saya, Aceh. Bertemu dengan teman yang telah lama tak bersua, jabat tangan adalah “wajib” hukumnya. Bertemu dengan guru, kapan saja, lebih-lebih guru mengaji, tak jarang jabat tangan malah ada tambahannya, mencium tangannya bolak-balik, depan-belakang.

Saat mudik ketika liburan akhir semester, setiap kali bertemu dengan orang kampung yang saya kenal, saya pasti berjabat tangan, senyum sedikit, tahan empat detik, kemudian baru mengobrol singkat yang kadang hanya berupa basa-basi saja.

Budaya semacam ini tentu saya bawa ke Taiwan. Berusaha berjabat tangan dengan siapa saja yang saya kenal dan baru bertemu setelah lama tak berjumpa. Namun sayangnya, ternyata budaya jabat tangan seradikal di Aceh, tidak begitu laku di Taiwan ini. Di sini sepertinya prosesi jabat tangan hanya dilakukan di acara-acara resmi, dan di saat bertemu dengan orang-orang yang resmi pula. Maksud saya, orang-orang penting dalam jabatan resmi.

Suatu hari, dua tahun yang lalu, saya pamit pulang kampung kepada Profesor untuk menyongsong kelahiran anak pertama saya. Begitu mau keluar dari kantornya, saya menganjurkan tangan ke arah profesor untuk berjabat tangan dengannya, karena pasti lama kami akan tidak bertemu.

Lama sekali tangan saya melayang-layang di depan dadanya. Dia benar-benar tidak menyadari bahwa posisi tangan saya berharap dijabat. Saya hampir putus asa dan menarik kembali tangan saya itu. Tapi, beruntung, akhirnya dia menyadarinya dan menyambar tangan saya. Kami bersalaman. Saya pun pamit keluar setelahnya.

Kejadian itu tak terlalu menyedihkan, karena akhirnya tangan saya dijabatnya walaupun sudah sempat berniat akan menariknya kembali ke posisi yang aman. Tapi, pernah satu kejadian, anjuran tangan saya tidak digubris sama sekali. Itu terjadi ketika saya ingin bersalaman dengan seorang teman. Tangan harus saya tarik balik sembari berharap tidak ada orang yang melihatnya, lebih-lebih teman-teman dari Indonesia.

Mulai saat itu, saya jarang bersalaman dengan orang-orang asli Taiwan. Jika baru saja berjumpa setelah lama tak bertemu, saya hanya melambaikan tangan dan menyapa dengan kata-kata apa saja sesuai kondisi. Dan juga kadang bercakap-cakap singkat. Tanpa jabat tangan. Karena saya menjadi yakin bahwa budaya jabat tangan di Taiwan ini berbeda dengan tempat saya di Aceh.

Kesimpulan saya itu menjadi cukup terbukti kemarin sore (28/12/2016), ketika salah satu alumni datang menyambangi kami di lab. Untuk sekadar melepas kangen dengan teman-temannya yang masih terkurung di ruang sempit segi empat di bawah tanah ini.

Kebetulan kemarin lab kami ada jadwal rapat dengan Profesor, seluruh anggota lab wajib ikut. Dia yang baru datang juga ikut mengikuti rapat bersama kami. Tentunya dia hanya menonton saja.

Pukul 4.30 Profesor masuk ruang. LCD dan tiga mahasiswa yang mendapat jatah presentasi sudah siap dengan “slide”-nya masing-masing. Satu per satu presentasi usailah. Rapat pun kelar dalam waktu kurang dari satu jam.

Sebelum keluar lab, seperti biasa, sehabis rapat Profesor selalu menyapa kami dengan obrolan-obrolan singkat yang kadang mengundang tawa. Betul-betul santai. Sekalipun sering hanya berlangsung tiga sampai lima menit, namun lumayan cukup membuat kami bahagia. Kami merasa disayangi, merasa keberadaan kami di sini dihargainya.

Dalam sapaan singkat Profesor kepada kami semua, seorang teman kami yang alumni tadi, menyeruak dari kerumunan kami, untuk menyapa Profesor. “Laoshi - Guru” Ia sedikit membungkukkan badannya sebagai rasa hormat.

Profesor yang melihat mantan muridnya itu ada di antara kami, rasa bahagianya begitu kentara di raut wajahnya, merasa senang dikunjungi mantan anak didiknya itu. Percakapan pun berlangsung dengan bahasa Mandarin yang cukup cepat. Saya hanya melihat saja mereka mengobrol sembari tersenyum, ikut merasa gembira.

Namun, ada satu hal yang saya tunggu dari mereka berdua yang sedang larut dalam obrolan penuh nostalgia itu, dari dua anak manusia yang berstatus guru-murid itu, adalah jabat tangan. Tapi sayang, sampai obrolan yang banyak diselingi tawa lebar itu usai, tak ada jabat tangan yang terjadi. Sampai akhirnya Profesor merengkuh gerendel pintu lab dan keluar, lenyap dibalik daun pintu.

Jadi kesimpulannya begini, jika Anda datang di Taiwan, bertemu orang dan telanjur menganjurkan tangan untuk bersalaman dengannya tetapi tidak dihiraukan, maka tak perlu panik. Tarik saja tangan itu kembali dan berikan dia tugas lain yang bermanfaat, seperti menggaruk kepala atau organ tubuh lain yang dirasakan gatal. Seperti itulah yang sering saya lakukan dulu.

No comments:

Post a Comment