Wednesday, December 28, 2016

Standar Informasi Menarik bagi Anak Kost

Di Taiwan ini, boleh dibilang saya tidak pernah ke mana-mana. Di lab terus bertapa tiap hari. Terkadang malu juga rasanya jika ada teman berkunjung ke Kaohsiung ini, saya tidak tahu di mana tempat-tempat wisata yang menarik. Sehingga tak tahu ke mana mereka harus saya ajak berkeliling.

Jika pun saya keluar dari kampus, sungguh bisa diterka ke mana saya pergi. Kalau tidak ke stasiun Kaohsiung untuk mencari makan, maka saya ke Masjid Besar Kaohsiung, itu pun cuma hari Jumat, untuk Jumatan. Hanya itu, tidak lebih.

Aktivitas yang cukup monoton ini ternyata berpengaruh juga terhadap perilaku kejiwaan saya. Saya jadi selalu merasa tidak tahu informasi-informasi di luar. Sehingga ketika bertemu teman, pertanyaan saya yang sering muncul adalah, “Ada informasi penting apa selama ini, Pak?” Saya begitu takut ketinggalan informasi.

Bahkan, tentang masalah kampus sekalipun, saya juga selalu merasa ada informasi penting yang selalu tidak saya ketahui. Sehingga ketika bertemu mereka, lebih-lebih teman seangkatan, saya juga sering bertanya, “Ada informasi apa, Pak, terkait kita?” Dan begitulah seterusnya. Selalu dihantui rasa kekurangan informasi.

Parahnya lagi, pertanyaan “kepo” sebagai itu bukan hanya saya lontarkan ke teman-teman kuliah. Bahkan istri saya di kampung ikut juga kebagian getahnya. Tak jarang manakala saya menelepon istri, pertanyaan pembuka setelah salam dan halo pasti itu dan itu lagi; “Ada informasi apa, Mi, di kampung?”

Pada satu waktu istri saya jengkel juga melayani pertanyaan saya itu. “Ga ada informasi apa-apa, Bi!”

“Masa, sih, ga ada informasi apa-apa.”

“Iya, memang ga ada mau gimana,” Istri saya mulai jengkel, “saya cuma di rumah saja. Jarang keluar. Suka kali gosip.”

“Bukan suka gosip,” jawab saya sambil tertawa cengengesan, “cuma pengin tahu saja,”

Anehnya, tanpa kami sadari, ternyata lama-lama kami terbiasa juga dengan pertanyaan ala detektif itu. Sekarang, malah istri saya juga ikut-ikutan, suka menagih informasi ketika kami berbicara di “video call” Facebook “messenger”.

Saya tentu sangat menghindari berbicara masalah kuliah dengan istri. Karena suasana hati jadi tidak enak betul bila percakapan yang seharusnya santai menjadi ilmiah tak karu-karuan.

Maunya bercengkerama saja dengan membahas yang ringan-ringan, masalah kondisi kampung, berapa kali anak kami menangis hari ini, sudah bisa bicara apa saja, sudah berapa kali jatuh hari ini, hujankah di situ? Kalau hujan, dia mandi hujan tidak? Cuma sekitar itu. Masalah-masalah yang cukup sederhana, tapi cukup bisa membuat otot kuduk mengendur. Bukan malah membahas paper dan disertasi. Hancur suasananya.

Tadi (28/12/2016), sehabis Magrib, teman satu lab asal Indonesia baru saja datang dari asrama. Kami selalu belajar di lab. Bahkan tidur siang saja di lab. Asrama benar-benar hanya kami gunakan untuk tidur malam. Selebihnya kosong. Cuma bedanya saya dengan dia adalah, saya pergi pagi, baru pulang ke asrama tengah malam.

Sementara dia selalu pulang ke asrama pada waktu makan, karena mereka memasak bersama di asrama. Biarpun secara aturan dan tempat tidak mendukung sama sekali, mereka memasak saja dengan alat seadanya, dan sembunyi-sembunyi sebisa mungkin agar tidak ketahuan petugas asrama.

Aturan asrama tidak membolehkan kami memasak di dalamnya. Pun ruang dapur juga tidak disediakan. Apa boleh buat, untuk keperluan menyuplai makanan halal ke perut, peraturan itu terpaksa harus dilanggar. Maka jadilah kamar sebagai dapur darurat sembari main umpet-umpetan dengan petugas.

Begitu tadi malam ia muncul di lab lagi, setelah menyapa saya yang sedang duduk di meja belajar, saya langsung menyerbunya dengan pertanyaan andalan saya, “Ada informasi menarik apa di luar sana?”

Setelah berpikir sejenak, ia menjawab, “O, ada, Bang!”

Mata saya membulat. Bahu saya menegang, naik. Tak sabar menunggu informasi menarik itu.

“Kami tadi masak nasi goreng, Bang. Uenak,” jawabnya dengan wajah tanpa dosa, mengacungkan jempol.

Mata saya yang tadinya membulat dan bahu yang naik menegang, tiba-tiba mengendur demi mendengar jawaban itu.

“Halah! Saya pikir informasi apa,” jawab saya putus asa, “maksud saya, informasi menarik. Bukan infromasi masakan.”

“Loh, makan nasi goreng itu informasi menarik, lo, Bang, ” tukasnya.

Saya tercenung sejenak. Dan akhirnya tersadar dari lamunan kilat itu, sambil tertawa kecil saya menanggapi, “Wah, benar, benar. Itu informasi menarik.”

Itu memang benar, bagi kami anak kost yang jauh dari rumah dan keluarga, standar menarik tidaknya sesuatu memang seharusnya menjadi cukup simpel. Bagi Anda yang sedang di kampung bersama keluarga, bisa makan nasi goreng itu hal biasa-biasa saja. Bagi kami, itu semacam anugerah Tuhan yang tak bertara nikmatnya.

No comments:

Post a Comment